Ki Hadjar
Lebih kurang seminggu yang lalu, tiba-tiba ingatan saya seperti kembali kebelakang, ingat waktu berkunjung ke Museum Dewantara Kirti Griya. Waktu itu–pastinya saya lupa–saya ke sana untuk mengisi waktu liburan, sambil jalan-jalan, ya, sekalian ingin melihat isi museum. Museum memang cocok jadi tempat belajar sekaligus untuk pembejalaran. Tiap museum pastilah punya cerita yang tersembunyi daripada cerita yang tercetak dalam banyak buku-buku bacaan. Seperti yang pernah saya dapat dengar cerita dari salah seorang penjaga Museum Dewantara Kirti Griya, berikut ini:
"Pada awalnya, beliau adalah seorang politisi yang begitu menyenangi dunia jurnalistik dan seni musik. Pengorbanan beliau untuk kepentingan politik dan persuratkabaran tidak diragukan lagi. Hingga pada suatu hari, ketika beliau sedang berada di ruang kerja yang letaknya di bagian depan rumah ini, beliau menjadi orang yang sama sekali berbeda. Beliau berubah 360 derajat.
Sore itu, seperti tidak akan terjadi apa-apa. Beliau, seperti biasanya, asyik mengetik di teras ini. Sementara itu, anak perempuan pertamanya yang masih kecil sedang bermain di pintu depan. Ia duduk sendirian, entah Nyi Hadjar sedang berada di mana. Lalu, tiba-tiba datanglah petir dengan suaranya yang menggelegar. Sampai-sampai, pintu dan kaca semuanya ikut bergetar hebat. Anak perempuannya pun menangis. Beliau tersentak dibuatnya. Tersebab petir yang menggelegar itu, membuat beliau berasa sedang diingatkan, bahwa anak adalah titipan-Nya. Beliau pun segera menyentuh kaki dan tangan anak perempuannya itu, menciuminya untuk meminta maaf.
Sejak saat itu, beliau seakan tersadar bahwa orang tua adalah pengabdi bagi anaknya. Karena itu, beliau berjanji kepada dirinya sendiri akan memberikan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada anak. Beliau berpikir bahwa memberikan hak pendidikan adalah jalan terbaik untuk mengabdikan dirinya kepada anak. Beliau pun mewujudkan janjinya itu. Beliau meninggalkan dunia politik dan jurnalistik yang beliau senangi, yang juga telah membesarkan namanya.
Dengan bekal pengalaman mengajar sebelumnya, beliau akhirnya mendirikan Taman Siswa. Pengabdiannya terhadap anak, beliau sampaikan juga lewat semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Artinya, di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Dan akhirnya, beliau pun menjadi seorang pejuang pendidikan..."
Kurang lebih begitulah, kisah dari salah seorang pegawai Museum Dewantara Kirti Griya seingat dan yang sedapat mungkin saya kisahkan kembali di sini.
Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh dibalik cerita yang dikisahkan itu. Setiap tanggal 2 Mei yang diperingati sebagai Hari Pendidikan, tak lain dan tak bukan, adalah hari lahir Ki Hadjar Dewantara. Sama seperti tanggal 21 April, yang jadi hari Kartini. Seperti sudah menjadi hajat setiap jatuh tanggal 2 Mei, jangan heran, semarak untuk peringatannya banyak digelar beragam acara. Seminar-seminar hampir memenuhi ruang kuliah dan balai pertemuan warga. Belum lagi lomba-lomba yang berbau pendidikan, pun menjadi suguhan tiap kali datangnya Hari Pendidikan. Yang tak kalah pentingnya soal tut wuri handayani-Nya Ki Hadjar Dewantara, yang selalu dielu-elukan. Tapi sayangnya–saya sendiri menyadari itu–saya bukan orang yang kompeten untuk menjelaskan semboyan itu. Oleh sebab ketidakcakapan saya itu pula, tulisan ini bukan berlagak untuk menguraikannya.
Anak adalah titipan yang harus dijaga. Mendidik anak jelas tanggung jawab orang tua. Awal anak memperoleh pendidikan sudah barang tentu diperolehnya dari keluarga. Tugas orang tua adalah memberi bekal (pendidikan) agar kelak besar nanti, si anak tidak berbuat buruk, cela kepada sesama, kepada alam. Kalau yang lagi ngetrend soal karakter dan sifat yang baik-baik, sudahlah pasti peran keluarga tidak dapat ditinggalkan. Peran orang tua pentingnya di sana itu, macam peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran dari orang tua-tua: “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Seperti juga kisah Ki Hadjar yang diingatkan saat setelah petir menyambar dan membuat anaknya mengangis itu.
Saya memahami bahwa pendidikan dalam keluarga lebih banyak memberi peran bagi tumbuh kembang anak, dibandingkan pendidikan yang anak terima di sekolah. Maksudnya, selama ini barangkali orang tua memandang sekolah itu, ya, tempatnya anak memperoleh segala macam pendidikan. Jadi sekolah seperti tempat sepenuh-penuhnya bagi si anak memperoleh semua bekal bagi besarnya nanti. Sekolah jadi semacam tempat penitipan anak, terserah kurikulumnya seperti apa, yang penting anak jadi pintar, juara. Sekolah menjadi rujukan utama bagi orang tua untuk mendidik anak. Padahal, merekalah yang sebetulnya, yang pertama sekali bertugas mendidik anak.
Ingat juga “Orang tua adalah pengabdi bagi anaknya.” Kutipan ini mau mengatakan, siapa lagi kalau bukan kedua orang tua yang harus menjadi pancang bagi anaknya. Gampangannya untuk menjadi teladan, penyemangat dan menjadi pendorong, si anak akan melihat pertama-tama itu dari kedua orang tuanya: kebiasaan-kebiasaan, tutur wicara, tingkah polah dan seterusnya dalam lingkup keluarga seperti laiknya layar yang ditonton oleh anak.
Mendidik anak memang butuh kesabaran. Apalagi untuk menanamkan nilai yang baik-baik bagi anak. Anak akan lebih mudah menangkapnya melalui contoh yang secara langsung dipraktiknya oleh kedua orang tuanya. Sayangnya untuk melakukan hal ini, tidak jarang si anak, tanpa pengawasan orang tua, menyerapnya dari berbagai tontonan televisi maupun melalui video games. Bahkan, si anak lebih piawai memainkan smartphone, mengutak-atik fitur yang tersedia di dalamnya. Ini dia mainannya anak zaman sekarang. Bagaimana kalau sudah begitu? Ya, secara perlahan peran kedua orang tua bergeser dan digantikan oleh yang canggih-canggih itu. Lingkungan sekitar akan jadi asing baginya. Jangankan pergi ke sawah, ke kebun atau bermain wayah padang mbulan, waktu bagi si anak habis sudah untuk les, kursus yang bermacam-macam.
Aroma pendidikan sekarang memang kentara aroma yang menumbuhkan persaingan. Hasilnya supaya jadi superhero, jadi jagoan semua. Soal bagaimana menanamkan budi pekerti, akhlak yang utama, pendidikan karakter, ah...tunggu dulu, ini mungkin bukan lagi menjadi yang utama! Sudah bukan zamannya. Tentang semboyan: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, Ki Hadjar, mungkin generasi yang canggih-canggih itu tidak lagi paham, ora dong dan lupa. Ya, semoga saja tidak.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST