Menggali Kembali Marhaenisme Sukarno

slider
07 Desember 2020
|
1698

Pemikiran-pemikiran Sukarno, dewasa ini, kian hari kian memudar, bahkan dirasa asing. Kalangan muda malahan tidak banyak yang mengenal apa itu marhaenisme yang merupakan buah pikiran Sukarno.

Melalui tulisan pendek ini, penulis sekadar mengingatkan dan membumikan kembali pemikiran Sukarno. Terkhusus, tentang marhaenisme.

Pada buku Sukarno Muda Biografi Pemikiran 1926-1933 (2014: 41), Peter Kasenda mengatakan, pemikiran Sukarno didasari oleh sikap antikapitalisme dan antikolonialisme. Hal inilah yang kemudian melahirkan pemikiran dan penekanan Sukarno terhadap persatuan nasional dan pembelaan terhadap rakyat kecil.

Melalui berbagai macam tulisannya, Sukarno berkali-kali menekankan akan pentingnya persatuan sebagai upaya dalam melawan kolonialisme.

Pada tulisannya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (1965: 1-23) yang ditulis pada 1926, Sukarno menekankan pentingnya persatuan antara ketiga golongan tersebut agar berhasil membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme.

Melalui tulisan itu juga, Sukarno menekankan persamaan antara ketiga golongan tersebut, yaitu sifat emansipatoris terhadap golongan kecil dan kesamaan rasa ingin merdeka.

Lebih lanjut, masih pada tulisan yang sama, Sukarno mencoba menyejajarkan antara riba yang diharamkan dalam Islam dengan teori nilai lebih (mechtwaarde) yang dilawan oleh marxisme yang bercokol dalam tubuh imperialisme. Berdasarkan hal itu, Sukarno mencoba mendamaikan pertentangan antara kedua golongan tersebut.

Marhanisme: sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi

Pada buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966: 82-84) yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno bercerita awal mula ia menemukan kata “marhaen” sebagai azas perjuangannya.

Kala itu, ia berumur 20 tahun (6 tahun sebelum artikel ditulis) tengah mengayuh sepeda ke bagian selatan kota Bandung. Lalu ia bertemu dengan petani muda bernama Marhaen yang memiliki sebidang tanah dan cangkul miliknya sendiri yang hasil panennya hanya cukup untuk menghidupi kebutuhannya sendiri tanpa ada kelebihan yang dapat dijual.

Sukarno mengartikan Marhaen sebagai, “Orang yang mempunyai alat-alat yang sedikit; orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri.”

Pada konferensi Partindo di Kota Mataram (1933), Partindo mengambil putusan tentang Marhaen dan Marhaenisme yang kemudian dituangkan oleh Sukarno melalui tulisannya “Marhaen dan Proletar” dalam Dibawah Bendera Revolusi (1965: 253-256). Pada poin pertama konferensi termaktub, “Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.”

Kedua istilah ini merupakan istilah buatan Sukarno sendiri. Seperti juga pada tulisan, “Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi” (1965: 171-176) yang mengatakan, “Dua perkataan ini adalah perkataan bikinan, kami punya bikinan”. Lantas, apakah itu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi?

Sukarno menjelaskan bahwa, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat dan sosio-demokrasi adalah demokrasi masyarakat. Mudahnya, sosio-nasionalisme merupakan upaya suatu bangsa dalam meraih kemerdekaan dan sosio-demokrasi merupakan kritik terhadap demokrasi Barat yang hanya mengabdi kepada kepentingan suatu golongan saja, bukannya demokrasi yang mengabdi kepada kaum Marhaen.

Menurut hemat penulis, sosio-nasionalisme merupakan prasyarat dalam mencapai sosio-demokrasi. Lebih lanjut, latarbelakang apa yang membuat Sukarno dapat melahirkan kedua istilah tersebut?

Sosio-nasionalisme

Sukarno melalui telaahnya terhadap nasionalisme yang tumbuh di Jepang, Jerman, dan Italia melahirkan suatu paham yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan chauvinisme. Sukarno pada sosio-nasionalismenya dengan tegas menentang agar nasionalisme Indonesia tidak menjadi seperti itu.

Pada tulisan “Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi” dalam Dibawah Bendera Revolusi (1965: 171-176), dengan mengutip Gandhi, Bung Karno mengatakan, “Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan”.

Dalam hal ini, terlihat sikap Sukarno yang menolak ultranasionalisme yang hanya akan melahirkan keangkuhan kebangsaan seperti yang terjadi pada chauvinisme. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan: nasionalisme yang humanis.

