Menemukan Jalan Keluar dari Kegelisahan Moral
Dalam menyikapi kehidupan di era modern yang telungkup hiruk-pikuk teknologi, media sosial, dan arus informasi yang tak terbendung, manusia sering kali merasa kehilangan arah. Salah satu bentuk manifestasi dari kehilangan arah tersebut adalah munculnya kegelisahan moral, kegelisahan batiniah yang timbul dari ketidaksesuaian antara nilai-nilai moral ideal dengan kenyataan hidup yang kompleks dan penuh tekanan. Kegelisahan ini bukan semata-mata ketakutan biasa, melainkan sebuah konflik eksistensial yang menyentuh inti terdalam dari kemanusiaan kita.
Dalam konteks psikologi Freud, kegelisahan ini muncul sebagai bentuk moral anxiety, kecemasan yang berasal dari benturan antara keinginan bawah sadar (id) dan tuntutan moral dari superego. Dalam situasi seperti ini, manusia sering kali terjebak dalam dilema antara memenuhi hasrat pribadinya atau tunduk pada nilai-nilai sosial dan moral yang berlaku. Kegelisahan ini tidak hanya mencerminkan ketegangan internal dalam diri manusia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kondisi sosial, budaya, dan politik ikut memengaruhi struktur moralitas yang dibangun secara individual maupun kolektif.
Dalam situasi dunia yang serba cepat dan sering kali tidak memberi ruang untuk perenungan mendalam, kegelisahan moral muncul sebagai suara hati yang menuntut kita untuk berhenti sejenak dan mempertanyakan arah hidup yang kita jalani.
Kegelisahan moral bukan sekadar rasa tak nyaman yang datang sesekali. Ia adalah cerminan dari konflik mendalam antara “id” dan “superego”, antara dorongan insting dan tuntutan norma. Dalam pandangan psikoanalisis Freud, manusia mengalami tiga bentuk kecemasan: realistic anxiety (ketakutan terhadap bahaya nyata), neurotic anxiety (ketakutan akan dorongan instingtif dari dalam diri), dan moral anxiety (ketakutan akan sanksi moral dari superego).
Kegelisahan moral hadir ketika seseorang merasa bersalah, malu, atau takut dihukum oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh lingkungan dan hati nuraninya sendiri. Ini bukan hanya soal etika pribadi, tetapi lebih jauh menyangkut relasi kita dengan masyarakat dan masa depan.
Dilema dan Hirarki Moral: Dari Egoisme hingga Kemanusiaan
Perkembangan moral individu melewati berbagai fase: dari kekanakan hingga menuju kematangan. Dalam tahap awal, seseorang sering bertindak berdasarkan kebutuhan dan keuntungan, yang kemudian berkembang menuju kepedulian terhadap hak, prinsip universal, hingga tanggung jawab kolektif.
Terdapat hirarki nilai dari yang paling dangkal hingga yang lebih tinggi yaitu kesenangan, kehidupan, kejiwaan, hingga kesucian. Ini mengingatkan kita bahwa tindakan yang tampak baik di permukaan belum tentu lahir dari nilai moral tertinggi. Misalnya, seseorang dapat membantu yang lain bukan karena peduli pada sesama, tetapi untuk pencitraan.
Kematangan moral sejati ditandai oleh kemampuan memberi prioritas pada nilai-nilai luhur, termasuk kesucian dan tanggung jawab lintas waktu, terutama kepada generasi masa depan. Ini sangat relevan di tengah krisis ekologis dan sosial hari ini, di mana keputusan kita saat ini akan berdampak jauh ke depan.
Apokaliptisisme dan Tanggung Jawab Masa Depan
Kegelisahan moral juga sering kali muncul dari kesadaran akan situasi apokaliptik, yakni rasa genting bahwa dunia sedang menuju kehancuran. Di sinilah muncul panggilan tanggung jawab terhadap masa depan. Bukan sekadar rasa takut atau pesimistis, tetapi juga keterpanggilan untuk mengambil peran, memberi makna, dan memperjuangkan perubahan.
Empati terhadap generasi mendatang, sebuah bentuk “infinity responsibility” yang mendorong kita untuk melampaui egoisme jangka pendek. Di sinilah letak spiritualitas moral dan kesediaan untuk berkorban demi sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Dunia kontemporer tengah diguncang oleh berbagai krisis multidimensional yang saling berkelindan dan memperumit kondisi kehidupan manusia modern. Dalam pembacaan yang lebih reflektif, kita bisa melihat bahwa krisis kepercayaan menjadi salah satu gejala paling mencolok, di mana manusia kini cenderung terjebak dalam kebekuan berpikir, menjadi jumud, serta enggan membuka diri terhadap perkembangan pemahaman dan dialog yang sehat.
