Mari Berkebun

slider
10 Mei 2020
|
1220

Tak terasa sudah hampir dua bulan saya menjalani segala kegiatan dari rumah saja. Kantor tempat saya bekerja sudah menerapkan kebijakan bekerja dari rumah sejak pertengahan Maret lalu. Tentu saja ini berimbas pada pola kehidupan yang saya jalani.

Kebijakan bekerja dari rumah ini begitu saya nikmati dengan senang hati. Tapi saya benar-benar membenci asal mula lahirnya kebijakan ini: gara-gara korona. Saya tidak mau egois dan menjadi orang jahat. Pasalnya, korona telah merenggut berbagai kebahagiaan kita.

Selama masa pandemi, telah membuat semua banyak orang mengalami masa-masa sulit. Ada banyak yang harus kehilangan orang-orang terkasihnya akibat terinfeksi virus yang penyebarannya melalui percikan liur yang ukurannya mikro. Memaksa setiap orang untuk merampingkan pos-pos pengeluaran uang. Lebih susah lagi bagi mereka yang penghasilannya tak menentu. Bertahan untuk makan saja sudah beruntung. Menyaksikan realita dan berita-berita tragis seperti itu tentunya berdampak pada psikologis kita. Hati kita ikut tersayat.

Selama pandemi belum berakhir menyuruh kita untuk berdiam di rumah, interaksi kita pun terbatas dengan orang-orang tercinta. Dengan orang lain hanya bersua lewat piranti teknologi komunikasi, seperti video call lewat ponsel dan laptop. Wabah yang sudah mengglobal ini menunda rencana-rencana manis manusia yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Seperti resepsi pernikahan yang diundur atau terancam batal karena belum ada kepastian tentang kapan pandemi ini usai.

Jelang hari raya Idul Fitri, umat Muslim Indonesia yang biasanya merayakannya dengan pulang ke kampung halaman, harus berbesar hati merayakannya di tanah rantau. Mudik yang jadi tradisi, kini dihentikan sementara. Menahan rindu hingga waktu tak menentu untuk memutus rantai penyebaran virus.

Kondisi yang terjadi saat ini menuntut kita untuk pandai beradaptasi dan belajar untuk mengendalikan kesadaran emosi. Inilah yang terus saya coba saat ini. Menguasai kewarasan diri supaya tidak ikut larut dalam kecemasan-kecemasan akibat dampak dari pandemi yang terwartakan. Kesehatan mental yang terjaga begitu penting di masa pandemi seperti ini. Sebab hal ini berpengaruh pada imunitas tubuh. Imunitas tubuh inilah yang nantinya akan menangkal virus.

Untuk itulah, saya lebih memilih menjauh sejenak dari media sosial. Karena terkadang beberapa unggahan yang saya lihat di media sosial justru menghadirkan ketakutan. Saya lebih memilih untuk mencari informasi dari sumber-sumber yang valid.

Saya juga memutuskan untuk menghabiskan waktu luang yang saya miliki dengan berkebun. Berkebun memang selalu jadi opsi terbaik di kala saya tengah dirundung kesedihan. Aktivitas ini pernah saya lakukan pada masa-masa selepas kuliah dan menanti momen wisuda. Kala itu, saya begitu senggang karena sudah dinyatakan lulus tapi belum sah karena belum memakai jubah toga dan dipindahkan tali topi wisuda oleh rektor. Lamaran pekerjaan yang saya ajukan pun belum disambut terima perusahaan incaran.

Kini, berkebun juga menjadi obat untuk melepas penat. Banyak waktu yang tersisa seusai menunaikan tugas pekerjaan kantor. Karena bekerja dari rumah juga, kita terbebas dari kemacetan jalanan. Banyak waktu yang bisa dialokasikan untuk aktivitas lain. Kondisi ini begitu terasa untuk para pekerja di Jabodetabek. Dalam kondisi normal ada waktu yang terbuang hanya untuk menanti transportasi umum yang jadwalnya kadang sangat ruwet.

