Masa Hidup The Philosopher King: Marcus Aurelius
Plato dalam Republic pernah mengatakan bahwa, “Seorang yang layak menjadi seorang pemimpin hanyalah filosof.” Namun Plato tak kunjung mendapati sosok yang diidealkan sampai kematiannya. Sampai pada abad pertama muncullah seorang pemuda yang kelak akan mewujudkan mimpi Plato, yaitu Marcus Aurelius.
Marcus Aurelius adalah seorang kaisar sekaligus filosof penganut stoikisme yang terkenal dalam sejarah. Ia merupakan yang terakhir dari lima kaisar baik (The Five Good Emperors) dan yang paling dihormati dalam sejarah Kekaisaran Romawi.
Kemampuannya dalam memimpin serta dedikasinya terhadap filsafat stoikisme membuat Romawi mencapai puncak keemasan (Golden Age) pada masa hidupnya. Karyanya, The Meditations, menjadi tulisan paling berpengaruh dalam sejarah, khususnya aliran filsafat stoikisme.
Bagaimana karya tulis yang berusia hampir 2000 tahun tetap sangat relevan untuk dibaca? Sejarawan Romawi, Cassius Dio (155–235 M) mengatakan tentang Marcus bahwa, “Selain memiliki semua kebajikan lainnya, ia memerintah lebih baik daripada orang lain yang pernah berada pada posisi kekuasaan apa pun.”
Anak yang Ditakdirkan
Marcus Aurelius lahir pada 26 April 121 M. Nama lengkapnya adalah Marcus Annius Verus. Keluarganya memiliki hubungan dengan kaisar-kaisar sebelumnya. Ibunya, Domitia Lucilla, adalah saudara perempuan Kaisar Hadrianus. Publius Aelius Traianus Hadrianus adalah seorang kaisar Roma dari 117 hingga 138 M.
Marcus kecil tinggal di Kota Ucubi, Provinsi Romawi Hispania Baetica (Spanyol) sebelum pindah ke Roma. Ketika berumur sekitar tiga tahun, ayahnya meninggal. Marcus hampir tidak mengenal ayahnya, tetapi kemudian menulis tentang kejantanan dan kerendahan hatinya, mengambil dari apa yang ia pelajari tentang ayahnya melalui reputasi dan sedikit yang ia ingat.
Marcus dibesarkan oleh ibu dan kakek dari pihak ayah, seorang senator terkemuka yang pernah menjabat tiga kali sebagai konsul. Ia adalah teman dekat Kaisar Hadrian dan merupakan saudara ipar istri Hadrian, Permaisuri Sabina, bibi buyut Marcus.
Sebagai anggota keluarga bangsawan kaya yang memiliki hubungan dengan kaisar, Marcus secara alami menjadi bagian dari lingkaran sosial kakeknya. Ada sesuatu tentang Marcus yang menarik perhatian Hadrian. Kaisar Hadrian memberikan penghormatan kepada Marcus sejak usia dini, mendaftarkannya ke dalam ordo berkuda ketika berusia enam tahun, menjadikannya apa yang kadang-kadang digambarkan sebagai seorang kesatria Romawi.
Ketika Marcus berusia delapan tahun, Hadrian mengangkatnya ke Perguruan Salii, yang tugas utamanya adalah melakukan tarian ritual yang rumit untuk menghormati Mars, dewa perang, sambil mengenakan baju besi kuno dan membawa pedang serta perisai upacara.
Hadrian menjuluki anak laki-laki itu Verissimus, yang berarti “paling benar” atau “paling jujur”, sebuah plesetan dari nama keluarganya Verus, yang berarti “benar”. Seolah-olah ia menganggap Marcus, seorang anak kecil, adalah orang yang paling blak-blakan di pengadilan.
Memang benar, keluarga Marcus meskipun kaya dan berpengaruh, terkenal karena menjunjung kejujuran dan kesederhanaan. Kecenderungan Marcus dalam berbicara secara lugas memberinya ketertarikan alami terhadap filsafat stoa, yang kemudian ia temukan.
Sayangnya Marcus harus menghadapi realitas yang kejam, budaya intelektual Romawi pada masa Hadrian ialah retorika dan pidato, Hadrian ingin menghidupkan kembali tradisi retorika Yunani sehingga ia menyewa para orator dan ahli retorika untuk menjadi guru di istana kekaisaran.
