Mempelajari Absurdisme: Upaya Memahami Eksistensi dan Kehidupan Manusia yang Absurd
Pernahkah kita bertanya, untuk apa kita berada di dunia ini dan apa tujuan dari keberadaan kita? Barangkali setiap orang memiliki jawaban atas kedua pertanyaan tersebut, secara berlainan, berdasarkan tuntutan moral dan norma sosial yang diyakini dan berlaku di tengah masyarakat masing-masing.
Sebagai makhluk individual—di samping pula makhluk sosial, pada dasarnya manusia memiliki rasa keingintahuan yang sangat tinggi terhadap eksistensi diri, terlepas dari beban moral dan sosial—kedua pertanyataan tersebut untuk mengetahui maksud dan tujuan dari keberadaan diri sebagai manusia. Hal itulah yang sebenarnya juga telah digambarkan oleh pencetus aliran filsafat absurdisme, Albert Camus, dalam novel pertamanya yang berjudul Orang Asing (L’Etranger).
Melalui tokoh utama Meursault, Camus mencoba menggambarkan absurditas hidup manusia yang mencoba mencari dan memahami hakikat dari keberadaannya di dunia ini, terlepas dari beban moral dan norma sosial. Karena menggambarkan kehidupan manusia yang terlepas dari pandangan hidup bermasyarakat, dan oleh karenanya hidup berdasarkan subjektivitasnya, maka novel ini pun diberi judul Orang Asing. Lantas, apa sebenarnya absurdisme itu?
Meskipun mendefinisikan absurdisme merupakan suatu hal yang absurd, bukan berarti absurdisme tidak bisa disampaikan. Menurut pengertian secara umum, absurdisme merupakan suatu paham atau aliran dalam filsafat yang didasarkan pada keyakinan bahwa usaha manusia untuk mencari arti (makna) dari kehidupan akan berakhir dengan kegagalan; dan bahwa kecenderungan manusia untuk melakukan hal tersebut sebagai sesuatu yang absurd.
Dengan lain kata, aliran absurdisme percaya bahwa hidup tidak menetapkan sebuah acuan atas makna, alasan, tujuan, dan nilai yang tetap atau mutlak bagi manusia, dan manusia sendirilah yang seharusnya menciptakan acuan tersebut dalam hidupnya. Bila demikian halnya, apa perlunya kita mempelajari absurdisme?
Absurdisme tentu berguna bagi kita dalam memberikan kesadaran dan pemahaman akan kehidupan yang hadir secara irasional atau tak masuk akal. Dengan mempelajari absurdisme, kita diharapkan agar tidak kaget dan berputus asa ketika berhadapan dengan absurditas hidup. Lebih daripada itu, kita pun diharapkan agar tidak menjadi absurd dengan mengharapkan pengetahuan kehidupan, mengingat bahwa kehidupan bersifat subjektif dan relatif.
Sebenarnya paham absurdisme reaksi atau kritik terhadap filsafat eksistensialisme yang dicanangkan Jean-Paul Sartre. Bila filsafat eksistensialisme Sartre lebih menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu; maka filsafat absurdisme menempatkan manusia hanya sebagai bagian kecil dari gerak alam semesta.
Sebagai rumus, filsafat eksistensialisme Sartre menekankan konsep aksi = reaksi; sementara filsafat absurdisme Albert Camus lebih menekankan konsep aksi ≠ reaksi. Sebagai contoh, seorang lelaki yang mengejar cinta seorang perempuan akan percaya bahwa keberhasilan cintanya (reaksi) bergantung pada seberapa besar usahanya dalam mengejar cinta perempuan tersebut (aksi). Itu bila kita menggunakan konsep filsafat eksistensialisme.
Akan tetapi, bukankah kehidupan terkadang tidak berjalan seperti itu? Dan bagaimana bila kehidupan berjalan sebaliknya? Sebagai kebalikannya, filsafat absurdisme tidak terlalu mementingkan hasil akhir atau tujuan dari hal tersebut.
Bila sebelumnya filsafat eksistensialisme menekankan konsep aksi = reaksi, maka filsafat absurdisme menekankan sebaliknya. Sebagai contoh, seorang lelaki yang menggunakan konsep filsafat absurdisme tidak akan percaya bahwa keberhasilan cintanya (reaksi) bergantung pada usahanya dalam mengejar cinta perempuan tersebut (aksi), seberapa pun besarnya. Sebab menurut paham absurdisme, tidak setiap hal dalam kehidupan berjalan secara kausalitas (sebab-akibat). Apalagi paham absurdisme tidak terlalu mementingkan hasil akhir atau tujuan dari suatu hal, sebab yang terpenting ialah kenikmatan dan intensitas dalam melakukan proses dari hal tersebut.
Contoh lain yang sudah sangat familier di telinga kita ialah mitos Sisifus seperti yang telah dicontohkan Camus dalam buku kumpulan esai pertamanya, The Myth of Sisyphus.
Sisifus, yang merupakan seorang tiran nan kejam, dihukum oleh para dewa karena telah berbuat dosa yang sangat fatal, yaitu menipu dewa kematian. Akibatnya, Sisifus dihukum oleh para dewa dengan diharuskan untuk mendorong batu besar ke puncak gunung; dan ketika batu besar tersebut sudah berada di puncak gunung, ia diharuskan untuk membiarkan batu besar tersebut menggelinding dan diharuskan untuk mendorong batu besar tersebut ke puncak gunung lagi. Begitu seterusnya.