Pemikiran Sukarno tentang nasionalisme merupakan antitesis daripada dua pemikiran, yaitu kolonialisme dan ultranasionalisme.

Sukarno menempatkan nasionalismenya sebagai dasar pemikiran dalam menentang kolonialisme. Tetapi di satu sisi, pemikirannya tentang nasionalisme juga menentang nasionalisme yang berlebihan seperti yang dianut oleh Jepang, Italia, dan Jerman kala itu. Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwasanya, pemikirannya turut dipengaruhi juga oleh pemikiran internasionalisme.

Sosio-demokrasi

Dalam konteks sosio-demokrasi, Sukarno merupakan orang yang menentang keras demokrasi yang kelahirannya ditandai dengan pecahnya revolusi Prancis dengan jargon “liberte, egalite, fraternite” yang menentang absolutisme raja.

Sukarno memandang revolusi Prancis yang bernapaskan kesetaraan, hanyalah pemindahan penindasan yang sebelumnya dilakukan oleh pihak raja ke pihak borjuis.

Pada tulisan “Demokrasi Politik dengan Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial” dalam Dibawah Bendera Revolusi (1965: 579-588), Bung Karno menolak keras demokrasi parlementer yang ia anggap hanyalah demokrasi yang mewakilkan kaum-kaum borjuis.

Lebih lanjut, Bung Karno mengatakan bahwasanya revolusi Prancis hanyalah “ulah” daripada kaum borjuis yang melancarkan kepentingannya sendiri. Hal inilah yang kemudian mendasari Sukarno untuk melakukan demokrasi yang tidak hanya sebatas dengan demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.

Pada tulisannya yang sama, Sukarno mengatakan, “Demikianlah kepincangan demokrasi itu; di dalam parlemen, di lapangan politik rakyat adalah raja, tetapi di lapangan ekonomi tetaplah ia budak”.

Dalam hal ini, penulis memandang bahwasanya demokrasi ekonomi merupakan prasyarat tegaknya demokrasi politik. Mudahnya, kesetaraan dalam bidang ekonomi merupakan suatu keharusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bergeser sedikit kepada pemikiran Tan Malaka pada buku Parlemen Atau Soviet (2014: 15), mengatakan bahwasanya parlemen hanyalah perkakas bagi kaum pemodal untuk mengagregasikan kepentingannya.

Mencoba menarik pernyataan yang dikatakan oleh Tan di atas, dapat ditarik benang merah kemiripan pemikiran antara Sukarno dengan Tan Malaka.

Dalam konteks hari ini, terkebirinya hak-hak rakyat kecil dengan maraknya kejahatan legislasi dan demokrasi yang berwatak oligarkis sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya oleh para pendiri bangsa. Sehingga, sangatlah penting hari ini untuk menegakkan demokrasi ekonomi terlebih dahulu sebelum mencoba menegakkan demokrasi politik.

Pentingnya marhaenisme hari ini

Seperti yang dikatakan di awal, terlihat pemikiran Sukarno kian hari kian memudar. Kalangan anak muda hari ini yang bahkan tidak mengenal apa itu marhaenisme sebagai dasar pemikiran dari Sukarno dalam membangun negeri.

Marhaenisme merupakan hasil pembacaan Sukarno terhadap kondisi sosial-budaya Indonesia kala itu. Sehingga, tuduhan yang mengatakan bahwa marhaenisme merupakan marxisme Indonesia tidaklah dapat dikatakan benar sepenuhnya. Pasalnya, Sukarno sendiri tidaklah menelan bulat-bulat konsepsi daripada marxisme itu sendiri. Tetapi, memang tidak dapat ditampik bahwa marhaenisme memang terpengaruh gagasan pemikiran marxisme. Khususnya, dalam menganalisis kondisi sosial-budaya.

Marhaenisme juga merupakan pemikiran orisinil daripada seorang Sukarno yang berhasil menggali nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia yang dikemudian hari dituangkannya melalui konsepsi Pancasila.

Terakhir, sebagai generasi penerus bangsa, alangkah pentingnya bagi kita untuk meneruskan dan melestarikan pemikiran para the founding fathers Indonesia.

Referensi:

Adams, Cindy, 1966, Bung Karno Pengambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Gunung Agung.

Kasenda, Peter, 2014, Sukarno Muda Biografi Pemikiran 1926-1933, Depok: Komunitas Bambu.

Malaka, Tan, 2014, Parlemen atau Soviet, Bandung: Sega Arsy.

Sukarno, 1965, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid 1, Jakarta: Panitya Penerbit.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Naufal

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Bandung