Judul : Candide | Penulis : Voltaire | Penerjemah : Widya Mahardika Putra | Penerbit : OAK | Cetakan : 2016 | Tebal : 262 halaman | ISBN : 978-602-72536-9-8
“Jadi buat apa dunia ini diciptakan?”
Pertanyaan itu diajukan Candide kepada Martin dalam pelayaran menuju Prancis.
“Untuk membuat kita gila,” jawab Martin.
Dua kalimat dialog ini menjadi benang merah novel satire, Candide (2016) karya Voltaire, yang diterjemahkan Widya Mahardika Putra ke Bahasa Indonesia. Novel ini terbit pertama kali pada 1759 dalam Bahasa Prancis dengan judul Candide, ou I’Optimisme.
Voltaire merupakan filsuf sekaligus esais, novelis, dan penyair yang berpaham absurdisme. Pemikiran tokoh yang bernama lengkap Francois-Marie Arouet ini telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.
Dalam novel Candide, Voltaire mempertanyakan konsep optimisme hidup yang di antaranya dikemukakan oleh filsuf Jerman, Gottfried Leibniz. Novel ini juga menguji pemikiran Leibniz tentang principium rectionis sufficientis, bahwa segala sesuatu pasti memiliki alasan sebab-akibat yang mencukupi.
Tema dalam novel ini berkisar pada persoalan teodise, tentang kejahatan dan penderitaan manusia, yang oleh Thomas Aquinas pernah dinyatakan sebagai alasan orang beriman kepada Tuhan atau sebaliknya. Dalam kondisi penderitaan, manusia kerap mempertanyakan tentang keadilan atau kebaikan Tuhan (theodise).
Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Baik. Jika demikian, Tuhan bisa saja menghilangkan semua penderitaan manusia di dunia, toh Allah maha baik dan maha segalanya untuk mengubah keadaan. Atau jangan-jangan Tuhan tidak maha baik atau maha baik, tetapi tidak kuasa mengubah dunia yang carut-marut ini? Pertanyaan semisal ini menjadi sebab beriman atau sebaliknya.
Purwacerita, Candide tinggal di sebuah istana megah Thunder-ten-tronckh milik Tuan Baron di Westfalia, Jerman. Ia tumbuh menjadi pemuda yang memiliki kemuliaan jiwa dengan segala pola pikirnya yang jernih dan polos. Istana tersebut dihuni oleh Tuan Baron, istri, dan gadisnya yang jelita, Cunegonde.
Istana ini juga didiami beberapa orang terdekat. Seorang wanita cantik pengidap sifilis, Paquette, mengabdi pada kerajaan dan saling jatuh cinta dengan seorang filsuf, Pangloss, yang ditunjuk mendidik keluarga bangsawan ini.
Candide ikut mendengarkan pelajaran-pelajaran dari Pangloss tentang metafisika-teologi-kosmolonigologi. Ia mengajarkan tentang doktrin hidup yang positif dan Tuhan adalah dewa kebajikan.
“…bahwa tidak ada akibat tanpa sebab dan bahwa di dunia terbaik di antara segala dunia yang mungkin ada ini […] bahwa segala hal di dunia ini tidak mungkin menjadi berbeda, segalanya diciptakan untuk suatu tujuan terbaik…” Candide begitu kagum pada gurunya ini.
Kehidupan di istana berjalan harmoni. Sampai suatu ketika, Candide dan Cunegone yang saling jatuh cinta itu berciuman. Namun, ciuman pertama yang penuh penghayatan dan polos dari dua anak manusia yang beranjak dewasa itu diketahui oleh Tuan Baron. Candide ditendang dan diusir dari istana.
Dimulailah pengembaraan Candide untuk menemukan makna kehidupan. Voltaire menunjukkan bahwa hidup adalah pengembaraan dan serangkaian aktivitas manusia hanyalah memberi makna pada setiap jejak pengembaraannya itu.
Terusir dari istana, Candide berjalan tak tentu arah dan dijebak mengikuti pelatihan militer tentara Bulgaria. Tak ada pilihan lain, Candide mengalami siksaan berat, dan doktrin bahwa manusia memiliki kehendak bebas, mulai goyah. Bertubi, Candide menyaksikan pertempuran antara raja Bulgaria dan raja Abares, yang hanya menyisakan kerusakan.
