Membuka Mata Hati

slider
04 April 2020
|
1419

Dunia kini sedang tidak baik-baik saja. Seluruh penghuni bumi sedang berada dalam fase panik, muram, sedih, perasaan tertekan, bahkan kekhawatiran yang berlebih menghadapi kenyataan. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan perlahan mulai enggan bersahabat dengan manusia. Ketika virus yang tak kasat mata itu menghantui, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sekaya apa pun manusia tetap tak akan mampu melawan. Jangankan melawan, untuk melihat virus itu dengan kasat mata pun mustahil kita lakukan.

Di saat seperti ini, kita bukan lagi berperang untuk merebut kekuasaan dan inca-binca panggung politik. Bukan lagi soal omnibus law, peperangan di jalur Gaza, maupun persoalan Gedung Putih dan Timur Tengah. Ini persoalan kemanusiaan! Kemanusiaan di seluruh dunia kini terusik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Sebuah pendemi yang tak berperikemanusiaan. Saat seseorang terserang, tak ada keluarga yang bisa mendampingi disampingnya. Lebih parahnya, saat kematian menghampiri akibat virus tersebut, keluarga tak bisa menatap wajahnya untuk yang terakhir kali. Pemakaman tak diperkenankan dengan beramai-ramai. Apa bedanya dengan seseorang yang tewas di medan perang? Yang mayatnya diurus sendiri oleh orang-orang di medan perang.

Tahun 2020 ini kita semua sedang berperang! Peperangan yang lebih sulit daripada perang-perang fisik. Kita semua dihadapkan pada masalah serius dan dituntut untuk bersatu tanpa memandang agama, ras, ideologi, maupun gender. Pada masalah ini, yang terpenting adalah perihal kau, aku, dan kita sama sebagai manusia. Bukan saatnya pula jika di negara Indonesia yang saat ini virus corona yang semakin merajalela, lalu kita melulu menyalahkan pihak-pihak yang lambat dalam mengambil kebijakan, ataupun menyalahkan individu-individu yang tetap abai terhadap adanya wabah ini melebihi kadarnya.

Kenyataan sudah terjadi, sebab waktu tak bisa diulang dan sejarah tak akan sama meski konsepnya tak jauh beda. Pada fase seperti ini, kita sepatutnya untuk “meruang-mewaktu” membaca situasi dan kondisi. Membantu menyadarkan, bukan menambah kepanikan. Satu kalimat yang menurut saya sangat indah saat ini perlu kita pahami lagi bahwa “Tuhan tak pernah menciptakan sampah”. Sepandai apa pun seorang sejarawan, dukun, maupun peramal, mereka tak mampu menjelaskan apa yang akan terjadi setelah ini, nanti, esok lusa dengan fakta yang real. Mungkin hanya beberapa orang yang telah diberikan kemampuan oleh Yang Maha Kuasa dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Tapi itu semua tidak sepenuhnya spesifik.

Kasus yang terjadi sekarang mengajarkan kita semua bahwasanya ada unsur yang memiliki ketidakterbatasan pada semesta. Tuhan, itulah yang Maha Paripurna. Kita tak lagi mampu menganggap bahwa Tuhan selalu ada di tempat-tempat yang suci seperti tempat ibadah. Kini kita mampu memahami Tuhan dengan kemanusiaan, kemanusiaan yang saling perhatian, kemanusiaan yang tak pandang bulu, kemanusiaan yang saling mengerti jika ada manusia kelaparan, kemanusiaan yang ramai dalam kesunyian. Mari kita bangun keramaian kita dalam kesunyian. Keramaian dalam gejolak kita, keramaian yang memberi makna pada kemanusiaan. Untuk bisa merasakan keramaian itu, hadapi kesunyian!

Dalam kesunyian, kita hadapkan diri kita pada realita yang sedang terjadi melalui media yang telah kita saksikan. Kita rasakan bagaimana terpukulnya perasaan mereka yang sedang berperang melawan pandemik luar biasa ini. Sudah pasti jika kita renungkan mendalam rasa kemanusiaan itu, kita akan sampai pada puncak perenungan kita. Puncak dari segala puncak, purna dari segala purna: Tuhan. Mari kita renungkan bersama kembali.

