Mbah Ijah

06 Juli 2018
|
1117

Ijah, begitu ia biasanya dipanggil, konon lahir di tahun 1942. Kenapa konon, karena memang tak ada kebiasaan mencatat kelahiran di masa itu. Ya sebuah masa jauh, yang bahkan negara Indonesia belum diproklamirkan.

Nama lengkapnya adalah Siti Chadijah. Nama yang memang disengaja oleh ayahnya dimiripkan dengan nama istri pertama Kanjeng Nabi Muhammad: sayyidati Chadijah. Mungkin, kehidupan santri sang ayah, Kyai Jahid, membutakan sang ayah dari prioritas dari yang lain (preferensi), harapan, dan nilai lain selain Islam. Dan harapan itu ia ujudkan dengan pemberian nama Chadijah tadi, agar sang putri besok besar punya akhlak seperti Chadijah.

Mungkin preferensi sang ayah tadi tidaklah aneh, alias wajar. Karena, konon, sang Ayah juga terlahir dari seorang Kyai yang pernah berguru pada Kyai Kasan Besari, yang menurut sumber sejarah merupakan “punjer-patok” spiritual tanah Jawa pada masanya dan merupakan guru dari pujangga besar Jawa Ranggawarsita itu.

Legenda di kampungnya sering mengisahkan, bahwa setelah kekalahan Dipanegara, kyai yang merupakan salah satu ‘letnan’ perang Jawa ini, kemudian berguru pada Kyai Kasan Besari, dan setelah rampung menempuh periode nyantrinya, berhasil mempersunting salah satu putri Kasan Besari.

Ia dan istrinya akhirnya meninggalkan Ponorogo, dan memulai hidup dengan babat alas di sebuah kampung yang ia beri nama Tempursari. Sebuah alas, yang nantinya menjadi desa tempat bertemunya (tempur) dua sungai (sari) di wilayah Ngawi barat. Ia membangun hidup, merintis pesantren, dan mengubah nama: Hasan Istadz. Nama Hasan mengingatkan nama rama besar Ponorogo itu.

Ijah adalah cucu Hasan Istadz. Oleh karenanya, tak aneh ia diajarkan untuk mengenal, mencerap, mengalami dunia hanya dari satu cara pandang: Islam. Seperti dituturkannya sendiri, ia sejak diumur yang sangat belia, umur 9-10an, misalnya sudah secara rutin diajak kakek juga ayahnya mengerjakan salat malam, puasa senin-kamis, juga dhuha. Di kemudian hari, para anak-anaknya menuturkan, puasa senin kamis, juga salat malam dan dhuha hukumnya mendekati wajib dalam lingkungan keluarganya. “Kewajiban” ini nyaris konsisten ia laksanakan hingga menjelang ajalnya. Nyaris tanpa jeda, tanpa putus dari sejak kecil hingga meninggal.

Ini bukan apa-apa. Mungkin ia hanya mengenal cara hidup itu. Warisan cara hidup, yang diturunkan oleh ayah dan kakeknya, membuatnya tak punya pilihan banyak.

Selain itu, ia memang juga tak banyak mengenal dunia lain. Pendidikannya yang hanya setingkat SD--yakni madrasah ibtidaiyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri untuk mempersiapkan para murid memasuki pondok pesantren yang juga dikelola sang ayah, pakde, dan pakliknya--tak memberi banyak wawasan cukup luas untuk mengenal “dunia lain”. Namun, mungkin Ijah sedikit beruntung, karena di saat para perempuan di masanya secara normal sudah dinikahkan di umur 10-12 tahun, Ijah, satu-satunya dari sekian anak perempuan Kyai Jahid--yang memang semuanya perempuan--masih sempat dipondokkan ke Semarang di umur 14 tahun, setelah dirasa cukup mengaji di pondok ayahnya sendiri.

