Masih: Apa Sih Menariknya Filsafat?
Siapakah saya? Mengapa saya ada? Apa bedanya saya dengan yang lain? Untuk apa saya hidup? Bagaimana saya harus hidup? Dari mana asalku? Kemana nantinya tujuanku? Apa yang harus saya lakukan dan apa yang jangan saya lakukan? Sudah tepatkah yang saya lakukan selama ini?
Benarkah pengetahuan saya tentang hidup yang saya punyai selama ini? Secara umum pertanyaan-pertanyaan inilah yang biasanya dilacak jawabannya secara serius oleh para filsuf untuk ‘menguji hidup’ mereka.
Berbagai jawaban telah diberikan terhadap pertanyaan ini, dan sekarang giliran Anda untuk menjawab pertanyaan ini. Jangan takut atau merasa tidak mampu, karena sebenarnya setiap orang mampu melakukannya.
Jangan takut atau minder membaca atau melihat berbagai pandangan yang ‘serba tinggi’, ‘serba ruwet’ atau ‘serba njlimet’ yang diberikan oleh para filsuf terhadap kehidupan mereka sendiri-sendiri. Andalah yang paling tahu kehidupan Anda sendiri, bukan mereka.
Jalanilah ujian ini untuk kehidupan Anda sendiri, karena dengan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, berarti Anda sudah memulai untuk membuat hidup Anda sendiri berharga, lebih bermakna. Jadilah filsuf, setidaknya filsuf tentang diri Anda sendiri. "Kenalilah dirimu", itulah jargon lain dari Socrates.[1]
Maka sebenarnya, kehadiran filsafat bagi saya sebenarnya adalah untuk menantang kita, beranikah kita mempertanyakan dan menguji kembali segala yang selama ini kita anggap ‘sudah semestinya demikian’? Mengapa harus makan sehari tiga kali? Mengapa tidur harus sekitar delapan jam sehari?
Mengapa di pagi hari harus mandi? Mengapa jam kantor harus dimulai pukul delapan? Mengapa anak kecil tidak boleh berbicara sambil menatap mata orang dewasa? Mengapa wanita harus ‘diakhirkan’ atau ‘didahulukan’ dalam berbagai urusan?
Mengapa harus lelaki yang berkewajiban mencari nafkah? Mengapa harus wanita yang mengurusi urusan rumah tangga? Mengapa harus ada negara? Mengapa orang harus beragama? Mengapa orang butuh ikatan perkawinan?, dan seterusnya.
Beranikah kita menjawab tantangan filsafat ini? Mungkin tidak semuanya berani, karena harus diakui bahwa hampir semua manusia dalam kehidupannya hanyalah sekadar ‘membebek’ saja terhadap berbagai tradisi yang selama ini sudah berjalan ‘mapan’.
Menguji kembali berbagai hal yang selama ini berjalan mapan seringkali akan menempatkan Anda berseberangan dengan mayoritas orang, dan risiko untuk ini tidak kecil.
Socrates sendiri yang menganjurkan dan mempopulerkan tantangan ini harus menemui ajalnya setelah dipaksa minum racun oleh pengadilan Athena karena tuduhan merusak akidah anak-anak muda saat itu.
Dan banyak contoh tentang mereka yang mencoba mencari alternatif baru dari cara pandang yang ‘mapan’ semacam ini harus menelan berbagai risiko pahit; mulai dicemooh, dicap menyeleweng, kafir, pemberontak sampai yang harus menjalani hukuman mati, dengan tuduhan utama: mendobrak kemapanan.
Meskipun kelihatannya sederhana, apabila ditelaah dengan lebih mendalam, orang akan menjadari bahwa sekadar semboyan ‘ujilah hidupmu’ tersebut tidak sesederhana pada mulanya.
Nantinya dalam sejarah Anda akan melihat bahwa slogan sederhana ini bisa menjungkurbalikkan tatanan kehidupan manusia yang telah mapan meskipun sebenarnya tujuan akhir dari penjungkirbalikan ini—seperti yang dimaui oleh Socrates sendiri—adalah untuk membawa dunia ke arah ketertiban yang tingkatnya lebih tinggi, yaitu ketertiban yang diiringi dengan kesadaran serta kepedulian dan pemahaman manusia terhadap kehidupan mereka sendiri.
Manusia tidak boleh hidup hanya dengan mengandalkan rutinitas, ikut apa kata orang, merasa tahu padahal tidak tahu, dan merasa bisa padahal belum tentu. Manusia harus disadarkan dan dibangunkan dari keseharian yang membuat mereka terlena dan tidak suka ambil pusing terlalu dalam dengan segala yang mereka lakukan dan mereka pikirkan.
Manusia harus digugah dari ketenggelaman mereka dalam kesibukan duniawi yang membuat mereka tidak lagi peka terhadap baik-buruknya, benar-salahnya, dan layak-tidak layaknya apa yang mereka pikirkan, mereka lakukan dan mereka angankan.