Candide melarikan diri dari resimen militer, berjalan di antara ribuan mayat dan potongan tubuh yang tercecer. Ia sampai di negeri Belanda dan ditolong oleh seorang anabaptis baik hati bernama Jacques. Sepanjang hari, ingatannya tentang Conegonde tidak pernah reda.
Candide bertemu kembali dengan gurunya Pangloss yang penuh derita: sekujur tubuhnya berbintil, ujung hidungnya terpotong, setiap kali meludah, satu giginya ikut tanggal. Panglos terkena sifilis dari Paquette, yang tertular dari seorang pendeta Fransiskan, yang tertular dari seorang biarawati tua, yang tertular dari seorang kapten kavaleri, yang tertular dari seorang marquise, yang tertular dari seorang pesuruh, yang tertular dari seorang Yesuit, yang tertular dari seorang kawan Christopher Colombus.
Kata Pangloss, “Penyakitku adalah sesuatu yang harus ada di dunia terbaik di antara segala dunia yang mungkin ada ini.”
Pangloss membawa berita yang membuat Candide pingsan berkali-kali dan hampir berputus asa: istana megah telah tiada, Cunegonde mati ditusuk dan sebelumnya diperkosa tentara Bulgaria, tuan dan nyonya Baron dicincang, semua orang di sana tiada tersisa.
Kata Pangloss, “Masalahmu adalah cinta, muridku. Cinta, pelipur lara manusia, perekat alam semesta, jiwa seluruh makhluk berakal, cinta.”
Jacques memiliki urusan perdagangan ke Lisbon Portugal, Candide dan Pangloss diajak serta. Jacques mulai mendebat pemikiran dua orang yang menganggap semua malapetaka adalah baik dan “semua itu harus terjadi.”
Tiba-tiba, kapal yang mereka tumpangi diterjang badai. Kapal karam, seluruh penumpang tewas, kecuali Pangloss, Candide, dan nakhoda kapal kejam yang menenggelamkan Jacques ke laut. Mereka mencapai bibir pantai, lalu berjalan menuju kota Lisbon.
Kedatangan mereka disambut gempa dan tsunami yang menghancurkan kota, menewaskan puluhan ribu orang. Bencana besar pada 1 November 1755 itu disebut ikut mempengaruhi inteligensia zaman pencerahan Eropa, terutama di kalangan filosof dan agamawan. Sementara si pelaut menjarah harta para korban, Candide dan Pangloss bersama mereka yang selamat ikut menolong korban.
Dalam sebuah pembicaraan dengan para korban, Pangloss mengulang doktrin bahwa semua yang terjadi adalah yang terbaik. Tak dinyata, tim inkuisisi yang melihat ini langsung menangkap keduanya.
Mereka dituduh sebagai penyebab bencana, dan dihukum dalam sebuah ritual auto-da-fe: adalah hukuman di muka umum yang dilakukan Inkuisisi Portugis dan Spanyol bagi yang sesat dan murtad dari agama Katolik. Auto-da-fe dianggap sebagai jalan untuk meminta maaf supaya Tuhan tidak lagi menurunkan bencana.
Putusannya: Pangloss yang membicarakan ide optimistik, dihukum gantung dan Candide yang mendengarkan, dihukum cambuk. Ketika akan berlangsung, gempa bumi kembali terjadi, Candide meloloskan diri.
Candide didatangi perempuan tua utusan Cunegonde, yang ternyata masih hidup dan hadir dalam upacara itu. Conegonde mengaku diselamatkan oleh seseorang yang kemudian menjualnya ke saudagar Yahudi, tetapi harus berbagi dengan seorang pejabat setempat yang berkuasa atas hukuman Inkuisisi. Conegonde dimiliki oleh dua orang yang saling berbagi hari.
Candide yang lugu dan diserang perasaan cemburu, membunuh kedua pria itu, lalu atas saran perempuan tua, mereka bertiga melarikan diri dengan mencuri kuda si saudagar Yahudi.