Karena keterlambatannya dalam menikah, ia sering dijuluki “prawan tuwa”, alias perawan tua. Riwayat hidup santrinya ini sungguh membentuk kehidupannya berikutnya. Mungkin ia, satu-satunya perempuan di desa, dan banyak kampung yang mengitari desanya, yang masuk kriteria sebagai “sarjana” Islam, yang tidak hanya tak bisa dicapai oleh para perempuan di masanya, melainkan bahkan susah dicapai para laki-laki di zaman itu.

Hal ini mungkin dalam segi tertentu justru merugikan. Para lelaki jadi semakin segan untuk meminangnya. Banyak pemuda tertarik padanya, tapi mereka tak berani. Namun, pada suatu hari ia akhirnya menerima lamaran seorang guru madrasah, anak seorang modin, yang tidak pandai, tapi tulus, seperti arti namanya: Cholis.

Pencapaian pengetahuan dan kebiasaan riyadhoh yang merembes sejak dini di keluaraganya, sungguh membentuk cara pandang Ijah secara keseluruhan. Seluruh peristiwa dalam hidup, baginya, harus menautkan Tuhan dan agama di dalamnya. Jika para muslim saat ini, sering memisahkan wilayah profan dan sakral dalam kehidupan keagamaan, maka mungkin Ijah orang pertama yang akan menyanggahnya. Baginya, setiap tindakan, apapun itu, adalah sakral. Setiap tindakan harus terpaut dan dipautkan dengan agama juga Tuhan.

Suatu kali, di paska kehidupan menikahnya, saat ia menjadi ketua penyuluh KB merangkap penasehat kepala desa--sebuah tugas publik pertama yang mengenalkannya pada “dunia”, dan yang akan mengubah belokan hidupnya--ia sempat membuat ibu bupati Ngawi nangis dengan pertanyaan naifnya: “Jika seorang ibu pakai kontrasespsi yang membuat darah menstruasi keluar tak teratur, kapan kita mulai salat?” Ibu bupati gemetar, merah muka, dan akhirnya sesenggukan. Menangis, malu.

Ini bukan pertanyaan caper, tapi sebuah tanya yang muncul dari dilema intim hidupnya yang mulai terinterupsi oleh hal-hal profan. Sesuatu, menurutnya, harus punya konteks jelas dalam jaring pandangan ketauhidan dan syariat.

Dulu, saat diajukan sebagai ibu teladan Ngawi, ia kalah gara-gara tak menandur tanaman hidup di belakang rumah. Ini mungkin bukan salahnya, tapi salah pesantren, karena tak mempunyai kerangka teologis, yang memasukkan isu lingkungan dan tumbuh-tumbuhan dalam bangun kesadaran tauhid dan imannya misalnya.

Di masyatakat, ada juga cerita lain yang mengatakan, ia mendirikan sebuah koperasi untuk menolong orang desa yang sangat kesusahan meminjam bahkan uang sebesar 50 ribu dengan nilai kurs saat ini. Ijah mendirikan koperasi tersebut, minimal menurut pengakuannya, untuk menolong orang-orang seperti itu. Ternyata koperasi membesar, meluber hingga luar wilayah desa. Konon anggotanya hampir seribu orang, dan telah berumur 20an tahun, yakni dengan kredit macet yang terus saja bisa diatasi--tentu saja berdasar putusan dan kesadaran agama.

Namun tak ada jalan yang mulus. Di tengah jalan, ia sempat diterpa isu: “Haji kok memperanak uang”, alias makan dari uang bunga. Tentu informasi ini salah. Bagi para anggota sendiri mereka sangat tahu dari mana asal bunga (2 persen) itu diterapkan di koperasi. Para anggota koperasi yang tambah membludak merasa kasihan pada Ijah yang selain tak memungut apapun dari pendirian koperasi, juga tak punya teman untuk menata koperasi secara organisatoris. Anggota akhirnya mengusulkan beberapa teman untuk menjadi pengurus membantu Ijah, dan memberi jatah 2 persen untuk keperluan administrasi. Itupun murni atas keinginan dan usulan anggota. Clear.

