Kebersamaan dalam Perbedaan

slider
14 Mei 2025
|
653

Banyak orang lebih sering mengejar perbedaan: agama, golongan, organisasi, dan sebagainya. Status kesamaan sebagai manusia seakan tidak cukup untuk menjadi alasan dari sebuah kebersamaan. Lebih kurang begitu kata Pak Fahruddin Faiz dalam Lesehan Ramadan di Masjid Jenderal Sudirman pada 21 Maret 2025.

Ngaji menjelang buka puasa itu mengangkat tema Hidup dan Kebersamaan. Ketika menyimak materi yang Pak Faiz sampaikan, saya jadi memikirkan kembali bagaimana kita menjalin kebersamaan dalam perbedaan.

Pak Faiz mengutip Imam al-Ghazali, yang dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa ada empat unsur yang mesti manusia miliki jika ingin menjalin kebersamaan antara satu dengan lainnya. Keempat unsur itu adalah ulfah, ukhuwah, suhbah, dan mu’asyarah. Oleh Pak Faiz, empat unsur ini disebut sebagai kecerdasan sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Empat unsur ini adalah modal untuk kebersamaan dalam perbedaan.

Diawali dengan Ulfah: Melembutkan Hati untuk Menerima Perbedaan

Ulfah artinya kelembutan hati. Kata Pak Faiz, “Kalau hati keras, sulit hidup dengan orang lain, karena inginya menghegemoni orang lain saja.”

Jadi, jalan pertama untuk dapat menjalin kebersamaan dalam perbedaan adalah belajar melembutkan hati untuk menerima perbedaan itu sendiri. Sebab, berdasarkan paradigma ulfah, orang yang berhati lembut akan baik interaksinya dengan mereka yang berbeda. Sebaliknya, hati yang keras dan kasar cenderung sulit menerima perbedaan, sehingga mendorong manusia pada perilaku yang kasar dalam menyikapi perbedaan.

Mengapa kekerasan atas nama agama kerap terjadi? Bukankah agama mengajarkan kebaikan? Berdasarkan paradigma ulfah, penyebabnya bukan perbedaan agama, melainkan akar kekerasan yang tertanam dalam hati manusia. Maksudnya, memang sih agama-agama mengajarkan kebaikan, dan di antara kebaikan itu adalah sikap untuk berlaku baik kepada sesama manusia. Namun tidak sedikit orang yang mengaku beragama keras hatinya terhadap mereka yang berbeda agama dengannya. Hati yang keras menghilangkan kasih, menghijabi diri dari ajaran kebaikan agama. Alhasil, hati yang keras mendorong manusia untuk menghegemoni, bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang berbeda agama.

Maka, untuk menjalin kebersamaan dalam perbedaan, kita perlu melembutkan hati. Dan, sebagaimana kata Pak Faiz, kita perlu hati yang lembut, karena memang fakta hidup hari ini sangat kasar, dan yang bisa mewadahi itu adalah hati yang lembut. Ya, kita hidup dalam masyarakat yang penuh keberagamaan; beragam agama, suku, golongan, dan sebagainya. Hati yang lembut dapat membantu kita menerima perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan ini.

Menata Ukhuwah: Identifikasi Kebersamaan dalam Perbedaan

Menurut Pak Faiz, ukhuwah berhubungan dengan cara kita mengidentifikasi diri. Misalnya, kita mengidentifikasi diri sebagai Muslim, maka identifikasi ini mendorong pada relasi persaudaraan dengan sesama Muslim. Dalam hal ini, semakin luas identifikasi diri yang bisa kita lakukan, akan semakin luas pula jangkauan kebersamaan yang dapat dijalin.

Dalam paradigma ini, eksklusivitas merupakan hasil dari ketidakmampuan manusia dalam menjalin ukhuwah dengan yang lain. Manusia tidak menemukan identifikasi untuk menganggap orang lain sebagai saudara. Tidak heran, di zaman ketika banyak orang lebih sering mengejar perbedaan-perbedaan dalam identifikasi diri, eksklusivitas, bahkan kekerasan terhadap yang lain seakan menjadi tren.

Dalam kasus perbedaan agama, misalnya, kita cenderung mudah menata ukhuwah dengan yang seagama, tetapi gagal dengan mereka yang berbeda agama. Ah, bahkan tidak jarang juga gagal menata ukhuwah dengan yang seagama, tapi paham atau organisasinya berbeda. Hal ini tidak lepas dari jangkauan identifikasi diri kita yang terlalu sempit dan cenderung mengejar perbedaan-perbedaan. Kita mengejar perbedaan agama, untuk mengidentifikasi persaudaraan hanya sebatas dengan yang seagama, tidak dengan yang lain. Pun demikian dalam perbedaan paham beragama. Padahal, terlepas dari perbedaan agama, paham, maupun lainnya, kita masih sama-sama manusia.

