Mengail Etika dari Mbah Tejo

slider
17 Desember 2021
|
2938

Sujiwo Tejo atau yang akrab dipanggil dengan Mbah Tejo, memiliki nama lengkap Agus Hadi Sudjiwo. Ia lahir di Jember, 31 Agustus 1962. Kiprahnya dalam banyak bidang: penulis, pemusik, pemain film, budayawan, dalang, dan pelukis membuat dirinya dikenal oleh publik dari segala afiliasi. Bahkan mungkin Mbah Tejo dapat disebut juga sebagai pengamat politik lantaran sewaktu acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC), ia sering diundang sebagai pembicara.

Mbah Tejo juga mendeklarasikan dirinya sebagai presiden jancukers. Konon di dalam negeri jancukers, air mata perempuan tidak dibasuh dengan tisu melainkan dengan tangan kekasihnya. Pun semisal ada warga negaranya yang tuna asmara selama 1x24 jam, maka camatnya akan dipecat.

Namun terlepas dari sikap kelakar dan dinilai ngawur tersebut, saya malah tertarik saat ia sedikit menyinggung tentang etika. Hal tersebut saya dapatkan sewaktu Mbah Tejo mengisi di berbagai banyak acara: webinar, diskusi publik, seminar, dan lain sebagainya. Pun ketika ia mendapati ada seseorang (siapa pun itu) yang dirasa tidak memiliki etika, dengan tegas ia akan menegurnya.

Dari amatan saya, etika yang diajarkan oleh Mbah Tejo cukup konkrit, tidak rumit serta relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dan tentu saja tidak ndakik-ndakik dengan sekian bumbu teori filsafat etika atau teori sosial yang membuat dahi menjadi mengkerut. Etika semacam itu saya kira malah susah untuk mencernanya, apalagi diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Setidaknya ada tiga contoh etika dari Mbah Tejo yang saya rasa cukup memberi pengaruh pada era dewasa ini;

Pertama, saya masih ingat ketika Mbah Tejo sering berucap: “Salah satu tanda dirimu tidak berakhlak adalah mainan handphone saat ada orang lain yang sedang ngomong.” Pernyataan tersebut tebilang cukup pedas. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa, laku semacam itu kini telah dianggap lumrah. Karena tak jarang kita temui atau tanpa disadari, kita malah sering sibuk sendiri saat orang lain berbicara yang jelas-jelas ada di hadapan kita.

Seakan-akan kita mengangap diri ini adalah orang yang selalu dicari sebagai orang penting sehingga, kita tidak bisa melepaskan gawai dari tangan yang kita pegang. Oleh karenanya tidak berlebihan jika muncul semacam sindirian, “Gawai mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.”

Padahal sejauh yang saya tahu, tidak ada manusia yang bisa melakukan multitasking. Belum ada orang yang bisa mendengarkan dan berbicara, namun di saat yang bersamaan juga bermain gawai. Karena setiap orang hanya akan fokus kepada salah satunya saja.

Oleh karenanya, Mbah Tejo memberi tawaran bahwa di dalam pertemuan yang sudah terjadwal, tidak etis dan tidak berakhlak kiranya jika malah sibuk bermain gawai sendiri. Jika memang benar-benar menganggap diri ini terlau penting dan dicari banyak orang, saya rasa bisa mengatasinya dengan sekadar membuat status, “Sedang ada pertemuan” atau “Chat bisa dilakukan sejam kemudian”.

Kedua, sejak pandemi Covid-19, semua kegiatan pertemuan tatap muka mesti dialihkan ke platform digital. Tapi persoalannya adalah peserta yang menghadiri pertemuan virtual itu kerap tidak memperhatikan pembicara yang sedang menyampaikan sesuatu. Fenomena seperti peserta yang mematikan kamera lantas melakukan aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan pertemuan virtual kerap terjadi: main game, makan, mandi, tiduran, atau nonton netflik.

Untuk itu, Mbah Tejo memberikan contoh langsung ketika tengah ada pertemuan virtual dengan menegaskan bagi semua peserta untuk menghidupkan kamera. Bahkan Mbah Tejo pernah keluar dari ruang virtual lantaran ada peserta yang mematikan kameranya. Baginya mematikan kamera di ruang virtual itu simbol dari peserta yang tidak menghargai pembicaranya.

Terlepas peserta paham atau tidaknya dengan materi yang disampaikan, itu hal lain. Namun ketika kamera dinyalakan, pembicara minimal bisa tahu wajah siapa saja yang turut serta dalam obrolan diskusi. Bisa jadi juga dengan kamera menyala, pembicara menjadi lebih berapi-api dalam menyampaikan materinya.

Ketiga, Mbah Tejo pernah berpesan bahwa ketika ada tamu mau pergi, siapa pun itu, alangkah etisnya kita mengantarkan serta memastikan tamu itu hingga benar-benar pergi (tidak terlihat). Tidak hanya tamu yang notabene orang-orang terdekat kita saja, seyogyanya seluruh orang yang selesai berinteraksi dengan kita, baik itu pengantar paket, ojek online, pengamen misalnya, mesti kita sama ratakan.

Barangkali kita sering bersikap apatis dengan hal yang mungkin kedengarannya sepele tersebut. Kita lebih memilih malas dan membiarkan mereka pamit tanpa mengantarkannya. Padahal laku itu masih bertalian erat dengan sikap menghormati kepada orang-orang lain. Lantaran mereka mau dan bersedia mampir ke rumah serta berinteraksi dengan kita walaupun memiliki tujuan yang berbeda-beda. Maka kata “hati-hati” dan mengantarkannya sampai badannya tidak terlihat, saya rasa juga tidak terlalu berlebihan.

***

Ketiga wejangan etika tersebut bagi kebanyakan orang mungkin dinilai sebagai laku sederhana yang remeh-temeh. Namun bagi saya, jika dibiasakan akan memicu pengaruh yang baik tidak hanya kepada orang-orang terdekat kita saja, tapi juga kepada masyarakat luas. Bukankah sesuatu yang besar itu dimulai dari hal yang kecil dahulu?

“Lha itu yang mengatakan kan hanya Mbah Tejo?”

Memang. Tapi toh, bukan tentang siapa yang menyampaikan, namun tentang apa yang disampaikan. Dengan begitu kita bisa banyak mengail hikmah dari segala bacaan kehidupan, sekalipun itu bersumber dari seorang pengamen atau pemabuk. Bukankah begitu?


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Khoirul Atfifudin

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS Jilid #5