Agar tidak semakin stress, berkebun bisa menjadi solusi. Melepaskan kecemasan-kecemasan yang melanda dengan memandangi tanaman yang kita rawat sepenuh hati. Mengalihkan energi kita agar tidak terbuang percuma dengan menyemai bibit di dalam pot berisi humus yang nantinya akan ditanami bermacam tanaman.

Keinginan untuk berkebun ini seolah mendapat dukungan dari semesta; dan udara Jakarta tidak begitu panas. Saya menjadi tidak malas untuk berasyik ria dengan jejeran tanaman yang saya taruh di balkon samping kamar kos saya. Setiap bangun tidur, saya lebih bersemangat mengintip tanaman lidah mertua yang nangkring di pagar pembatas teras. Dari balik tirai yang tersibak, tanaman-tanaman itu seolah ingin pamer kemolekannya.

Saya juga mulai menyemai biji bunga matahari dalam botol plastik yang dialihfungsikan menjadi pot. Setidaknya, kegemaran saya ini mengajarkan tentang tanggung jawab merawat makhluk hidup. Bahkan saya menganggap, tanaman-tanaman itu sebagai teman ngobrol. Tempat mencurahkan segala isi hati. Menceritakan semua yang terjadi hari ini. Tetapi saya juga memberikan afirmasi positif, agar mereka tumbuh subur. Entah sugesti atau tidak, tanaman itu mulai menampakkan tunas-tunas baru. Daun-daun hijau berkilap semakin memanjang pertumbuhannya. Bagi saya ini semakin meniupkan energi positif.

Ternyata, aktivitas berkebun telah dijalani oleh banyak orang selama masa pandemi. Terlacak dari Instagram story yang terunggah mengabadikan keseruan mareka berkebun. Para selebgram papan atas seperti Dewisya, Asmara Wreksono, Tantri Namirah, Chintya Ganesha, Tyna Kanna Mirdad, dan sederet nama lainnya terlihat gencar mengkampanyekan bertanam alias berkebun.

Keterbatasan lahan tidak menjadi penghalang bagi mereka yang tinggal di perkotaan. Berkebun ternyata bisa menggunakan teknik hidroponik. Mungkin bagi yang belum memiliki modal cukup untuk membeli instalasi hidroponik yang memadai, bisa memanfaatkan barang-barang yang murah. Misalnya, menyulap pipa peralon menjadi rak penyangga tanaman hidroponik, atau memakai gelas-gelas plastik bekas.

Buat anak kos yang terkendala lahan dan anggaran yang minim, bisa juga dimulai dengan menanam yang mudah. Melakukan stek batang tanaman sirih gading lalu meletakkannya di botol kaca bekas minuman bervitamin. Kemudian, taruh tanaman itu di meja kerja sebagai penghias ruang dan penghasil oksigen alami.

Dengan berkebun di masa pandemi ini, menyadarkan kita bahwa kecukupan pangan untuk diri sendiri sebenarnya bisa kita penuhi secara mandiri. Selain bisa memastikan asal makanan kita, berkebun juga membuat kita tidak bergantung dengan kondisi. Kita tetap bisa merasa aman karena kebun kita tersemai banyak bahan pangan.

Contoh sayuran yang mudah ditanam di rumah yakni kangkung, bayam, pokcoy, selada air, wortel, daun bawang, dan aneka rempah empon-empon seperti kunyit, kencur, serta lengkuas. Bila suatu saat ingin mengolahnya menjadi makanan, tinggal kita petik atau cabut. Dipanen langsung oleh tangan kita.

Hal ini juga melatih kita lebih menghargai makanan yang kita konsumsi. Kita menjadi semakin mengerti nikmatnya makan makanan sehat yang terjamin kualitas pupuknya. Kita tak perlu lagi mencemaskan harga makanan yang melonjak drastis pada situasi-situasi tertentu. Berkebun memerdekakan kita.

Yuk, kapan kamu mulai berkebun?


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Shela Kusumaningtyas

Seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Telah menerbitkan dua buku di Ellunar Publisher, kumpulan puisi berjudul Racau dan kumpulan opini berjudul Gelisah Membuah.