Kembali ke Jawa, Kembali ke Diri

slider
01 November 2017
|
1365

Judul: Ziarah Tanah Jawa | Penulis: Iman Budhi Santosa | Penerbit: Interlude, 2013 | Tebal:  x + 128 halaman | ISBN: 978-979-9857-35-4

Berabad silam, Sunan Kalijaga menghadirkan bedug ke masjid sebagai mikrofon dakwah. Agar kaum muslim kala itu mau datang ke masjid. Strategi serupa tampaknya kini digunakan oleh para takmir Masjid Jendral Sudirman (MJS). Kamis, 20 Mei 2013 office boy MJS menghelat acara “Tahlilan Kitab Puisi”. Itu acara bedah buku puisi Ziarah Tanah Jawa (2013) karya penyair sepuh Yogyakarta, Iman Budhi Santosa.

Untuk ukuran sebuah masjid, acara tersebut terbilang aneh. Selama ini, mungkin tidak ada masjid di Yogyakarta, bahkan di seluruh Nusantara yang mau deket-deket dengan sastra. Entah apa sebabnya. Padahal kehidupan harian masjid sungguh sangat dekat, bahkan lekat dengan sesuatu yang sastrawi. Bukankah Al-Quran dan doa-doa sungguh sangat sastrawi?

Ziarah Tanah Jawa adalah buku kumpulan puisi karya Iman Budhi Santosa. Saya biasa memanggilnya Mas Iman. Puisi-puisi di buku ini ia tulis dalam rentang 2006 hingga 2012. Di sana, Mas Iman menyuarakan cerita tentang perjalanan saat belajar dan berguru: sebuah perjalanan menapak jalan pulang, jalan kembali menuju kampung halaman, yaitu Jawa.

Malam itu Jumat Kliwon. Dalam balutan dingin udara malam Yogyakarta sehabis diguyur hujan, puluhan peserta “Tahlilan Kitab Puisi” secara antusias mendengarkan lima hadirin yang membacakan beberapa puisi Ziarah Tanah Jawa. Ada beragam ekspresi yang tertumpah. Yang paling aneh adalah pembacaan puisi dengan nada mocopat Jawa. Kehadiran suasana sakral tak dapar dicegah kerenanya.

Mengapa harus “Tanah Jawa”?

Paling tidak, terang Mas Iman, ada tiga landasan utama alasan peluncuran buku puisi Ziarah Tanah Jawa.

Pertama, pada medio 1963, Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi pernah berkata, “Sekarang kita bubar, kita harus kembali ke tempat masing-masing!”. Para pendengar sabda itu, yaitu para penggelandang hidup di Malioboro, diantaranya Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Mas Iman sendiri lantas bingung. Selama ini mereka sengaja menggelandang di jalanan. Mereka tak punya rumah alias tak punya tempat kembali. “Mau kembali ke mana?”, pikir mereka.

Kemudian Umbu berkata lagi, “Kalau tak ada kampung halaman, kembali ke diri kalian masing-masing.” Jadi, “kembali ke kampung halaman” adalah tafsir luas yang tak hanya menyangkut wilayah geografis semata. Kampung halaman adalah diri kita sendiri. Ziarah Tanah Jawa bukan berarti kita berkunjung ke Pulau Jawa, akan tetapi ke dalam diri kita masing-masing.

Kedua, Ziarah Tanah Jawa juga berarti ajakan untuk tidak melupakan sejarah dan kebudayaan kita sebagai orang Jawa. Sebelum membenamkan diri dalam khazanah Jawa yang kini sudah mulai dilupakan, Mas Iman telah mempelajari ajaran-ajaran para leluhur Nusantara, dalam hal ini peribahasa serta pepatah-petitih dari tiap daerah di Nusantara. Apa hasilnya? Mas Iman mendapatkan kekayaan tiada terkira yang dimiliki oleh Nusantara ini.

Ia mencontohkan beberapa peribahasa, seperti yang berasal dari Kalimantan, yang ia dapat pada tahun 1984. “Kalau pohon di hutan sama tinggi lalu di mana angin akan lewat?”. Dari peribahasa itu, kita dapat melihat betapa arifnya orang-orang tua kita dahulu. Dengan kekayaan peribahasa Nusantara, ia dapat memungut kearifan-kearifan yang membedakan dunia kita dengan dunia “orang-orang asing”, yaitu dunia yang sering kita sebut Barat.