Dalam ranah sosial, fanatisme buta terus menguat dan menjalar di berbagai lapisan masyarakat, menciptakan jurang pemisah yang dalam antara kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, sehingga ruang kebersamaan dan toleransi kian menyempit. Di sisi kebudayaan, ada semacam rasa inferioritas kolektif yang membuat banyak individu dan komunitas merasa malu atau tidak percaya diri terhadap warisan tradisi mereka sendiri, sehingga nilai-nilai luhur budaya lokal mulai terpinggirkan dan tergantikan oleh budaya luar yang belum tentu sesuai dengan konteks kita.
Dalam dunia politik, egoisme semakin mengakar, kepentingan pribadi atau kelompok sempit kerap mengalahkan aspirasi rakyat banyak, menjadikan panggung politik bukan lagi ajang pengabdian melainkan arena pertarungan kekuasaan. Sementara dalam sektor ekonomi, semangat konsumtif dan orientasi transaksional mendominasi pola pikir masyarakat, nilai manusia ditakar dari daya beli dan kemampuan konsumsi semata, bukan dari kontribusi intelektual atau moral.
Semua ini diperparah oleh krisis komunikasi yang dibentuk oleh era post-truth dan mass mediated reality. Dalam realitas yang dibentuk media, fakta bukan lagi raja. Apa yang penting adalah citra, sensasi, dan viralitas. Di sinilah kita menemukan kedangkalan berpikir, keriuhan tindakan tanpa arah, kegemukan informasi tanpa makna, ketelanjangan kehidupan privat, dan kengawuran opini yang tak berdasar.
Ketika fakta-fakta objektif dikesampingkan demi kepentingan narasi personal atau kelompok tertentu. Kebenaran seolah kehilangan makna karena digantikan oleh opini, persepsi, dan sensasi yang lebih mudah menjangkau emosi publik. Realitas yang dimediasi oleh media massa dan media sosial membentuk semacam ilusi kolektif, menjadikan penampilan lebih penting daripada substansi, dan apa yang viral lebih dipercaya daripada apa yang benar.
Dalam situasi seperti ini, kegelisahan moral menjadi semakin nyata, karena kita dihadapkan pada kenyataan bahwa krisis bukan hanya terjadi di luar sana, tetapi juga di dalam struktur kesadaran kita sendiri. Lebih ironis lagi, dalam situasi ini muncul kengeyelan baru, “I believe therefore I’m right.” Klaim kebenaran menjadi alat legitimasi diri, bukan lagi hasil dialektika akal sehat dan nurani. Ini membuat ruang publik penuh dengan pertikaian tanpa titik temu.
Kondisi ini berdampak luas pada psikologi dan tatanan sosial. Di level pribadi, muncul fenomena seperti online disinhibition effect, FOMO (Fear of Missing Out), pencitraan berlebihan, dan ketergantungan pada pengakuan eksternal. Orang menjadi instan dalam berpikir dan bertindak, lemah dalam intuisi moral, dan mudah terseret arus.
Secara sosial, narasi menggantikan data, viralitas mengalahkan objektivitas, dan polarisasi menjadi tak terhindarkan. Kebohongan menjadi bahan bakar ideologi ekstrem, sementara isu-isu esensial terpinggirkan.
Dalam kondisi ini, pertahanan diri manusia (defense mechanism) bekerja aktif. Mulai dari repression (penekanan), denial (penyangkalan), projection (memindahkan kesalahan pada orang lain), hingga sublimation (menyalurkan dorongan negatif menjadi hal positif). Namun mekanisme ini hanya efektif jika disertai kesadaran reflektif, bukan sekadar pelarian.
Menemukan Jalan Keluar: Healthy Spiritual Life
Pertama adalah meaning, yakni hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran akan tujuan yang lebih besar dari sekadar rutinitas atau ambisi duniawi.
Kedua adalah value, yaitu sikap hidup yang menghargai norma, tatanan, dan prinsip moral yang menjadi penuntun dalam bersikap dan bertindak.
Ketiga, transcendence menekankan pentingnya menyadari dan mengakui bahwa ada realitas yang lebih tinggi dan melampaui kepentingan diri sendiri, baik dalam bentuk nilai-nilai spiritual, kesadaran transendental, maupun kehadiran Ilahi.
Keempat adalah connecting, di mana manusia tidak hidup dalam isolasi, melainkan sebagai bagian dari jaringan relasi yang luas, dengan sesama manusia, lingkungan, dan semesta yang saling memengaruhi dan membutuhkan.
Terakhir, becoming menandai dinamika hidup yang selalu terbuka terhadap proses pertumbuhan, refleksi, dan perubahan menuju arah yang lebih baik secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, kegelisahan moral bukanlah hal yang harus dihindari, melainkan justru perlu disambut sebagai tanda kesadaran. Ia adalah alarm batin bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki, bahwa ada nilai yang sedang digadaikan, bahwa ada masa depan yang menanti kepedulian kita. Di tengah dunia yang makin gaduh dan menyesatkan, kegelisahan moral bisa menjadi lentera yang menyala di dalam diri, menerangi jalan pulang menuju kemanusiaan yang utuh.
Referensi:
Ngaji Filsafat 374: Kegelisahan Moral edisi Belajar Lagi Tentang Moral bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 30 November 2022.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-8 Desember 2024