Ternyata perempuan tua ini dulunya juga merupakan bangsawan yang mengalami penderitaan tiada tara, tubuh ibunya tercabik-cabik di depan matanya, kini salah satu pantatnya telah tiada, dipotong untuk makanan orang-orang yang kelaparan.
Dalam pelarian ke Buenos Aires, Conegonde terus mengeluh kepada Candide tentang kemalangan hidup mereka. Kata si perempuan tua, “…bila Nona merasa bosan, coba Nona minta setiap penumpang untuk menceritakan kisah hidup mereka, dan bila ada seorang saja di antara mereka yang tidak mengutuk hidupnya dan tidak menyebut dirinya sendiri sebagai manusia paling menderita di dunia, Nona boleh melempar hamba ke laut.” Sejak saat itu, Candide mendengarkan cerita dari banyak orang yang menderita.
Kisah Candide sendiri masih terus berliku. Sampai di Boenos Aires, mereka menghadap gubernur dan Conegonde dinikahi paksa. Candide kembali membunuh satu orang pejabat kehakiman dan menambah kecamuk di dalam batinnya tentang dosa membunuh.
Ia lalu melarikan diri bersama seorang pengawai, Cacambo. Dalam pelarian, mereka bertemu dua perempuan Oreillon yang dikejar-kejar monyet, Candide menembak monyet hingga tewas.
Petaka muncul, Cacambo dan Candide ditangkap dan akan dipanggang hidup-hidup karena dosa membunuh monyet. Cacambo berhasil bernegosiasi dan mereka dibebaskan.
“Ketika orang gagal di satu dunia, ia bisa mencoba peruntungannya di dunia lain. Melihat dan melakukan hal baru selalu membahagiakan.” Keduanya terus berjalan tak tentu arah, menaiki sampan, menyusuri sungai berbatu, menerjang arus besar.
Tutur Cacambo, “..arus sungai pasti akan menuntun kita ke tempat yang berpenghuni. Apabila kita tidak menemukan hal baik, paling tidak kita akan menemukan hal baru.”
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah kota terpencil yang sangat nyaman, tenteram, kaya, bahagia, tanpa huru-hara. Di negeri El Darado ini, bangunan dan pilar-pilar tinggi menjulang megah, batu-batunya adalah berlian dan emas. Orang asing diterima dengan baik.
Di negeri ini, rajanya selalu ceria. Candide dan Cacambo bertemu seorang tua bijaksana yang mengabarkan, “…Kami tidak pernah meminta apa-apa pada Tuhan, Ia memberi kami segala hal yang kami butuhkan, kami bersyukur tanpa henti pada-Nya.”
Bagi mereka, beragama adalah persoalan bersyukur atas karunia Tuhan. Ini berbeda dengan pandangan umum bahwa beragama adalah persoalan kepasrahan karena ketakutan dan keterbatasan manusia.
Di sini tidak ada pendeta. Candide terkaget, “Apa? Di sini tidak ada pendeta yang menggurui, berdebat, memerintah, bersekongkol, dan gemar membakar orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka?” Kalimat ini menjadi sindiran Voltaire kepada pemuka agama yang memanfaatkan posisinya untuk merendahkan sesama.
Di lembar berbeda, rahib Broder Giroflee, teman kencan Paquette menyatakan, “…Iri dengki, perkelahian, kemarahan ada di biara..”
Hidup dalam kenyamanan dan tanpa gejolak di negeri El Darado tidak membuat Candide puas, kerinduannya pada Conegonde terus membayangi hari-harinya. Mereka memohon pamit dengan membawa serta kekayaan berupa dua belas ekor domba yang mengangkut batu-batu emas yang sangat berlimpah di negeri ini.
Domba itu mati satu-persatu di perjalanan dan hanya menyisakan dua ekor. Dari jumlah itu, mereka dibohongi oleh seorang bajak laut yang merampas semua kekayaan. Hanya tersisa beberapa bongkah di saku pakaian, dan sisa inilah yang menghidupi perjalanan mereka.
Kata Cacambo, “…kekayaan di dunia ini bisa lenyap dengan mudahnya, tidak ada yang lebih kokoh daripada kebajikan dan kebahagiaan…”
Keduanya menuju Suriname. Perjalanan selanjutnya ke Bordeaux. Sebelum berangkat, Candide memilih teman perjalanan berdasar kriteria: orang yang paling malang dan paling kecewa dalam hidupnya.
