Lebih dari Sekadar Bekerja

slider
24 September 2021
|
1703

Bekerja menjadi keperluan bagi setiap orang. Sebab hanya dengan bekerja, seseorang dapat memenuhi kebutuhannya. Dan mungkin, hampir setiap orang mengalamatkan kerja sebagai orientasi hidupnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak didapati orang yang tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang bekerja menjadi buruh, petani, penambang, guru, peternak, tukang becak hingga pembuat lincak. Mereka adalah orang-orang yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup demi keluarganya.

Karena bekerja dinarasikan sebagai pemenuhan hidup sehari-hari, maka bukan tidak mungkin jika bekerja hanya semata-mata dimaknai untuk mencari uang. Tidak lebih dan tidak kurang.

Namun, apakah hanya berhenti sampai pada taraf pemaknaan tersebut? Apakah dunia kerja hanya mencari hasil berupa materi? Bisa jadi beberapa akan menjawabnya dengan tidak. Bahkan ada juga yang memaknai bekerja sebagai beribadah kendati perolehan materi tidak seberapa.

Salah satu esai Emha Ainun Nadjib yang terbukukan dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya (1998) menceritakan kisah pemaknaan bekerja yang saya rasa tidak biasa. Diceritakan ada seorang Kyai yang hendak menerima tamu dari Thailand. Kyai tersebut hendak menyuguhkan beragam makanan khas Jawa yang tidak didapati di negeri si tamu itu.

Di cerita Kyai menduga hari kedatangan tamu itu akan terik. Ia berinisiatif mencari semacam minum pelepas dahaga. Maka dengan vespanya, ia melaju sejauh empat kilometer dan bertemulah dengan warung kecil di tepi jalan yang berjualan cendol.

Di situ Kyai ingin membeli seluruh dagangan cendolnya, tanpa sisa sedikitpun. Itu berarti cendolnya laku semua dengan cepat, tanpa perlu menunggu pelanggan terlalu lama dan terhindar dari rasa khawatir karena tidak laku.

Anehnya penjual cendol itu menjawab tanpa mempertimbangakan latar pembeli—yang merupakan Kyai, dengan jawaban dagangannya tidak mau diborong. Kyai heran lantas bertanya mengapa demikian. Penjual cendol tertawa geli sambil menjawab, “Bapak ini bagaimana to? Kalau semisal cendol saya njenengan beli semua, cendol saya nanti habis. Saya khawatir nanti pembeli yang lain tidak kebagian.”

Mendengar ungkapan tersebut, diurungkannya niat Kyai untuk memborong semuanya. Sesampai di pesantrennya, Kyai itu merasa belum seberapa dengan sekian tirakat, sembahyang, dan laku-laku kebaikan yang telah dijalaninya dibandingkan dengan Pak Cendol itu.

Tukang cendol secara samar menghikmati pekerjaannya, sampai-sampai ia tidak berkenan bila dagangannya diborong. Seolah-olah tukang cendol mengerti arti kebersamaan, keseimbangan dan keadilan untuk para pelanggannya yang lain.

“Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa itu. Ia tak silau oleh rejeki nomplok. Ia tak ditaklukkan oleh kemudahan-kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap punya darma kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya.”

Cerita itu memberi pesan bahwa bekerja adalah sebagai sarana atau jalan untuk menemu diri sebagai seorang manusia. Istilah Jawa-nya menemu sejatining diri. Tidak hanya untuk kepentingan materi semata.

Dengan begitu bekerja tidak hanya berhenti pada tujuan lahiriah, namun juga berguna untuk mengasah-asuh jiwa dan segala hal yang tidak kasat mata pada diri manusia. Pun bekerja malah bisa menjadi jalan untuk mengabdi pada hidup dengan merasa tidak terbebani oleh pekerjaan yang tengah dilakukan.

Amanat dari suatu pekerjaan tidak sampai hanya pada menuai hasil. Lebih dari itu, bekerja bisa dimaknai sebagai proses untuk mencapai suatu tujuan. Seperti misalnya dalam istilah Jawa: ndue gawe. Terjemahan secara luas bisa berarti punya hajat atau punya agenda tertentu.

Logikanya orang tidak akan sampai di tengah laut bila tidak mau berusaha. Pun bila memiliki keinginan atau hajat tertentu mesti diwujudkan dengan kerja yang nyata. Dalam hal ini, mungkin kerap ditemui pada banyak orang yang bertanya hasil, padahal belum memulai kerja atau kerja yang dilakukan hanya sekenanya.

Di media sosial, Sujiwo Tejo pernah memberi pernyataan bahwa apa saja pilihan bidang kerja manusia, kuncinya hanya dua: tekun dan tidak perlu memikirkan nanti dapat berapa. Bekerja yang baik, maka hasil yang dituai juga akan mengikuti baik.

Narasi-narasi perihal kerja juga memuculkan kembali sindiran yang pernah saya dengar, “Hidup untuk makan atau makan untuk hidup.” Pernyataan itu memang tidak menyiratkan kata pekerjaan secara langsung, namun tersurat tentang tujuan dan pengabdian hidup yakni, hidup adalah bekerja sekaligus pengabdian.

Pun saya jadi teringat ketika suatu hari mengendarai sepeda motor dalam perjalanan pulang ke rumah. Ketika berhenti di lampu merah, ada seorang tua renta menjajakan koran harian di siang hari yang menyengat. Hingga kemudian ada anak kecil yang berlari menghampirinya lantas memberi sebotol minum air putih.

Mungkin kalau ada orang bertanya pada saya, kapan momentum puitik itu datang? Saya akan menjawab pada hari itu. Pada saat bersua dengan anak kecil dan seorang tua renta penjual koran.

Setiap kita sekarang atau nanti akan kembali merenungi bagaimana cara memaknai dan menekuni setiap pekerjaan yang kita lakukan. Sekadar mencari materi berupa uang, yang dalam banyak kasus hanya akan menemui kesenangan semata. Atau lebih dari itu bahwa bekerja memiliki muatan-muatan spiritual sebagai pembentukan jati diri sebagai manusia.

Sebagai akhir, saya ingin memberi kutipan pekerjaan dalam buku Almustafa, karya Kahlil Gibran. Pujangga yang lahir di Lebanon. Katanya: “Dan, mencintai kehidupan dengan kerja berarti menjadi akrab dengan rahasia hidup yang paling dalam.”


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Taufik Ismanto

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS jilid#5