Tapi masalah tak selesai, ia dihantui riba di mata Tuhan. Ia gelisah memikirkannya. Akhirnya tiba keputusan: ia memanggil seluruh anggota, para sesepuh, dan seluruh kyai di desa. Setelah mereka berkumpul, Ijah menyentak terutama para kyai dengan satu pertanyaan: “Apakah bunga yang diterapkan di koperasi ini termasuk riba? Jika ya, hari ini juga saya akan membubarkan koperasi ini, detik itu juga.” Namun, karena berdasar ketokohan, koperasi ini harus dibubarkan. Jika tak ada Ijah di sana, persis seperti dulu koperasi desa juga harus berhenti sejak Ijah mulai sepuh, dan orang-orang lain tak mau percaya pada orang lain. Mungkin itu titik lemahnya.

Sungguh, tak ada lagi hal profan, yang bisa bertahan lama dalam hidupnya. Bahkan untuk urusan makan pun, tak ia lewatkan. Ia, untuk mengambil contoh yang remeh, selalu memaksa anak-anaknya untuk makan sebelum berangkat salat Id, karena nabi selalu melakukannya, dan bukan setelahnya.

Meski begitu, tafsirnya tentang agama, sering melabrak kemapanan, terutama tentang isu perempuan. Ia misalnya pernah melabrak dan memarahi kyai yang ia undang sendiri untuk mengisi ular-ular di acara mantenan anak putrinya. Pasalnya sang kyai banyak mengeluarkan hadis-hadis misoginis yang menyudutkan perempuan. Dalam sebuah cecarannya: “Emang ndak ada hadis-hadis yang ngepik-ngepik (membela) perempuan, saya tidak terima.” Sang kyai diam.

Di akhir 1/2 kurang hidupnya, setelah perjalanan panjang “penghayatan syariatnya”--sebut saja begitu--ia akhirnya melirik kearifan sufisme (baca tarikat) dari pada syariat belaka. Banyak tuturan mengatakan ia mulai mengkritik para sesepuh agama di desanya yang ia nilai terlalu berbaju syariat. Dan kelakuan para pemuka agama, tercatat oleh warga, membenarkannya.

Lepas dari itu semua, yang jelas dan yang paling dirasakan para anaknya adalah kesadaran kosmis religius sederhana yang merasuk dalam dalam sumsung tulangnya. Jika saat subuh selesai, ia menunggu Dhuha, Dhuha selesai menunggu Zuhur, Zuhur selesai menunggu Asar tiba, Asar selesai menunggu Magrib, Magrib selesai menunggu Isya, Isya selesai menunggu bangun malam, salat malam selesai menunggu Subuh. Begitu terus. Nyaris tak berubah.

Suaminya dulu, Nur Cholis, sering kuwalahan mengikuti kesadaran ritmis istrinya. Tapi meski kuwalahan, sang suami senang.

Menjelang jam-jam mendekati ajal, meski sudah tak bisa diajak ngendika, tangannya bergerak mirip takbiratul ikrom dan diakhiri doa. Begitu terus, diulang-ulang hingga detik-detik menjelang ajalnya. Seluruh anak berkumpul membimbing kalimah thoyyibah sesuai gerak ritmis napasnya yang tenang. Para anak sambung-menyambung membisikkan permintaan maaf di telinganya. Ia meneteskan air mata. Ia bahagia, ia tersenyum. Di ujung kalimah thayyibah, napasnya berhenti. Ia kembali ke hadhirat-Nya.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-34 Jumat, 06 Juli 2018/21 Syawal 1439 H

 


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Irfan Afifi

Budayawan muda Indonesia, pendiri Ifada Initiatives dan langgar.co, sekaligus seorang pelajar Kawruh Jiwa