Di luar sana banyak yang masih saja berinteraksi sosial, berjalan tanpa tahu arah, meniti kehidupan dengan segala harapan. Itu semua dilakukan dengan segala risiko demi keberlangsungan hidup untuk diri, anak, dan istrinya di rumah. Apa yang memprihatinkan lagi masih banyak di luar sana orang yang hanya beratapkan langit dan beralas bumi. Bukankah itu semua yang lebih menyengsarakan daripada kita yang hanya diam di rumah, masih bisa makan esok, tanpa pusing memikirkan nanti bisa tidur atau tidak.

Begitu pula pada kalangan medis yang menangani pasien dari wabah ini. Siang malam tak mampu memandangi senyum keluarganya, sedikit kesempatan untuk sekadar bersantai bersama kawan maupun keluarga sembari bercengkrama merasakan kehangatan kasih sayang. Hari-harinya dihadapkan pada kepanikan dengan situasi yang mencekam. Lagi-lagi tak dapat disangkal, bahwasanya yang sangat urgen bagi keberlangsungan hidup ini adalah soal kemanusiaan.

Keadaan kini bukan mengenai wabah Covid-19. Mewabahnya kepanikan itulah kelemahan mayoritas umat manusia. Karena menghadapi kepanikan, kita lupa dengan segala yang lebih penting untuk kita lakukan agar penularan wabah ini tak membabi buta. Hampir kabar di sosial media yang tersiar, memberikan informasi yang sedikit mengganggu psikis kita. Hingga dilema menampik sisi negatif yang kemungkinan terjadi dan melupakan bahwasanya sebelum adanya pelangi, pasti ada mendung gelap yang tak sedap. Hal demikian mengingatkan saya pada petuah dari Kiai Mustafid, pengasuh PPM Aswaja Nusantara Yogyakarta. Dalam story sosial media beliau menuliskan:

“Nak, tahukah kamu, cerita tentang hujan? Hujan di mana-mana sama: mengguyur bumi dengan air yang segar. Hujan jadi penawar palawija yang dahaga. Penyejuk bumi nan kerontang. Dinanti para petani yang mau menanam padi. Namun hujan menjadi petaka bagi petani bawang merah yang mau panen raya. Menjadi mimpi buruk bagi petani tembakau yang menanti menua. Itulah hakikat peristiwa, hakikat ujian, karunia sekaligus bencana, rahmat sekaligus ‘azab’, kemudahan sekaligus kesulitan, kekuatan sekaligus kelemahan. Mata hatimu menangkap apa nak, dari musibah ini?”

Semua manusia pasti memiliki hati, buka mata hati kita. Di balik keadaan dunia yang sedang tak baik-baik saja, pastilah ada sesuatu yang akan menjadikan masa depan menjadi baik-baik bahkan lebih baik. Sejenak tinggalkan kepanikan. Ajaklah sepi menjadi teman meski kadang datang bosan. Kita tangkap pelangi-pelangi dalam tirai yang masih belum tersibak. Mata hati biarkan melihat segalanya agar segalanya menjadi iktikad baik yang kuat.

Tak ada yang perlu dirisaukan. Kita hanya perlu kehati-hatian, pencegahan, dan pendekatan terhadap kemanusiaan. Untuk semua saudaraku yang membaca tulisan ini, marilah kita bersatu memperjuangkan kemerdekaan dari pedihnya perang ini. Perang ini masih belum selesai, bahkan belum benar-benar berlangsung. Perang sesungguhnya akan berlangsung ketika tak ada lagi mata hati dan sunyi yang melangitkan bait-bait pengobat kecemasan, dan ketika tak ada lagi rasa persamaan bahwa kita semua sama-sama manusia.

Semoga diberikan yang terbaik dari semua ini. Panjang umur untuk hal-hal yang merenungi kemanusiaan, panjang umur untuk pejuang kemanusiaan dan kemanusiaan itu sendiri. Serta panjang umur untuk keberlangsungan hidup yang penuh ketenangan.

Untuk saudaraku semua, semesta dan pemilik-Nya membersamai kita.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Ainu Rizqi

Pembelajar