Masyarakat Jawa Memaknai Dunia
Saya bukanlah orang Jawa asli. Pengetahuan mengenai konsepsi hidup ala masyarakat Jawa tidak begitu saya dapatkan sedari kecil. Namun harus saya akui, bahwa konsepsi hidup yang dimiliki masyarakat Jawa itu memang unik dan lekat dengan nilai-nilai filosofis.
Banyak konsepsi yang sangat relevan untuk terus-menerus diterapkan dalam menghadapi realitas kehidupan kekinian yang penuh dengan problematik. Dan salah satu konsepsi itu dapat diambil dalam istilah ‘memayu hayuning buwana’.
Secara etimologi, istilah ‘memayu hayuning buwana’ terdiri dari tiga premis yang saling berkaitan. ‘Memayu’ berasal dari akar suku kata ‘mayu’ yang mendapatkan imbuhan ‘me’, memiliki arti mempercantik, memperindah, dan atau meningkatkan keselamatan.
‘Memayu’ ini merujuk pada suatu konsep tidak mengubah tatanan yang sudah ada; tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada; dan tidak menimbulkan konflik baru terhadap tatanan yang sudah ada.
Istilah selanjutnya ‘hayuning’, yang berakar dari suku kata ‘hayu’ dan mendapatkan imbuhan ‘ning’ atau ‘ing’. Istilah ini, dalam falsafah Jawa merujuk kepada arti cantik, indah, dan selamat.
Dan terakhir ‘buwana’ yang merujuk kepada arti dunia. Istilah dunia, dalam pandangan masyarakat Jawa memiliki dua kategori. Pertama, jagad gumelar atau makrokosmos yang terdiri dari unsur-unsur dunia dan alam semesta yang ada. Kedua, jagad gumulung atau mikrokosmos yang merupakan pribadi individual masyarakat atau manusia.
Berdasarkan etimologi di atas, memayu hayuning buwana merupakan usaha untuk memperindah indahnya dunia. Dalam realitas masyarakat Jawa, secara mendasar, hubungan alam dan manusia memiliki hubungan dalam bingkai ‘ketersalingan’.
Hubungan antara dunia dan manusia adalah saling topang-menopang. Manusia hidup dengan bantuan apa yang ada di dunia. Pun dengan dunia, pada tahapan tertentu, membutuhkan manusia untuk merawat ekosistemnya supaya bertahan lebih lama. Keduanya memiliki persamaan pada, bersumber, menuju, di dalam, dan diliputi unsur Ilahiah.
Namun untuk sampai pada pemahaman memayu hayuning buwana ini prosesnya tidak mudah apalagi murah. Manusia pertama-tama perlu mengasah dan menambah wawasannya.
Masyarakat Jawa memberi nama laku itu dengan rahayuning buwana kapurba waskitaning manungsa atau kesejahteraan dunia tergantung pada kewaskitaan manusia. Karena untuk mempercantik dunia diperlukan akumulasi wawasan dari masa silam yang diramu dengan realitas hari ini guna membaca kemungkinan yang bakal terjadi di masa depan.
Setelah memperoleh bekal wawasan, manusia perlu mendarmakannya dalam bentuk kebaikan-kebaikan pada level terendah dalam hidupnya atau darmaning manungsa mahanani rahayuning negara. Seperti misal menjaga kebersihan diri sendiri, pekarangan rumah, sampai pada perangai membuang sampah sesuai tempatnya.
Kalau kebaikan yang dianggap remeh, sederhana, dan mudah saja bisa ditunaikan dengan baik, maka perkara-perkara yang besar akan lebih mudah diselesaikan. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Namun itu saja belum cukup, jika di dalamnya tidak memuat nilai-nilai kemanusiaan atau rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane. Budi pekerti, tata krama, dan bagaimana ia menjadi manusia dan memanusiakan apa yang ada di sekitarnya menjadi prinsip yang mesti ada dalam berelasi dengan dunia, di level apapun.
Masyarakat Jawa meramunya dengan tiga langkah sederhana atau tri-no, tetapi kerap luput tidak diamalkan. ‘Niteni’ adalah cara pertama dalam usaha ini. Istilah ini memiliki arti mengingat-ingat, mengenali dan memahami. Cara ini menghendaki manusia untuk belajar ke luar, mengamati gejala-gejala yang ada sebelumnya, kemudian dijadikan pengetahuan untuk memahami kejadian berikutnya.
Selanjutnya, ‘nirokake’ yang berarti menirukan, mengikuti, dan mengambil pelajaran dari perjalanan dunia atau sunnatullah. Cara ini menghendaki untuk tidak hanya belajar ke luar, tapi juga ke dalam yakni mengenal diri kita sendiri. Pada cara kedua ini, setiap manusia dituntut untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan dirinya sendiri.
Terakhir, ‘nambahi’ yakni memberi nilai tambahan atau meningkatkan ke arah yang lebih baik dan kondusif terhadap alam semesta. Artinya, kehadiran manusia dapat menambah keindahan dan menjadikan dunia yang sudah penuh manfaat menjadi lebih bermanfaat.
Cara ini hanya kalau bisa dilakukan. Kalau tidak bisa, minimal manusia dapat tetap menjaga kestabilan dunia yang sudah ada, tanpa merusak dengan seenaknya.
Tafsir Konsepsi Dunia
Atas dasar konsepsi memayu hayuning buwana ini, pandangan-pandangan masyarakat Jawa mengenai dunia saya rasa dapat ditafsirkan dalam tiga hal;
Pertama, dunia sebagai yang sakral. Konsep ini selaras dengan yang ditawarkan Seyyed Hossein Nasr dengan ecosophy-nya, yang sebenarnya telah jauh lebih dulu dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Dunia diposisikan sebagai sesuatu yang sakral atau suci. Setiap manusia tidak boleh sembarangan dalam bertindak. Ada kode-kode etik tertentu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika berhubungan dengan dunia.
Kedua, dunia sebagai keluarga. Istilah ini memiliki tujuan menghindari adanya eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang terkandung di dalamnya. Dunia, dengan segala keindahannya, menyimpan rahasia kebaikan berlimpah yang patut diambil hikmah dan sekaligus memberikan kepadanya sebuah penghargaan.
Ketiga, dunia sebagai tanggung jawab. Ini adalah wujud dari kesadaran bahwa manusia adalah khalifatullah fil ardh. Bentuk dari tanggung jawab ini meliputi ‘momong’ atau mengasuh atau menjaga; ‘momor’ atau mendekat atau membaur; dan ‘momot’ atau menerima serta menanggung apapun kondisinya, baik itu menguntungkan maupun merugikan.
Implikasi diterapkannya konsepsi hidup seperti ini akan mengarahkan pada terciptanya harmoni, keselarasan, dan kesejahteraan antara manusia dengan dunia seisinya. Selain itu juga menegaskan karakter sejatining manungsa atau insan kamil yang ada pada diri setiap manusia.
Mungkin pada tataran tertentu, melalui memayu hayuning buwana ini, manusia dapat mensyukuri apa yang ada di sekitarnya dengan cara menjaga dan merawat. Bisa jadi juga, laku ini dapat mengantarkan manusia pada manunggaling kawula Gusti dengan makna sederhana bahwa, manusia sebagai hamba tidak lantas bisa berlaku semena-mena pada dunia dan seisinya. Wallahu’alam.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST