Membaca Kembali Pemikiran Soren Kierkegaard
Soren Kierkegaard, nama yang tentunya tidak asing bagi pembaca filsafat, utamanya bagi penggemar aliran eksistensialisme. Kierkegaard rasanya layak diberikan gelar sebagai guru besar eksistensialisme karena buah pikirnya menjadi pembentuk pondasi aliran baru yang berlawanan dengan status quo pemikiran filsafat Barat pada masanya.
Filsafat Barat pada periode hidup Kierkegaard masuk ke dalam masa filsafat Barat modern abad ke-19 yang kental dengan ciri khas antroposentrisme. Pemikir lain pada masa bersamaan dengan Kierkegaard ada Karl Marx dengan pemikiran marxismenya, hingga Auguste Comte dengan ajaran positivismenya. Selain itu, ada juga nama-nama lain seperti Arthur Schopenhauer, Herbert Spencer, hingga Friedrich Nietzsche.
Filsafat Barat modern dapat kita kelompokkan menjadi tiga aliran. Pertama, filsafat Anglo-Saxon yang berkembang di Inggris dan daerah kolonialnya seperti Amerika Serikat. Filosof dari aliran Anglo-Saxon seperti David Hume, Bertrand Russell, dan William James.
Kedua, filsafat Prancis dengan tokoh seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, dan Auguste Comte.
Ketiga, filsafat Jerman yang meliputi Jerman serta daerah lain dengan budaya sama seperti Denmark. Tokoh pemikir filsafat Jerman adalah G.W.F Hegel, Karl Marx, Ludwig Feuerbach, dan Soren Kierkegaard (Hamersma: 1990).
Filsafat Barat pada abad ke-19 adalah antitesa daripada filsafat Barat abad-18 yang menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat kita simplifikasi dengan kata kunci: rasionalitas, akal budi, dan logika.
Sementara filsafat Barat abad ke-19 memunculkan kata kunci baru, seperti kehendak, eksistensi, dan berciri khas dengan kondisi sosial politik revolusi industri serta berkembangnya marxisme.
Di tengah perkembangan pemikiran filsafat Barat yang demikian, muncul seorang melankolis dan akibat kegagalan kisah cintanya, ia mengabdikan diri ke dalam filsafat dan melahirkan aliran yang kini kita kenal dengan eksistensialisme.
Soren Kierkegaard lahir di Denmark pada 5 Mei 1813. Sifat melankolis dan “ngenes” Kierkegaard tampaknya sudah dipupuk sejak dini dengan cobaan hidup yang dialaminya. Pada masa mudanya, ia melihat secara langsung kematian dua orang kakaknya. Selain itu, titik balik hidup Kierkegaard adalah saat menjalin hubungan percintaan dengan Regina Olsen.
Hubungan tersebut tampaknya akan berjalan lancar hingga tahap pernikahan, namun hanya berselang setahun setelah melamar Olsen, Kierkegaard membatalkan pertunangan dengan alasan dirinya yang terlalu melankolis akan membuat Olsen tidak bahagia hidup bersama.
Kejadian inilah yang membuat Kierkegaard mulai menulis dan melahirkan aliran pemikiran filsafat baru yaitu eksistensialisme. Kierkegaard memberikan kritik bahwasanya filsafat terlalu fokus terhadap kehidupan manusia di dunia dan di dalam masyarakat sehingga lupa untuk membicarakan eksistensi dari manusia itu sendiri. Bagi Kierkegaard, eksistensi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga level eksistensi.
Pertama, level sikap estetis. Pada tingkat ini, eksistensi manusia berorientasi pada duniawi semata. Sikap ini ditemukan pada orang yang menikmati sebanyak mungkin keduniaan. Mereka dikuasai oleh perasaan. Cara hidupnya sangat bebas. Semua kemungkinan hidup diperiksa dan tidak begitu menerima kaidah-kaidah yang membatasi kepuasan diri.
Kierkegaard mencontohkan Don Juan sebagai prototipe sikap estetis. Don Juan adalah tokoh dalam opera Mozart yang hidup untuk memenuhi hasrat sensual dan indrawinya.
Kedua, level sikap etis. Pada tingkat ini, manusia sudah menjadi lebih bijaksana dalam menjalani hidup. Manusia sudah menerima kaidah-kaidah moral, kepentingan suara hati, dan memberi arah pada hidupnya.
Manusia sudah mengakui kelemahannya, tetapi belum melihat bahwa ia tidak dapat mengatasi kelemahannya dengan kekuatannya sendiri. Kierkegaard menempatkan Socrates sebagai prototipe sikap etis.
Socrates digambarkan sebagai pribadi yang sudah mencapai level etis namun belum sepenuhnya menerima bahwa dirinya tidaklah sempurna.
Ketiga, level sikap religious. Level tertinggi sekaligus terakhir dari eksistensi manusia. Manusia mencapai puncak eksistensinya ketika berhadapan dengan Tuhan. Semua kehebatan dan pencapaian manusia di dunia tidak berlaku lagi di hadapan Tuhan. Ketika berhadapan dengan Tuhan, manusia hanyalah seorang individu.
