Memaknai Lebaran Tanpa Perayaan Tahun Ini

slider
28 Mei 2020
|
1218

Umumnya Lebaran di Indonesia dirayakan dengan euforia takbir keliling dan dilengkapi pesta kembang api. Namun perayaan Lebaran tahun ini dalam kondisi pandemi, yang mengharuskan tidak mudik, tidak berkerumun, menjaga jarak, dan tidak bersalaman. Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa Lebaran tahun ini merupakan momen langka yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Lain halnya dengan Mbah Modin (bukan nama sebenarnya) yang menganggap Lebaran tahun ini sama saja dengan rutinitas yang biasa dilakukannya pada tahun-tahun sebelumnya. Mbah Modin begitu orang menyebutnya, beliau dianggap sebagai sesepuh dan ahli agama di desa. Setiap harinya beliau bertani dan berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama sang istri. Keadaan pandemi seperti saat ini pun tidak banyak memengaruhi rutinitasnya sehari-hari.

Hal itu lantaran beliau bersama istri setiap harinya makan dari hasil bertani dan berkebun serta minum air sumur yang direbus. Mbah Modin seringkali diundang oleh tetangga untuk memimpin ritual keagamaan seperti kenduri, tahlil, dan pada acara lainnya.

Ketika malam Lebaran tiba kala kondisi normal, biasanya banyak orang menghabiskannya dengan takbir keliling, pesta kembang api, dan semacamnya, Mbah Modin menghabiskan malam Lebaran dengan berdiam diri di rumah, melakukan semedi (baca: meditasi) dan beberapa ritual penyucian diri.

Ketika pagi hari, selepas shalat Ied Mbah Modin biasanya memilih pergi ke makam para leluhur untuk berziarah. Selepas berziarah beliau kembali ke rumah dan kembali menyepi dari keramaian. Pada Lebaran hari kedua dan seterusnya beliau melanjutkan dengan laku puasa Syawal.

Berbeda dengan Mbah Modin, pada tahun-tahun sebelumnya saya biasa menghabiskan waktu malam Lebaran dengan berbelanja baju baru dan camilan. Ketika pagi hari, selepas shalat Ied saya bermaafan dengan kedua orang tua, tetangga, dan kerabat dekat. Pada Lebaran hari kedua, saya dan keluarga biasa mengunjungi kerabat jauh yang lokasinya masih terjangkau, dan tak jarang justru mampir ke tempat wisata dalam keramaian dan perayaan-perayaan.

Lebaran hari ketiga, biasanya saya memilih untuk menyepi berziarah ke gunung. Saat mendaki hanya beranggotakan 2-4 orang saja, jadi tidak terlalu ramai. Berziarah ke gunung lantaran tujuan saya memang untuk mengasingkan diri. Kalau kata Kang Nunu penulis buku Quantum Ikhlas, “Di tempat berenergi besar, semua masalah menjadi kecil”. Atas dasar itulah saya biasa memilih untuk pergi ke gunung, pantai, goa, air terjun, bukit, dan tempat indah lainnya.

Seperti menulis, mendaki gunung identik dengan jalan sunyi. Layaknya Lebaran tahun ini, mau tidak mau saya atau bahkan kita semua harus menahan diri untuk tidak melakukan perayaan-perayaan yang lebih identik dengan keramaian, euforia, dan kesenangan. Karena itu, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengikuti rutinitas Lebaran yang tidak harus identik dengan perayaan-perayaan, seperti yang biasa dilakukan oleh Mbah Modin.

Pada malam takbiran tahun ini, saya memilih berdiam diri di kamar dengan diiringi musik instrumen, motivasi, dan audio brainwave. Seketika hal ini kemudian membuat perasaan dan pikiran saya menjadi lebih tentram dan damai. Pagi harinya, sesuai anjuran dari pemerintah, saya dan keluarga melangsungkan shalat Ied di rumah. Usai shalat kami lantas bermaafan dengan sesama anggota keluarga dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.