Dipilihlah seorang cendekiawan tua miskin bernama Martin. Ia pria baik yang dirampok istrinya, dipukuli anak laki-lakinya, ditelantarkan anak perempuannya, dan baru saja dipecat dari pekerjaannya di sebuah percetakan. Kedua orang yang sama-sama menderita ini berlayar.
Bedanya, Candide masih punya harapan: bertemu Conegonde, sementara Martin sudah tidak punya harapan.
Perjalanan selama lima belas hari itu berlangsung dalam suasana debat tiada henti. Mereka punya pendirian masing-masing, “…tapi paling tidak, mereka bicara, menyampaikan pemikiran masing-masing, dan saling menghibur.”
Candide dan Martin sempat berkunjung ke rumah seorang bangsawan di Venezia, Tuan Pococurante. Tokoh ini memiliki ruang yang sangat megah, perpustakaannya berisi berbagai koleksi buku terbaik.
Berkali-kali, Candide dan Martin memuji, namun selalu disangkal oleh Pacocurante. Kata Candide pada Martin, “Tuan Pococurante adalah manusia paling berbahagia, karena ia menempatkan dirinya di atas segala hal yang ia miliki.”
Pesan-pesan penting dari pemikiran Voltaire juga banyak disusupkan pada bagian ini. Dalam percakapan antara Candide dan Martin, serta pertemuan tidak terduga dengan orang-orang malang, yang sebagian mereka adalah orang dalam lingkaran lama Candide dan ternyata masih hidup dengan membawa kisah survive-nya masing-masing.
Conegonde dan perempuan tua yang dijadikan budak dan akhirnya sampai ke sini. Pangloss yang selamat dari hukuman auto-da-fe ternyata digantung oleh algojo pemula, lalu ia hanya pingsang dan dianggap sudah mati, jasadnya dibawa oleh seorang ahli bedah untuk bahan percobaan, Pangloss sadar ketika pisau bedah merobek tubuhnya, lalu robekan itu dijahit, sembuh, dan melanjutkan pengembaraan.
Sepanjang novel ini, Voltaire mempertanyakan tentang hidup yang penuh derita dan absurd itu, apakah kemudian manusia harus pasrah dan tidak melakukan apa-apa atau justru ikut lebur atau tidak berputus asa menghadapi hidup yang absurd.
“Martin menyimpulkan bahwa manusia dilahirkan untuk hidup dalam rasa gelisah atau lebamnya rasa bosan. Candide tidak setuju, tapi juga tak mampu menegaskan argumen apa pun. Pangloss mengakui bahwa ia sudah hidup amat menderita, tapi masih bersikeras bahwa segala hal di dunia ini luar biasa indah…”
Dalam hidup, ada perihal yang berada dalam kendali kita dan ada pula yang sebaliknya. Manusia berbeda dengan hewan yang sifatnya statis, manusia bisa berpikir, berlatih, berkarya, dan berusaha mengubah nasibnya.
Seorang pria tua di Konstantinopel berkata pada Candide, “…kerja itu senantiasa menjauhkan kami dari tiga keburukan besar: kebosanan, kejahatan, dan kemiskinan.” Pernyataan itu dibenarkan Pangloss. “Itu adalah satu-satunya cara untuk membuat hidup ini layak dijalani,” tutur Martin. Dalam kehidupan baru di Konstantinopel ini, mereka menggarap sebuah kebun bersama.
Menggarap kebun bersama, bukan menjadi budak pemilik modal. Sekali lagi, bekerja yang dimaksud bukanlah bekerja yang eksploitatif, serba mekanis, apalagi sampai kehilangan nilai dan sifat kemanusiaannya.
Bekerja yang dimaksud adalah bekerja yang bersifat eksistensial. Bekerja dalam artian berkarya, yang dengannya merasakan hidup bermakna, merasakan bahwa hasil karya dan kerjanya memberi manfaat untuk semesta. Bekerja yang dilandasi dorongan dari dalam diri, bukan oleh paksaan untuk sekadar motif ekonomi.