Kierkeggard menjadikan Abraham (Ibrahim) sebagai prototipe dari sikap religius. Kisah Abraham yang rela mengorbankan anaknya sendiri demi mematuhi perintah Tuhan adalah wujud sikap religius yang utuh (Hamersma: 1990).
Dalam pemikiran Kierkegaard lekat dengan nilai-nilai religius, utamanya dipengaruhi oleh ajaran Kristiani. Latar belakang Kierkegaard dari keluarga Kristiani yang taat turut mempengaruhi pemikirannya. Bagi Kierkegaard, agama serta hubungan manusia dengan Tuhan menjadi fundamental dalam ajaran dan pemikirannya mengenai eksistensialisme.
Salah satu pemikiran lain Kierkegaard yang dipengaruhi oleh nilai religius Kristiani adalah pandangannya tentang Tuhan. Baginya, Tuhan adalah entitas yang tidak mungkin dapat dilihat penuh dengan perspektif ilmiah. Tuhan adalah keberadaan (being) yang hidup dan bertindak untuk menyelamatkan hidup kita.
Pandangan Kierkegaard tentang Tuhan tentunya berseberangan dengan pemikir lain yang semasa seperti Friedrich Nietzsche yang secara latar belakang sama dengan Kierkegaard, yaitu berasal dari keluarga Kristiani yang taat.
Nietzsche memilih jalan hidup menjadi seorang ateis. Pemikiran Nietzsche tentang Tuhan yang paling masyur adalah adagiumnya “Tuhan telah mati dan kita yang telah membunuhnya”.
Selain Nietzsche, Marx yang semasa dengan Kierkegaard juga memilih jalan mengkritik agama yang dikatakan sebagai alienasi religius yang menyebabkan manusia hidup dalam penindasan sosial ekonomi.
Walaupun Kierkegaard adalah seorang Kristiani yang taat, ia tetap objektif dalam menilai praktik agama Kristen yang diselenggarakan di Denmark. Kierkegaard menggambarkan kehidupan beragama di Denmark lebih sebagai “religious formalism and ritualism”.
Masyarakat beragama bukan untuk mendapatkan keselamatan dari Tuhan ataupun untuk menjalankan ajaran agamanya, melainkan agama dijadikan subjek yang tidak ada bedanya dengan budaya popular. Agama hanya sebagai ritual formalitas.
Kritik Kierkegaard tentang fenomena kehidupan beragama di Denmark menjadi bukti sahih bahwa dirinya tetap objektif dalam memandang praktik agama dengan tidak semerta-merta membenarkan praktik yang dijalankan.
Beranjak ke pemikiran Kierkegaard berikutnya, yaitu pandangannya mengenai kesulitan manusia dalam mencapai jati diri. Baginya, manusia tidak dapat dibicarakan “pada umumnya” atau “menurut hakikatnya” karena “manusia pada umumnya” sama sekali tidak ada.
Masyarakat (society) turut berpengaruh terhadap eksistensi manusia. Masyarakat membentuk sebuah logika yang kemudian diterima sebagai logika umum. Kebiasaan masyarakat yang kemudian diterima sebagai sebuah budaya melunturkan jati diri manusia secara individu.
Akibatnya eksistensi manusia direduksi melalui pengaruh yang diberikan oleh masyarakat sehingga manusia tidak bebas menjadi dirinya sendiri dan harus mengikuti logika kerumunan hasil interaksi sosial di dalam masyarakat.
Bagi Kierkegaard, manusia seharusnya menjadi seperti apa yang dipercayainya. Dalam filsafat Barat, tradisi “berpikir sama dengan berada” ditolak oleh Kierkegaard. Katanya, “percaya itu sama dengan menjadi”. Manusia bisa memilih akan menjadi penonton yang pasif atau pemain yang aktif. Dalam Fear and Trembling, Kierkegaard menyatakan:
“As thou believest, so it comes to pass; or as thou believest, so art thou; to believe is to be” (Sebagaimana engkau percaya, demikianlah jadinya sebagaimana engkau percaya, demikianlah engkau adanya; percaya adalah menjadi).
Manusia adalah apa yang ia percayai. Ketika manusia percaya dirinya kekal, maka ia akan kekal. Konsep pemikiran Kierkegaard ini menjadikan manusia sebagai subjek utama dalam filsafatnya. Manusia harus menjadi dirinya sendiri dan menjadi otentik, Dengan begitu, manusia akan mencapai eksistensi dan menemukan jati dirinya yang utuh.
Pemikiran Kierkegaard menjadi pembuka dari pemikir-pemikir berikutnya yang menggeluti aliran filsafat eksistensialisme seperti Jean Paul Sartre, Martin Heidegger, dan masih banyak lagi lainnya.
Sifat melankolis Kierkegaard justru menjadi akar lahirnya aliran pemikiran filsafat baru. Kisah cinta yang kandas dari Kierkegaard membuka gerbang menuju subjek filsafat Barat modern yang berseberangan dengan status quo filsafat barat pada masa itu.
Membaca ulang Kierkegaard sama dengan berupaya mencapai kesejatian diri. Kierkegaard boleh sudah tiada, namun eksistensialismenya abadi.
Pustaka:
Hamersma, Harry, 1990, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT Gramedia.
Kierkegaard, Soren, 2012, Fear and Trembling, Cambridge: Cambridge University Press.
Category : filsafat
SHARE THIS POST