Hadrian sangat menyukai retorika dan inilah relitas kejam yang akan dihadapi Marcus. Dengan kecenderungan retorika lambat laun Hadrian menjadi seperti kaum sofis Yunani dan membeci filsafat. Para ahli retorika senang dengan pujian, sedangkan para filosof menyukai kebenaran dan menganut kerendahan hati.
Retorika adalah suatu bentuk hiburan yang enak didengar, sedangkan filsafat adalah terapi moral dan psikologis. Filsafat terkadang menyakitkan untuk didengar karena memaksa seseorang untuk memperbaiki kesalahan atau kebenarannya sendiri.
Seiring berlalunya waktu, Marcus semakin sadar akan kekecewaannya terhadap nilai-nilai kaum sofis dan kedekatan alaminya dengan nilai-nilai kaum stoa. Marcus yang sejak awal memiliki darah bangsawan lebih suka hidup dengan kesederhanaan daripada kemewahan.
Marcus berjanji pada dirinya sendiri tidak akan pernah lagi menyia-nyiakan waktunya dengan memikirkan hal-hal negatif. Marcus mengingatkan dirinya sendiri bahwa di mana pun kita bisa hidup, kita bisa hidup dengan baik, hidup dengan bijak, bahkan di Roma—yang jelas ketika itu sulit untuk tetap selaras dengan kebajikan stoa. Marcus mendapati ketidaktulusan hidup di istana, dan ia mulai mengandalkan stoikisme sebagai cara untuk mengatasinya.
Ibu Marcus cukup peka dengan kondisi putranya yang tidak begitu suka dengan kehidupan istana. Ia pun memanggil teman lamanya untuk menjadi mentor Marcus. Marcus lebih suka belajar di rumah ibunya daripada harus belajar di istana bersama guru-guru retorika.
Orang pertama yang mengenalkan Marcus pada stoa adalah Diognetus. Diognetus mengajari Marcus ketika masih berusia 12 tahun. Hal pertama yang Marcus pelajari adalah cara untuk menoleransi kritikan dan bagaimana cara agar tidak mudah terpengaruh oleh kata-kata. Sungguh berat membayangkan bagaimana seorang anak muda harus belajar untuk menoleransi kritikan dan tidak tergoda oleh sanjungan.
Waktu terus berjalan. Kaisar Hadrian tidak mempunyai anak. Pada tahun-tahun terakhirnya, ketika kesehatannya mulai memburuk, Hadrian memilih penggantinya. Hadrian ingin memilih Marcus untuk menjadi kaisar selanjutnya, namun karena Marcus masih berusia 16 tahun, ia kemudian memilih Lucius Aurelius untuk menjadi kaisar.
Namun karena masalah kesehatan, Lucius meninggal setahun lebih awal. Akhirnya Hadrian menunjuk paman Marcus, Antoninus Pius yang berusia 50 tahun untuk menjadi kaisar selanjutnya, dengan syarat Marcus akan menjadi putra mahkota dan memimpin Romawi setelahnya.
Tak disangka, Lucius ternyata memiliki putra dan mau tidak mau Antoninus akhirnya mengadopsi anak Lucius yang menjadi saudara angkat Marcus. Pada hari adopsi itulah Marcus mengambil nama keluarga Antoninus serta saudara angkatnya Marcus Aurelius Antoninus, serta saudara angkatnya Lucius Aurelius Verus.
Ketika Antoninus menjadi kaisar, ia mengundang guru retorika terkenal yang bernama Cornelius Fronto yang kelak akan mengajari Marcus bagaimana cara bersikap seperti kaisar. Meskipun Marcus tidak menyukai retorika, namun ia secara pribadi kagum terhadap Fronto sehingga ia menganggap Fronto sebagai teman dekat sekaligus keluarga di istana.
Di sisi lain, Fronto sebagai seorang guru retorika khawatir bahwa kesukaan Marcus terhadap stoa membuatnya tidak mampu menjadi negarawan dan kaisar. Fronto khawatir jika kedepannya Marcus akan menjadi kaisar yang membuat keputusan dan kebijakan yang aneh karena landasan filsafat stoanya.
Ketika Marcus berusia 20 tahun, Junius Rusticus menggantikan Fronto sebagai guru utamanya. Selama belajar, Marcus mengamati bahwa persoalan filsafat—retorika; stoa; sofis—di Romawi tak kunjung selesai. Marcus khawatir bagaimana jika ia tidak mampu menjadi kaisar, bagaimana jika konflik paham-aliran tumbuh menjadi lebih besar dimasa depan, bagaimana jika ia tidak mampu menerapkan etika stoa yang ia pelajari dan bagaimana jika ia tidak mampu menahan dirinya sendiri.
Kehilangan dan Kesedihan
Sejak awal Marcus tidak begitu menyukai Hadrian. Bahkan dalam The Meditations, Marcus berterima kasih kepada semua orang yang pernah membantunya dan menyebut namanya, namun nama Hadrian tidak ia tulis.
Marcus tidak menyukai Hadrian karena mungkin Hadrianlah yang membawa Marcus ke wilayah yang tidak ia sukai yaitu istana kerajaan. Marcus sering mengamati bagaimana terjadinya kecurangan, ketidaktulusan, korupsi, dan ketidakadilan yang terjadi dalam pengadilan istana.
Marcus melihat bagaimana Hadrian menindas banyak orang yang tidak sejalan dengannya. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan nilai prinsip stoa yang ia anut. Kekhawatiran dan kegelisihan Marcus terus bertambah seiring dengan Antoninus yang semakin tua. Antoninus juga memiliki fisik yang lemah sehingga ia tidak yakin apakah dapat memimpin Romawi dengan baik atau ia akan mengulang kasus yang sama seperti Hadrian.
Walau bagaimanapun, takdir sudah ditulis dan Marcus tidak dapat mundur dari hal ini. Ketika Antoninus akhirnya meninggal, kini dimulailah kekhwatiran dan kegelisahan tiada akhir yaitu hidup di istana untuk selamanya.
Marcus akhirnya diangkat secara resmi sebagai kaisar Romawi pada 161 M saat ia berusia 40 tahun. Hal pertama yang Marcus lakukan ketika menjabat sebagai kaisar adalah mengangkat saudara angkatnya, Lucius Verus, untuk menjadi kaisar juga. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Romawi dipimpin oleh dua kaisar.
Marcus menjadikan Lucius sebagai kaisar yang mengurus kampanye militer dan menjaga wilayah-wilayah perbatasan, sedangkan Marcus sendiri yang mengurus pemerintahan. Marcus menikah dengan putri Antoninus yaitu Faustina II pada 145 M.
Meskipun terlihat adil, banyak masyarakat yang tidak suka dengan kebijakan Marcus. Marcus yang sejak awal belajar stoa tidak terkejut dengan respons masyarakat. Pada awal pemerintahannya, selain menghadapi masyarakat yang tidak puas, Marcus harus menghadapi bencana alam, Sungai Tiber yang meluap pada musim semi 162 M membuat kerugian pangan yang cukup parah. Banyak pertanian yang gagal panen serta hewan ternak yang mati. Sejak awal menjabat sebagai kaisar pun sepertinya takdir tidak berpihak kepada Marcus.
Seolah tidak memberikan kesempatan kepada Marcus, perang terjadi dimana-mana. Marcus menunjuk Lucius agar turun langsung, perang-perang besar terjadi di banyak sudut wilayah Romawi yang luas.
Selain perang, serangkaian konflik terjadi dengan suku-suku Barbarian di perbatasan utara dan timur Kekaisaran Romawi. Pertempuran ini melibatkan suku-suku seperti Quadi, Marcomanni, dan Sarmatians. Akhirnya terjadi perang melawan suku-suku Barbarian, ditambah dengan serangan dari Parthia dan pertempuran di Sungai Danube, membuat hari-hari kepimimpinan Marcus terasa sangat melelahkan. Meskipun perang-perang tersebut dapat diselesaikan namun harga yang harus dibayar sangat mahal.
Puncaknya adalah ketika kematian Lucius Verus pada 169 M, membuat Marcus harus menjadi satu-satunya orang yang memimpin kekaisaran yang memiliki wilayah luas. Meskipun kematian saudara angkatnya sangat menyedihkan, Marcus tidak punya waktu untuk bersedih. Seiring kematian Lucius, membawa mimpi buruk bagi kekaisaran Romawi yaitu adanya wabah antonine, wabah hebat yang membunuh hampir setengah penduduk Romawi.
Takdir seperti tidak pernah memihak Marcus, di tengah kesedihannya akan kematian Lucius, Marcus harus berdiri paling depan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak wabah antonine. Bahkan Marcus sampai melelang jubah kebesarannya demi menstabilkan ekonomi pada masa itu. Marcus juga sering ikut ke pemakaman untuk memberikan penghormatan kepada setiap warga yang mati karena wabah antonine.
Meski demikian, semua itu bukan apa-apa bagi Marcus, kerana ia sejak kecil telah belajar etika stoa dan bagaimana cara mengendalikan diri. Puncak kesedihan Marcus ialah ketika istrinya meninggal pada 175 M.
Di tengah perang dan dalam keheningan malam, Marcus merasa sangat berduka. Ia begitu sedih dengan meninggalnya sang istri. Selain kehilangan sang istri, anak-anaknya juga sebagian meninggal pada usia muda. Marcus dikarunai 13 anak dan hampir setengahnya meninggal ketika masih kecil.
Sungguh berat bagi Marcus, namun ia harus tetap teguh sebagai pemimpin, harus tegas sebagai jenderal militer menggantikan Lucius, dan harus tetap tenang sebagai seorang stoa. Bagaimanapun sedihnya Marcus, ia kembali ke singgasana kerajaan seolah tak diberikan waktu untuk istirahat. Marcus harus memikul tanggung jawab sebagai seorang kaisar untuk melayani rakyatnya.
Pertemuan dengan Takdir
Musim dingin tahun 180 M adalah saat dimana Marcus sedang berada di perbatasan utara untuk kampanye militer. Namun, siapa sangka ia terkena demam yang mengharuskannya berbaring di atas ranjang kamp militer selama 6 hari.
Marcus hampir berusia enam puluh tahun dengan kondisi lemah secara fisik, dan semua tanda menunjukkan bahwa ia tidak mungkin pulih. Di hadapan para dokter dan pejabat istana yang hadir, anehnya Marcus tampak tenang, hampir acuh tak acuh. Marcus telah mempersiapkan momen ini hampir sepanjang hidupnya. Marcus adalah seorang kaisar-filosof yang secara alami penuh kasih dan sayang, harus berhadapan dengan banyak kehilangan, namun dapat mengendalikan diri.
Sepanjang hidupnya ia telah banyak mengalami kehilangan. Kini, saat terbaring sakit, ia sekali lagi merenungkan orang-orang yang telah pergi darinya. Beberapa tahun sebelumnya, Faustina II, istrinya yang telah dinikahi selama tiga puluh lima tahun, meninggal dunia. Faustina II telah hidup cukup lama untuk melihat delapan dari tiga belas anak mereka meninggal. Selama pemerintahan Marcus, jutaan orang Romawi di seluruh kekaisaran terbunuh karena perang atau penyakit.
Suaranya lemah dan luka di mulut serta tenggorokan membuat Marcus sulit berbicara. Tak lama kemudian, ia menjadi lelah dan memberi isyarat kepada dokter yang merawatnya agar pergi, Marcus ingin melanjutkan meditasinya secara pribadi. Marcus sendirian di dalam kamar, sambil mendengarkan suara desahannya sendiri, ia tidak merasa seperti seorang kaisar lagi, namun hanya seorang lelaki tua yang lemah, sakit, dan sekarat.
Marcus menoleh ke satu sisi dan melihat sekilas bayangannya pada permukaan patung emas Dewi Fortuna yang dipoles di samping tempat tidurnya. Marcus telah melewati tahap akhir perjalanannya. Sekarang terbaring kesakitan dan tidak nyaman menjelang akhir, Marcus dengan lembut mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia telah mati berkali-kali dalam perjalanannya. Pertama-tama, saat ia memasuki istana kekaisaran. Setelah Antoninus meninggal, Marcus harus menggantikannya sebagai kaisar Roma.
Sekarang Marcus semakin mengantuk dan hampir tertidur, namun ia membangunkan dirinya dengan susah payah dan duduk di samping tempat tidurnya. Marcus masih memiliki urusan yang belum selesai. Ia memerintahkan para penjaga untuk mengirim anggota keluarganya dan lingkaran dalamnya, para bangsawan, “sahabat kaisar”, untuk menghadap.
Meskipun tampak lemah, Marcus terkenal tangguh. Namun kali ini para dokter telah memastikan kepadanya bahwa ia tidak mungkin bertahan hidup. Semua orang merasakan bahwa akhir itu sudah dekat. Marcus mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman tercintanya, menantu laki-lakinya, dan keempat putrinya yang tersisa. Ia akan mencium mereka masing-masing, tapi wabah memaksa mereka untuk menjaga jarak.