Sekilas, apa yang dilakukan oleh Sisifus tampak seperti sebuah kesia-siaan. Akan tetapi, sebagai hukuman, Sisifus menjalani hukuman tersebut dengan tabah dan ikhlas. Lalu, apakah Sisifus memikirkan hasil akhir atau tujuan dari hukumannya tersebut? Tentu tidak. Ia terus saja menjalani hukumannya tanpa memikirkan bagaimana dan kapan hukuman tersebut akan berakhir.
Sebenarnya Sisifus bisa saja lari dari hukuman dengan cara meninggalkannya, tetapi yang demikian itu merupakan sifat pengecut. Di samping itu semua, meskipun ia melakukan rutinitas yang begitu-begitu saja, bukan berarti Sisifus tidak menciptakan makna atas apa yang dilakukannya. Sebab menurut Albert Camus, “Kita harus membayangkan Sisifus bahagia.”
Berangkat dari contoh Sisifus, seperti itulah kiranya kehidupan manusia. Hidup sendiri adalah sebuah hukuman, dan manusia diharuskan untuk menghadapi hukuman tersebut dengan segala absurditasnya. Menurut Camus, ada tiga cara yang bisa dilakukan oleh manusia untuk menghadapi (atau setidaknya merespons) absurditas hidup.
Pertama, bunuh diri fisik. Bunuh diri fisik merupakan sebuah upaya yang bisa dilakukan oleh manusia untuk merespons absurditas hidup dengan cara mengakhiri hidupnya sendiri.
Menurut Camus, ketika manusia mati, manusia tidak akan mengalami absurditas hidup lagi. Akan tetapi, bunuh diri fisik sangat tidak dianjurkan oleh Camus. Sebab, bunuh diri fisik hanya akan membuat manusia tampak lebih absurd; dan bunuh diri fisik merupakan tindakan seorang pengecut dalam merespons absurditas hidup.
Kedua, bunuh diri filosofis. Meskipun berbeda dengan bunuh diri fisik, tetapi bunuh diri filosofis merupakan bentuk dari pelarian juga, dan oleh karenanya sangat tidak dianjurkan oleh Camus.
Bunuh diri filosofis merupakan bentuk pelarian manusia ketika berhadapan dengan absurditas hidup, yaitu dengan cara menggabungkan diri dengan dogma agama atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sebagai contoh, ketika seseorang tidak mampu menghadapi absurditas hidup, ia akan menggabungkan diri ke dalam dogma agama atau norma sosial dengan tujuan untuk mendapatkan harapan atau penghiburan atas absurditas hidupnya, dan juga untuk mendapatkan tujuan hidup yang jelas berdasarkan dogma agama atau kesepakatan hidup bermasyarakat.
Ketiga, memberontak. Cara terakhir yang ditawarkan Camus dalam merespons absurditas hidup ialah dengan cara memberontak. Inilah cara yang sangat dianjurkan oleh Camus.
Adapun yang dimaksud dengan memberontak ialah menyadari sepenuhnya absurditas hidup sembari tetap menjalani hidup yang absurd tersebut. Seperti halnya Sisifus, ia menyadari sepenuhnya bahwa sisa hidupnya hanyalah untuk mendorong batu besar ke puncak bukit, kemudian harus membiarkannya menggelinding dan lantas harus mendorongnya lagi ke puncak bukit.
Sisifus sadar betul akan absurditas hidupnya dan ia pun berani menghadapi absurditas hidupnya dengan cara memberontak, yaitu dengan cara menjalaninya sepenuh hati (totalitas). Dengan menjalani hidup seperti itu, kata Camus, manusia dapat dengan bebas menetapkan nilai dan makna atas hidupnya. Dengan demikian, manusia tidak perlu khawatir lagi terhadap absurditas hidupnya.
Dari penjelasan mengenai absurdisme, tentu paham filsafat absurdisme sangat berguna bagi kita sebagai upaya untuk memperkaya sudut pandang dalam melihat dan memahami kehidupan.
Di samping itu, absurdisme mengajarkan kepada kita agar kita selalu bersikap tabah dan ikhlas dalam menjalani hidup yang terkadang tidak sesuai dengan ekspetasi kita, dengan meyakini bahwa tidak setiap hal dalam hidup bersifat kausalitas. Apalagi bila kita sudah sampai kepada pertanyaan “untuk apa kita berada di dunia ini dan apa tujuan dari keberadaan kita?”, maka kita akan semakin yakin bahwasanya tidak ada makna objektif—terutama yang berdasarkan sebab-akibat—atas kedua pertanyaan tersebut.
Dengan demikian, mempelajari paham filsafat absurdisme, kita pun diharapkan agar menjadi pribadi yang lebih eksis, justru karena kita menyadari bahwa kita hanya sebagian kecil dari gerak alam semesta ini.
Referensi:
“Absurdisme: Memahami Ketiadaan Makna dalam Hidup” dalam nuansa.nusaputra.ac.id, 2 Juni 2023.
Khardi Ansyah, “Absurditas dalam Rutinitas”, dalam kumparan.com, 8 Juni 2023.
Ngaji Filsafat 224: Albert Camus – Absurditas edisi Filsafat Barat Lagi, bersama Dr. Fahruddin Faiz, di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 27 Maret 2019.
Olhepia, “Absurditas Kehidupan: Bisakah Manusia Hidup Bahagia di Dalamnya?”, dalam medium.com, 14 Februari 2020.
Thoriq Ahmad Taqiyuddin, “Filsafat Absurdisme: Jalan Pemberani Menghadapi Hidup yang Penuh Kontradiksi”, dalam kompasiana.com, 24 Juni 2023.
Category : filsafat
SHARE THIS POST