Dengan melakukan reevaluasi terhadap hidup inilah manusia akan menemukan kebermaknaan kehidupannya, bukan sekadar menjadi komponen dalam sebuah mesin besar yang tidak punya nilai tawar dan nilai pilih selain hanya ikut berjalan sesuai program tertentu yang telah dipatenkan.
Bermaknanya hidup dan berharganya hidup, itulah kiranya tawaran paling menarik dari makhluk yang namanya filsafat ini. Dan jangan dianggap remeh, karena dalam pandangan saya, kebermaknaan hidup inilah yang esensial bagi manusia.
Bisa disebut manusia atau tidak bagi saya terletak dalam bagaimana seseorang bisa memberi makna kepada hidupnya sendiri dan hidup dalam kebermaknaan itu. Dan kebermaknaan inilah hal paling asasi yang membedakan manusia dengan binatang.
Dalam berbagai kesempatan diskusi saya sering melontarkan pertanyaan: Apakah bedanya manusia dengan binatang? Biasanya banyak teman akan menjawab bahwa perbedaan manusia dan binatang itu terletak pada rasionya, kemampuan berpikirnya. Dan biasanya juga saya akan bertanya, apa sih yang kamu dimaksud dengan kemampuan untuk berpikir itu?
Jawaban dari pertanyaan ini biasanya agak bervariasi, ada yang mengatakan bahwa kemampuan berpikir yang khas manusia adalah kemampuannya untuk memilih dan menentukan sendiri, atau kemampuannya untuk menyadari keberadaan dirinya, atau kemampuannya menyadari adanya tanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya.
Dalam kualitas tertentu sebenarnya binatang pun memiliki hal yang disebut itu. Anjing penjaga yang patuh dapat dikatakan memiliki tanggung jawab, induk ayam yang melindungi anak-anaknya dapat dikatakan memiliki tanggung jawab sekaligus kesadaran sebagai seorang ibu, monyet yang dididik main sirkus, tikus eksperimental yang bisa melewati jebakan-jebakan, dapat dikatakan memiliki kemampuan untuk ‘memilih’ dan memutuskan jalan yang aman dan harus ditempuhnya.
Banyak contoh yang lain menunjukkan bahwa dalam aspek ini manusia pada dataran ekspresifnya tidak sangat jauh berbeda dengan binatang, meskipun tentunya dalam kualitas yang sangat rendah, karena binatang lebih mengandalkan instink bertahan hidupnya, sementara manusia memiliki potensi perkembangan.
Bahkan ada kalanya—dalam hal ini—manusia jatuh ke dataran lebih rendah dari kualitas kelas rendah yang dimiliki binatang tadi. Misalnya bagaimana pertanggungjawaban seorang satpam yang maling di kantornya sendiri, pejabat pemerintah yang korupsi, ibu yang membuang anaknya, pemimpin yang mengkhianati orang yang memilihnya, dan lain sebagainya.
Maka menurut saya, perbedaan paling esensial antara manusia dan binatang terletak pada kemampuannya memaknai hidup, mengatur hidupnya agar tidak terjebak dalam kesia-siaan.
Untuk bisa membuat hidupnya bermakna pertama-partama orang harus menyadari dulu apa yang harus dan seharusnya ia lakukan, sekaligus mampu memahami benar-salah, baik-buruk atau layak-tidak layaknya yang ia lakukan itu. Dengan kesadaran dan pemahaman ini maka hidup yang dijalaninya akan memiliki ‘harga’, bernilai untuk dibela dan dipertanggung-jawabkan.
Melalui kemampuan memaknai hidup inilah manusia diharapkan mampu melepaskan dirinya dari jeratan mekanisasi hidup dan cara pandang dan perilaku yang stereotipe tentang hidup. Kemiskinan, kekayaan, ketertindasan, kemerdekaan, kebahagiaan, dan juga kesedihan dalam kehidupan pada dasarnya adalah persoalan pemaknaan hidup, bagaimana manusia memaknai hidupnya sendiri.
Untuk bisa melakukan itu, filsafat menawarkan dirinya sebagai kendaraan. "Kenalilah dirimu!"
Mungkin membaca misi filsafat yang mendorong setiap orang untuk menguji hidupnya sendiri membuat Anda takut kepada filsafat, atau memiliki ketidaksetujuan tertentu kepada filsafat. Boleh saja jika kemudian karena ketidaksetujuan itu Anda bertekad untuk tidak melibatkan sama sekali filsafat dalam hidup Anda.
Tetapi Anda perlu mencatat bahwa setiap orang, termasuk Anda, sebenarnya berhak dan layak untuk masuk dan bergelut dalam dunia filsafat. Setidaknya setiap orang memiliki filosofi hidup sendiri-sendiri, misalnya ada orang yang memiliki prinsip hidup ‘kuliah dulu-baru menikah’, ‘sikat dulu, urusan belakangan’, ‘jangan sampai saya tidak jujur kepada orang tua’, ‘berbohong asal membawa keuntungan itu tidak apa-apa’, ‘setiap tindakan harus menghasilkan uang’, ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’, atau ‘kumpul ora kumpul sing penting mangan’, atau ‘lebih baik mati dari pada malu’, dan mungkin ada pula yang memiliki filosofi ‘lebih baik malu dari pada tidak punya duit’. Itulah filosofi hidup.
Filosofi tersebut tentunya sangat memengaruhi gaya hidup setiap orang, meskipun sayangnya banyak orang tidak menyadari hal ini sehingga tidak mampu untuk berintrospeksi diri dan melakukan reevaluasi terhadap segala filosofi hidup yang dimilikinya.
Kalau Anda memutuskan untuk sama sekali tidak melibatkan diri dengan filsafat berarti Anda membiarkan segala filosofi hidup Anda itu memengaruhi Anda, menyetir hidup Anda, tanpa Anda benar-benar memahaminya mengapa harus demikian? Sudah tepatkah sikap dan filosofi Anda tersebut? Apakah filosofi hidup semacam itu masih relevan dengan kehidupan Anda? Tidak adakah filosofi hidup lain yang lebih benar, baik dan tepat?
Seorang tokoh filsafat, Karl Popper, pernah berkata:
“Saya rasa, kita semuanya mempunyai filsafat dan bahwa kebanyakan dari filsafat kita itu tidak bernilai terlalu banyak. Dan saya kira bahwa tugas utama dari filsafat adalah untuk menyelidiki berbagai filsafat itu secara kritis, filsafat mana yang dianut oleh berbagai orang secara tidak kritis.”
Dengan melihat bahwa semua orang memiliki filosofi hidup dapat dikatakan bahwa sebenarnya setiap orang sudah berada diambang pintu dunia filsafat, termasuk Anda. Hanya kurang dua langkah lagi Anda akan masuk ke dalam dunia filsafat.
Langkah pertama, sadarilah segala filosofi hidup dan realitas hidup Anda. Langkah kedua bernalar atau berpikirlah secara serius, teratur, terfokus, dan mendalam tentang segala filosofi Anda tadi, baik latar belakangnya, tujuannya, yang harus atau tidak boleh dilakukan berdasarkan filosofi hidup tadi, dan seterusnya.
Akan lebih baik lagi apabila Anda juga meluangkan sedikit waktu untuk membaca beberapa tulisan para tokoh filsafat yang pernah ada, yang pada dasarnya juga adalah evaluasi dan refleksi mereka terhadap hidup mereka masing-masing.
Bandingkan hasil pikiran mereka dengan refleksi Anda sendiri, lalu putuskan dan pilihlah pandangan mana menurut Anda lebih tepat untuk diikuti, atau lebih baik lagi kalau Anda bisa menemukan benang merah kesamaan pandangan diantara para tokoh tadi dan pandangan Anda.
Dan setelah melakukan semua itu... kini Anda telah berada di dunia filsafat! Berani menerima tantangan? Lanjutkan refleksi Anda, karena masih ada banyak hal yang harus diuji kembali. Selamat datang dan lihatlah… banyak hal menarik di sini.
Sekali lagi, selamat datang, know your selves! Man ‘arafa Nafsahu-‘arafa rabbahu.[2]
______
[1] Untuk kepentingan kesadaran dan pemahaman setiap orang akan hidup ini, Si Socrates ini sepanjang hidupnya berjalan menyusuri jalan-jalan kota Athena, tempat dia tinggal, dan mencari kesempatan berdiskusi dengan siapapun yang ditemuinya. Dalam perbincangan dengan orang-orang yang ditemuinya itu, biasanya Socrates akan memosisikan dirinya sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang oleh banyak orang dianggap ‘sudah diketahui’, misalnya, “Bagaimana hidup yang benar itu?”, “Apakah cinta itu?”, “Apa yang Anda maksud dengan kebajikan?”, dan tentunya orang yang ditanya akan menjawab sesuai dengan yang dipahaminya selama ini. Karena banyak orang tidak benar-benar paham dengan apa yang mereka sangka sudah diketahui tadi, maka jawaban-jawaban yang mereka berikan pun seringkali sangat artifisial. Dari sinilah kemudian Socrates melancarkan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang ‘memaksa’ orang yang ditanya untuk berpikir dan mengkonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya yang lama. Dengan gayanya ini Socrates berhasil menggiring orang kepada pemahaman yang benar tanpa harus menggurui.
[2] Fahruddin Faiz, Aku Bertanya Maka Aku Ada (Yogyakarta: Qalam, 2003).
Category : filsafat
SHARE THIS POST