Memahami Kriteria Mental Sehat dari Ibnu Sina

slider
01 Februari 2025
|
598

Kita mengenal Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran modern, yang menelurkan karya besar Kitab al-Shifa (The Book of Healing) dan al-Qanun fi at-Thibb (Canon of Medicine). Dikenal pula sebagai Avicenna, pengaruhnya di dunia medis juga dirasakan di dunia Barat. Namun sebenarnya, kontribusi ilmuwan muslim asal Afshona di Dinasti Samaniyah (kini wilayah Uzbekistan) teramat luas, meliputi filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, fisika, kimia, geografi, teologi, logika, puisi, hingga psikologi.

Situs MacTutor History of Mathematics Archive (mathshistory.st-andrews.ac.uk) menyebut, sosok bernama asli Abū ‘Alī al-Ḥusayn ibn ʿAbdallāh Ibn Sīnā ini diyakini menulis sekitar 450 karya—namun hanya 240 yang terlacak—yang dominan ditulis dalam bahasa Arab dan sebagiannya bahasa Persia. Dari karya yang selamat, diidentifikasi ada dua bidang terbesar kontribusinya, yaitu filsafat (150 karya) dan kedokteran (40 karya).

Salah satu karya besarnya, The Book of Healing, merupakan ensiklopedia sains dan filsafat, yang meliputi matematika, astronomi, kimia, ilmu bumi, psikologi, filsafat ilmu, logika, dan metafisika. Buku yang juga dikenal Sufficientia dalam bahasa Latin ini adalah perwujudan dari pikiran para filsuf yang memengaruhi Ibnu Sina (antara lain Aristoteles, Ptolemaus, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Al-Biruni). Meski berjudul ‘penyembuhan’, namun buku ini bukan membahas bidang kedokteran dan obat-obatan, melainkan penyembuhan akan ketidakberesan jiwa atau batin.

Dalam The Book of Healing, Ibnu Sina membahas bidang psikologi, yang meliputi pikiran, persepsi, eksistensi, hingga hubungan pikiran dan tubuh. Menurut Ibnu Sina, bentuk paling umum pengaruh pikiran pada tubuh bisa dilihat dari gerak sukarela tubuh berdasarkan perintah pikiran. Bentuk lain pengaruh pikiran pada tubuh bisa kita lihat dari emosi dan keinginan, yang digambarkan Ibnu Sina lewat kondisi ketika kita harus menyeberangi jurang melalui sebuah jembatan yang hanya berupa sebilah papan.

Ketika pikiran kita didasari rasa takut yang meyakini bahwa “kita tidak akan mampu melaluinya tanpa terjatuh”, maka tubuh menjadi tidak punya keberanian melaluinya. Sehingga, kekuatan alami tubuh sesuai dengan apa yang dipikirkan. Lebih jauh, menurut Ibnu Sina, emosi yang begitu kuat dapat betul-betul menghancurkan perangai (sifat batin) seseorang dan mengarahkan pada kematian dengan cara memengaruhi fungsi tubuh dalam hal bertahan hidup. Ibnu Sina juga meyakini bahwa jiwa yang kuat dapat menciptakan suatu kondisi yang sama baiknya pada orang lain, sehingga ia yakin pada metode al-wahm al-amil (hipnosis atau sugesti).

Kondisi Tubuh Manusia

Dari penguasaan bidang psikologi Ibnu Sina, apa yang bisa kita jadikan pedoman? Ibnu Sina mempunyai konsep tentang kriteria kesehatan jiwa. Tetapi sebelum itu, kita perlu membahas gagasan-gagasan psikologis yang lebih umum untuk memahami konteks atau gambaran besarnya. Mula-mula kita bahas kondisi tubuh manusia, yang oleh Ibnu Sina dibagi menjadi tiga jenis.

Pertama, sihhah (sehat), yaitu kondisi tubuh ketika dalam setting alami dengan kinerja dan fungsi organ-organ normal. Kedua, marad (sakit), kebalikan dari sihhah, yaitu ketika ada fungsi tubuh yang kinerjanya tidak berjalan semestinya. Ketiga, laysat bi sihhah wa la marad (tidak sehat tetapi juga tidak sakit), yaitu kondisi tengah antara sehat dan sakit. Cirinya adalah ketika kita merasa tubuh tidak sepenuhnya sehat tetapi belum cukup gejalanya untuk dikatakan sakit, namun kita sadar ada yang tidak beres dengan tubuh. Contohnya cemas berkepanjangan, kelelahan kronis, serta stres berlebihan.

Tiga kondisi tubuh manusia tersebut menjadi titik berangkat kita untuk menggali lebih jauh pandangan-pandangan Ibnu Sina soal psikologi. Setelah mengidentifikasi kondisi tengah antara sehat dan sakit, yang berkaitan dengan jiwa seseorang, Ibnu Sina punya empat kriteria mental sehat, sebagaimana pemaparan Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat episode 450: Ibnu Sina - Kesehatan Mental pada 13 November 2024.

Kriteria Mental Sehat

Ciri pertama, emosi stabil, yaitu ketika berbagai bentuk perasaan dapat kita kendalikan. Menurut Paul Ekman, psikolog asal Amerika Serikat yang memelopori studi emosi dan ekspresi wajah, ada tujuh emosi dasar manusia yaitu marah, sedih, senang, terkejut, jijik, takut, terhina.

Emosi stabil bukan berarti tidak pernah marah, tidak merasakan sedih, dan menyamaratakan segala bentuk emosi, tetapi—sebagaimana wajarnya manusia yang dibekali emosi—bersedia merasakan dan mengakui perasaannya namun mampu menjaga diri agar tidak dikontrol olehnya. Jika marah tidak sampai kalap, jika senang tidak sampai meluap-luap, jika sedih tidak kebablasan, jika takut tidak berlebihan. Singkatnya, kita bisa mengatur segala bentuk emosi secara proporsional. Justru, ketika kita tidak lagi bisa merasakan berbagai emosi dasar yang Tuhan anugerahkan, bisa jadi pertanda emosi kita tidak sehat.

Ciri kedua, pikiran jernih, yaitu pikiran yang berfungsi sebagaimana mestinya, baik dalam hal fokus maupun dalam membedakan baik dan buruk. Bukan berarti kita harus secerdas para filsuf atau ber-IQ setinggi para ilmuwan, tetapi yang penting pikiran kita bisa berfungsi dalam mengamati, mencerna, dan memahami fenomena sehari-hari di sekeliling kita.

Contoh pikiran tidak jernih adalah ketika kita menelan mentah-mentah informasi dari media sosial tanpa berusaha skeptis (meragukan atau mengkritisinya) atau ketika doktrin tertentu membuat pikiran kita bias dalam menilai kebaikan orang lain. Pikiran (akal) adalah penciri manusia, yang membedakan kita dari hewan. Jika pikiran tidak berfungsi dengan baik, maka hanya tersisa sisi hewan dalam diri kita, seperti persepsi indrawi dan insting.

Ciri ketiga, menegakkan spiritual dan moral, yaitu kondisi mental yang tetap mengakomodasi sisi alamiah manusia berupa spiritual (ketuhanan) dan moral (akhlak atau kesusilaan). Mental butuh memberi ruang pada spiritual dan moral untuk mencapai hidup paripurna sebagai manusia. Aspek spiritual dan moral ini mengantarkan kita pada kedalaman kualitas hidup, sebagai antitesis dari hidup yang hampa.

Ciri keempat, keselarasan lahir dan batin, yaitu kemampuan menjaga jiwa-raga tetap sehat sehingga fungsi saling menunjangnya berjalan baik, sebab dalam pandangan Ibnu Sina, keduanya selalu berkaitan. Ibnu Sina mengemukakan teori psikosomatis, yaitu kondisi pikiran mampu memengaruhi tubuh hingga memunculkan sakit fisik. Dengan kata lain, tubuh yang sakit tidak semata disebabkan gangguan fisik, tapi juga bisa berasal dari ketidaksehatan jiwa (mental).

Hubungan Jiwa dan Tubuh

Untuk ciri keempat secara lebih detail, Ibnu Sina memaparkan hubungan tubuh dan jiwa menjadi empat perspektif. Pertama, jiwa sebagai penggerak tubuh. Tanpa jiwa, seseorang hanya berupa jasad sehingga tidak akan utuh sebagai manusia. Jiwa memakai tubuh untuk menjalankan fungsi sebagai manusia, seperti berpikir (melalui otak), bergerak (melalui otot), dan merasakan (melalui indra).

Kedua, tubuh sebagai wadah jiwa. Tanpa jasad, seseorang pun tak akan utuh menjadi manusia, karena tak memungkinkan untuk berinteraksi dengan dunia fisik. Kesehatan tubuh sangat penting karena tubuh yang sakit atau rusak akan menghambat jiwa dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Ketiga, jiwa memengaruhi tubuh. Aspek jiwa berupa emosi (perasaan), pikiran, mental, akan memengaruhi bagaimana tubuh bekerja. Ketika jiwa terlalu dominan pada salah satu emosi, fungsi tubuh menjadi tidak stabil. Begitu juga pikiran pesimis atau negatif akan mendorong tubuh mewujudkan ketidakmampuan.

Keempat, tubuh memengaruhi jiwa. Tubuh harus fit untuk mewujudkan kehendak jiwa. Tanpa tubuh yang sehat, jiwa tidak bisa mewujudkan perannya secara optimal.

Terakhir dari Ibnu Sina, kesehatan mental terletak pada keseimbangan jiwa hewaniah dan jiwa insaniah, di mana emosi dan pikiran berkerja secara selaras.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahada Ramadhana

Asisten Redaktur di Akurat.co