Menghidupi Kematian

slider
20 Desember 2019
|
1311

Setahun yang lalu, sore terjadi di Bilik Literasi dengan hangat berkat teh dan gorengan. Empat gadis menyimak ceritera bapak-guru Kabut (Bandung Mawardi). Tentang keseruan menafakuri buku-buku, tersirap oleh frasa-frasa yang sering tak terpikirkan, mengingat-mengagumi sekian tokoh-penulis yang tekun berpikir dan sabar sampai akhir hayatnya, termasuk tak lupa memperkarakan asmara. Konon, keempat gadis itu sedang dalam masa-masa mekar mengalami gejolak asmara. Keempat gadis itu ialah Qibtiyatul Maisaroh, Mutimmatun Nadhifah, Na’imatur Rofiqoh, dan saya. Itulah pertemuan pertama saya sekaligus pungkasan dengan Qibti. 20 September lalu, Qibti pamit menuju Tuhan.

Saya tak mengenal Qibti sebaik kawan-kawan yang aktif sinau di Bilik Literasi. Dari luar, saya mengenal Qibti sebagai esais yang tekun dan sungguh-sungguh. Kegemarannya sinau di Bilik Literasi membentuk dirinya sebagai pembaca sekaligus penulis yang kuat. Sekian esai dan resensinya dimuat di ragam media. Ia juga kerap menulis buku bersama kawan-kawannya, misalnya Serbu! (Bilik Literasi, 2017) dan Penimba Bahasa (Bilik Literasi, 2018). Tahun 2017, persma tempat saya berkecimpung dengan gegas dan mantap mendaulat Qibti sebagai moderator dalam acara bedah buku Mahfud Ikhwan, Aku dan Film India Melawan Dunia (EA Books, 2017). Qibti ialah penggemar film-film India yang militan dan agak susah ditandingi kawan-kawannya.

Pamitnya para pemikir muda

Qibti menambah daftar dalam ingatan dan pembacaanku sebagai sosok pemikir-penulis yang mati muda. Dua tahun silam, M. Irkham Abdussalam, esais yang saya kenal melalui tulisan-tulisannya (tentu baru sebagian kecil) dikabarkan meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Pertautan saya dengan Qibti dan Irkham lebih kepada pembacaan saya terhadap tulisan-tulisan mereka di media, daripada perkenalan diri sebagai personal. Sama halnya dengan Qibti, saya bertemu Irkham hanya satu kali. Saat itu kami sama-sama sebagai peserta workshop menulis esai sehari di Balai Soedjatmoko Solo.

Qibti dan Irkham tidak bisa tidak memanggil ingatan saya terhadap sosok Ahmad Wahib. Wahib ialah pemikir-penulis yang sangat kritis bahkan yang paling sering ialah terhadap keberadaan diri dan pikiran-pikirannya sendiri. Wahib meninggal karena tertabrak sepeda motor, sepulangnya ia dari kantor Tempo. Saat itu Wahib ialah jurnalis muda di sana. Pemikiran-pemikiran Wahib yang dikenal jujur dan tanpa tedeng aling-aling terutama soal agama dan keberagamaan masih bisa kita jumpai dalam buku hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES).

Sosok Wahib kiranya tercermin dari kutipan berikut ini. “Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Mark dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan… aku bukan Wahib”. Ia memberi pernyataan lanjutan, “Aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku” (Pergolakan Pemikiran Islam, hlm. 55). Sampai saat ini, saya yakin, buku harian Wahib itu turut memantik keberanian dalam diri sekian pemikir-penulis muda yang sedang tertatih-tatih mengenali konsep dirinya sendiri, sebelum menggauli dan merenungkan lingkungan dan hal-hal yang lebih luas lagi.

Ingatan kita misalnya merembet ke sosok yang lain lagi. Pemikir-penulis muda yang juga mewariskan kepada kita Catatan Seorang Demonstran (LP3ES). Ialah adik kandung Arief Budiman, siapa lagi kalau bukan Soe Hok Gie. Konon catatan-catatan yang kemudian terbit sebagai buku berjudul Catatan Seorang Demonstran sudah ditulis Gie sejak usianya lima belas tahun, usia yang tergolong belia untuk mulai menyadari perlunya mendokumentasikan pikiran melalui tulisan. Menurut pengisahan Daniel Dhakidae, Soe Hok Gie menulis catatan hariannya dua kali dalam sehari, di pagi hari dan malam hari menjelang berangkat tidur (Catatan Seorang Demonstran, hlm. 4).

Gie mencatat segala kegelisahan, kemurungan, kemarahannya terhadap para penguasa. Termasuk kemudian kepada teman-teman seperjuangannya yang mulai berkhianat dari tujuan mula-mula; banyak di antara mereka yang ongkang-ongkang kaki menikmati segala fasilitas begitu masuk ke dalam sistem kekuasaan. Kita tentu telah begitu karib dengan kisah Gie yang mengirimkan gincu dan sekian alat kecantikan kepada kawan-kawannya yang sudah duduk di kursi pemerintahan, tujuannya guna meledek mereka yang makin pandai memanipulasi diri, melipir atau malah berlari kencang dari kejujuran memperjuangkan harkat dan martabat masyarakat sipil Indonesia. Pada 20 November 1969 Gie menulis, “Rupanya perasaan Henk dan saya sama dalam arti kata bermuakan terhadap teman-teman kita yang telah menyalahgunakan kedudukannya…” (Ibid., hlm. 345).

Gie memang lebih dikenal kaum muda sebagai sosok pemikir-aktivis nasionalis yang nekat dan pemberani. Tetapi saya lebih terkesan dengan pribadi Gie yang lain, saat Gie menuliskan kehidupannya yang paling personal dengan bahasa yang lugu dan cenderung tidak heroik. Mari kita kutip dengan agak panjang catatan harian yang ditulisnya pada Sabtu 15 November 1969. “… Saya ke Ernst dan mendapat buku How to avoid matrimony, lalu nonton filem Rampaje di Menteng. Pulangnya makan soto dan ngobrol-ngobrol tentang tujuan hidup, dari manusia yang tidak jelas. Saya merasa ‘mesra’ dengan malam dan perasaan kosong yang ada pada waktu itu. Dan dalam keadaan seperti ini, kita melihat kembali waktu dan dunia yang lain dari hidup manusia. Dan kita menyadari hidup yang kosong ini dan pada kitalah hidup ini kita tempa sendiri” (Ibid., hlm. 343).

Pada Wahib, Gie, Qibti, dan Irkham—meminjam sajak Goenawan Mohamad, “Hari hanya satu narasi, Tuhan menamainya kematian" (Divapress, 2019: 149). Tsah!


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizka Nur Laily Muallifa

From Solo. Pembaca tak khusyuk. Dalam masa-masa riang pasca menerbitkan puisi bersama beberapa kawan. Buku puisi itu Menghidupi Kematian (2018). Pamrih di @bacaanbiasa