Ketiga, penulisan buku puisi Ziarah Tanah Jawa berkaitan dengan dorongan Kuntowijoyo, seorang cendikiawan Yogyakarta. Itu terjadi beberapa waktu sebelum beliau meninggal dunia. “Mas Kunto mengatakan kepada saya” ujar Mas Iman. “Dik, sudah puluhan tahun kita memperingati hari Kebangkitan Nasional, masa’ tidak ada satupun yang bisa membuat teori yang berasal dari tumpah darah kita?”. Kemudian Kuntowijoyo melanjutkan: “Dik, setiap kita harus menulis sejarah. Karena sejarah tidak akan utuh dalam tulisan satu penulis.”

Isi Buku

Ziarah Tanah Jawa dibuka dengan puisi berjudul Lekuk-Liku Perlambang (hlm. 1). Karena wong Jowo nggone semu/sinamun ing samudana, sesadone ing adu manis/maka, aku tak akan memainkan gelap terang/dalam puisi dan membuatku tercengang... Puisi pembuka ini mengungkapkan nilai-nilai ajaran leluhur yang terlambangkan dalam lelaku orang Jawa. Sebuah ajaran yang kini mulai dilupakan oleh masyarakat Jawa sendiri.

Dalam salah satu puisinya yang berjudul Sajadah Ibu (hlm. 50), Mas Iman juga mengungkapkan petuah bijak dari seorang ibu agar anaknya mau bangun malam untuk bermunajat kepada Allah.

... Malam itu, ada bunyi jengkerik di halaman/dan seperti terngiang kembali engkau mengingatkan/“Anakku, jengkerik itu juga mengaji/sajadahnya tanah basah penuh bekas telapak kaki/jadi mengapa engkau memilih tidur serupa patung arca/ketika kerut wajah mulai tampak pada kaca?”...

Pada intinya buku puisi Ziarah Tanah Jawa mengingatkan kita semua. Bahwa ajaran leluhur kita adalah ajaran tentang kesantunan, moralitas, peradaban, jatidiri dan berbagai kearifan hidup. Terserah kita sekarang, apakah kita mau menggali dan memaknainya atau malah kita mencampakkannya.

Setelah sekira 2,5 jam digelar, acara ditutup dengan pembacaan puisi oleh Mas Iman. Kokohnya tiang-tiang Masjid Jendral Sudirman seakan mengamini setiap bait puisi yang Mas Iman rapalkan. Puisi pamungkas malam itu berjudul Ziarah Tembuni (hlm. 78). Tembuni adalah tali pusat kita yang telah dikuburkan setelah kita baru lahir dulu. Dari puisi ini, kita diingatkan untuk tidak lupa pada diri kita sendiri.

... Di sana masih tegak pohon mangga bapang/sepasang kelapa gading dan rumpun bambu kuning/ditambah tebu hitam, meniran, dan kaca piring/melengkapi salam sapa pagar halaman yang ramah dan bening/“Ya, aku masih di Jawa”/bersama welat dan jamu/menyanding pohon srigunggu, tuah tapak liman/serta dewa-daru/“Tetapi, mengapa sekarang engaku merasa jadi tamu... ”/padahal, di sana masih ada makan leluhur/ada nisan kayu batu ditatah dengan goresan paku/mereka tak pernah lupa siapa anak cucu/yang dulu nakal, suka mencuri ketela/dan membakarnya malam-malam saat bulan puasa/Maka, seperti terbangun dari mimpi, ku cabuti rumput teki/yang berakar pada dahi mereka, yang menjalar/menutup nama yang mendongengkan kisah Nabi, Ramayana, hingga Mahabharata...

Puisi ini menjadi penutup yang memukau hadirin. Sorak tepuk tangan kami suguhkan untuk Mas Iman. Saya, bersama hadirin pun bubar. Kembali ke tempat masing-masing. Kami mencari “Jawa”, mencari diri kami kembali, tempat di mana kami bisa kembali. Di luar langit menampakkan cahaya gemintang, dan udara semakin dingin.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Pauzan Septiawan