Mereka berkumpul dengan wajah serius di sekitar tempat tidurnya. Marcus menekankan kepada mereka bahwa mereka harus merawat Commodus dengan baik—putra satu-satunya yang masih hidup—karena Marcus telah menunjuk Commodus sebagai pewaris tahta, dan memberinya gelar kaisar ketika baru berusia lima tahun.
Di tengah percakapan mereka, Marcus tiba-tiba merosot ke depan dan kehilangan kesadaran. Mereka yang menyaksikan terkejut dan mulai menangis. Para dokter berhasil membangunkan Marcus. Ketika Marcus melihat wajah rekan-rekannya yang berduka, alih-alih takut akan kematiannya sendiri, perhatiannya beralih ke wajah mereka. Marcus menyaksikan mereka menangisinya sama seperti ia menangisi istri dan anak-anaknya. Tapi sekarang dialah yang sekarat.
Ruangan menjadi sunyi saat teguran lembutnya meresap. Tidak ada yang tahu harus berkata apa, Marcus tersenyum dan memberi isyarat lemah, memberi mereka izin untuk pergi.
Kata-kata perpisahannya adalah, “Jika sekarang kamu memberiku izin untuk pergi, maka aku akan mengucapkan selamat tinggal padamu dan pergi mendahuluimu.”
Ketika berita tentang kondisi terkini Marcus menyebar ke seluruh kamp, para prajurit sangat berduka karena mereka lebih mencintainya daripada merawat putranya, Commodus.
Keesokan harinya, Marcus bangun pagi-pagi, merasa sangat lemah dan lelah. Demamnya semakin parah. Menyadari bahwa ini adalah waktu-waktu terakhirnya, Marcus memanggil Commodus. Marcus memperingatkan Commodus bahwa jika ia tidak tetap berada di garis depan, senat mungkin menganggapnya sebagai pengkhianatan setelah begitu banyak investasi yang dilakukan dalam perang yang berkepanjangan dan begitu banyak nyawa yang hilang dalam pertempuran.
Segera setelah Commodus pergi, Marcus memberi isyarat kepada petugas jaga malam yang masih muda untuk mendekat dan membisikkan sesuatu dengan suara serak. Kemudian ia dengan lelah menutupi kepalanya dengan kain dan tertidur, meninggal dengan tenang pada malam ketujuh sakitnya.
Di pagi hari, dokter mengumumkan bahwa kaisar telah meninggal, dan kamp menjadi kacau balau. Ketika berita segera sampai kepada mereka, para prajurit dan orang-orang memenuhi jalan sambil menangis.
Menurut Herodian, seorang sejarawan Romawi yang menyaksikan secara langsung pemerintahan Commodus, seluruh kekaisaran berteriak seolah-olah dalam satu paduan suara ketika berita kematian Marcus tersebar. Mereka berduka karena kehilangan Marcus sebagai “Bapak yang Baik Hati”, “Kaisar yang Mulia”, “Jenderal Pemberani”, dan “Penguasa yang Bijaksana dan Moderat.” Lanjut Herodian, “Setiap orang mengatakan kebenaran.”
Saat keriuhan di luar semakin kencang, penjaga lainnya yang gugup bertanya kepada penjaga malam, “Apa yang dikatakan?” Petugas malam itu sepertinya hendak berbicara tetapi kemudian berhenti sejenak. Penjaga malam mengerutkan alisnya dengan bingung saat ia menyampaikan pesan kaisar sebelum meninggal, “Pergilah ke matahari terbit,” kata Marcus, “sebab aku sudah terbenam.”
Marcus Aurelius meninggal pada 180 M dalam usia 58 tahun. Ia tidak pernah meminta untuk menjadi kaisar, tidak pernah tahu bahwa suatu saat akan mengemban takdir yang luar biasa berat di kedua bahunya. Bahkan sampai meninggal pun apa yang ia perjuangkan hanyalah sia-sia, sebab putranya Commodus terbukti tidak kompeten menjadi kaisar. Sungguh ironis membayangkan nila-nilai yang diperjuangkan Marcus hilang begitu saja.
Sebelum meninggal, setiap malam selama masa kampanye militer, Marcus menyendiri diruangannya untuk menulis jurnal. Marcus adalah orang Romawi yang berbahasa Latin namun ia menulis jurnal pribadi tersebut menggunakan bahasa Yunani karena jurnal tersebut memang untuk dirinya sendiri, jurnal itulah yang sekarang dikenal The Meditations.
Referensi:
Donald J. Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius, New York: St. Martin's Press, 2019.
Category : filsafat
SHARE THIS POST