Lebaran tahun ini, pintu rumah kami tutup. Dengan menutup pintu bukan berarti tertutup juga pintu maaf dan pintu hati. Sore harinya, saya memilih mengikuti jejak Mbah Modin yang biasa berziarah ke makam para leluhur. Malamnya, saya habiskan untuk instrospeksi dan menyelam lebih dalam ke diri sendiri.

Lebaran tahun ini membuat saya sadar bahwa selama ini kerapkali hanyut dalam keramaian, kesenangan, dan perayaan-perayaan semu. Tanpa adanya pandemi seperti saat ini, belum tentu saya akan banyak introspeksi dan lebih banyak mengenal diri. Setidaknya tahun ini saya sadar bahwa Lebaran bukan hanya soal mudik, makanan, pesta kembang api, dan perayaan-perayaan. Melainkan sebuah laku penyucian diri untuk kembali pada fitrah manusia yang bersih dan suci lahir batin, layaknya seorang bayi baru terlahir dari rahim seorang ibu. Kalau kata Mbah Modin, “Dalam Lebaran, mereka yang mendapatkan makna akan merasa lebih nyaman dari yang hanya riang pada perayaan-perayaan”.

Saya teringat tulisan Pak Fahruddin Faiz yang berjudul Memberi Judul dan Menempelkan Makna. Apabila kita sesuaikan dengan konteks Lebaran, sebagian orang pada umumnya pasti akan memberi judul Lebaran sebagai “Hari Raya” layaknya pemerintah yang melabelkannya pada kalender dengan judul “Hari Raya Idul Fitri”. Akhirnya ketika memaknai Lebaran sebagai sebuah “perayaan” akan terdorong dirayakan dengan membeli baju baru, pesta kembang api, membeli dan memasak berbagai makanan, dan bahkan berwisata.

Sebagian yang lain memberi judul Lebaran sebagai “Hari Suci”. Memaknai Lebaran sebagai sebuah “penyucian”, memperingatinya dengan bermeditasi, ziarah makam, menyepi, dan lelaku penyucian diri lainnya. Penyucian dalam Lebaran adalah momen penyucian diri lahir dan batin.

Namun, Lebaran tahun ini kita bisa bersepakat bahwa Lebaran adalah “Hari Suci” yang layak diperingati dengan beberapa laku penyucian diri lantaran pada tahun ini tidak ada perayaan-perayaan seperti takbir keliling, pesta kembang api, dan bahkan berwisata bersama keluarga. KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama mengingatkan bahwa,

Sejatine kang mangkana

Wus kakenan nughrahing Hyang Widhi

Bali alaming nga-suwung,

Tan karem karameyan

Ingkang sipat wasesa winisesa wus,

Mulih mula mulasira

Mulane wong anom sami.

Terjemahan bebasnya,

(Sebenarnya yang demikian itu

Sudah mendapat anugerah Tuhan

Untuk kembali ke alam kesunyian,

Tidak tenggelam dalam keramaian

Yang bersifat kuasa menguasai,

Kembali ke asal mula permulaan

Karena itu wahai orang-orang muda).

Mungkin melalui Lebaran tahun ini dalam kondisi pandemi, Gusti Allah sedang ingin menegur kita untuk tidak memperingati Idul Fitri dengan perayaan-perayaan yang identik dengan keramaian, euforia, dan kesenangan yang berlebihan. Melainkan kita layak memperingatinya dengan penyucian diri yang identik dengan kesunyian, ketenangan, dan kedamaian.

Akhirnya dengan Lebaran tanpa perayaan ini kita tidak lagi terjebak dalam dinamika kehidupan yang umumnya ramai dengan ambisi, obsesi, dan segenap sifat keduawian yang diakibatkan olehnya. Dengan kesunyian bukan tidak mungkin rahasia tentang permulaan keberadaan, sumber segala yang ada, yang menjadi inti sekaligus meliputi segalanya akan terbuka. Wallahu a’lam bishawab.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

A. Fikri Amiruddin Ihsani

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Gusdurian Surabaya