Sebenarnya tidak mengapa, jika kita mengidentifikasi diri dalam persamaan-persamaan. Misalnya, agama yang sama. Meski demikian, itu tidak berarti meniadakan fakta bahwa manusia juga ada dalam jaringan identifikasi diri yang lain. Makanya, dalam Islam kita mengenal konsep ukhuwah yang luas: ada saudara sesama Muslim, saudara sebangsa, dan saudara sekemanusiaan.

Mereka yang berbeda agama memang bukan saudara seagama, tetapi dalam jaringan ukhuwah kebangsaan mereka adalah saudara sesama bangsa. Atau, dalam jaringan ukhuwah kemanusiaan mereka yang berbeda adalah saudara sesama manusia.

Belajar Suhbah: Upaya untuk Menjaga Kerukunan dalam Perbedaan

Sebagaimana penjelasan Pak Faiz, suhbah berkaitan dengan kemampuan untuk membuat sesama kita merasa nyaman. Setelah menata ukhuwah dalam perbedaan, kita akan belajar untuk membaguskan sikap terhadap mereka yang berbeda.

Pada poin ini, Pak Faiz mengutip pandangan bahwa Muslim itu adalah orang yang gembira dan menggembirakan. Muslim dalam kondisi ini adalah dia yang memiliki daya suhbah, sehingga membuat dirinya menjadi orang yang enak diajak bersahabat. Sekalipun dengan mereka yang berbeda agama, Muslim yang punya daya suhbah akan menampilkan laku toleran yang membuat umat berbeda agama merasa nyaman. Contohnya, ketika tetangga yang berbeda agama sedang ibadah, seorang Muslim dengan daya suhbah akan menghormati keadaan itu dan menjaga kenyamanan ibadah tetangganya dengan tidak berisik.

Jadi, dalam konteks perbedaan agama, suhbah dapat diartikan sebagai kemampuan membangun toleransi atau kerukunan antarumat. Ini merupakan elemen penting untuk mengupayakan dan menjaga kehidupan damai bersama dalam perbedaan. Tanpa adanya suhbah, kehidupan damai dalam masyarakat yang beragam agama akan sulit dibangun.

Tanpa adanya suhbah, suatu masyarakat mungkin tampak rukun-rukun saja, tetapi kebersamaan itu sebenarnya kosong Pak Faiz membahasakannya sebagai kebersamaan yang  sekadar pencitraan, di mana raga orang-orangnya tampak berkumpul, tetapi tidak dengan pikiran mereka. Di permukaan tampak damai, tetapi di dasar masing-masing merasa tidak enak, bahkan menyimpan kedongkolan yang hanya menunggu waktu untuk meledak ke permukaan. Maka, suhbah sebagai upaya membangun dan menjaga kerukunan dalam perbedaan merupakan elemen yang perlu untuk mewujudkan kedamaian bersama.

Relasinya Mu’asyarah: Menjaga Kehidupan Damai dalam Perbedaan

Sebagaimana kata Pak Faiz, “...rutenya diawali dengan ulfah, ukhuwah, belajar suhbah, dan relasinya mu’asyarah.”

Mu’asyarah menjadi titik wujudnya kebersamaan dalam perbedaan. Hati yang lembut (ulfah) membantu kita untuk menerima perbedaan. Penerimaan perbedaan itu memudahkan kita mengidentifikasi mereka yang berbeda sebagai saudara sesama manusia (ukhuwah). Adanya kesadaran persaudaraan itu mendorong kita untuk menjaga kerukunan (suhbah) dengan mereka yang berbeda. Jalan-jalan itu menghasilkan kebersamaan (mu’asyarah) dalam perbedaan.

Dalam konteks perbedaan agama, Muslim yang telah punya unsur ulfah, mampu menata ukhuwah, memiliki daya suhbah kepada umat berbeda agama, dan akan dapat menjalin mu’asyarah dalam kerukunan antarumat.

Sebagaimana kata Pak Faiz, bahwa manusia hidup dalam jaring-jaring yang menghubungkan. Dalam hal ini, mu’asyarah dalam perbedaan beragama merupakan upaya menjaga kebaikan dalam jaring keterhubungan. Keterhubungan itu ibarat satu tubuh. Jika ada satu umat agama yang sakit, kesakitan itu bukan tidak mungkin berefek pada umat yang lain. Kepala sakit, badan merasa tidak enak. Begitu pun jaring kebersamaan dalam perbedaan. Karenanya, mu’asyarah dalam perbedaan menjadi obat untuk menjaga kesehatan kehidupan damai bersama.

Referensi:

NgabubuRead di Masjid | Lesehan Ramadhan #10 | Hidup dan Kebersamaan | Memayu Hayuning Poso | Jumat, 21 maret 2025


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Rivaldi Abdul

Mahasiswa Doktoral S3 Studi Islam, Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta