Kaidah Ibadah dalam Bermedia Sosial

slider
11 April 2019
|
1232

Judul: Saring Sebelum Sharing | Penulis: Nadirsyah Hosen | Penerbit: Bentang, 2019 | Tebal: 344 Halaman | ISBN: 978-602-291-562-1

Pada 11 Maret 2019 di UIN Sunan Kalijaga, Gus Nadirsyah Hosen membedah buku terbarunya Saring Sebelum Sharing. Gedung pertemuan penuh sesak oleh peserta yang membludak. Bahkan tampak beberapa peserta berdiri, tidak kebagian kursi. Berikut beberapa poin refleksi hasil bedah buku tersebut.

Tuman hoax!

Dunia media sosial lebih ramai dari pada dunia nyata, hanya bermodal jari kedua tangan semua orang bisa 'bersuara'. Kita jangan hanya diam melihat konten hoax, tapi juga mengisi medsos dengan konten positif. Ingat, penyebar hoax pertama adalah iblis. Bagaimana iblis telah merubah informasi mengenai buah khuldi.

Terkadang kita memang jengkel melihat orang-orang "ngeyel" dan "ngotot" ketika meyakini kebenaran hoax. Terkait hal ini, ada pertanyaan menarik,"Gus, bagaimana kita meyakinkan bahwa itu hoax?" Menurut Gus Nadir, sulit memang, sebab mereka hanya mau percaya pada apa yang "mau" mereka yakini saja. Hal itu juga masih diperkuat dengan munculnya website abal-abal yang terus memproduksi hoax.

Contohnya kasus RS. Narasi yang dibangun adalah anti pemerintah. Kenapa orang yang "suwolih-suwolihah" itu membangun narasi dengan hoax? Bagi mereka Pilpres ini adalah perang, maka diperbolehkan dalam perang itu tipu daya. Modusnya, hal-hal yang seperti ini akan dilegitimasi secara tekstual dengan hadis tertentu. Hasilnya antara reportase dan fantasi tak ada beda.

Fardhu ain jihad medsos

Menurut Gus Nadir, kita semua punya tanggungjawab personal (fardhu ain) menjaga kewarasan dan akal sehat bangsa ini, tidak mudah sharing suatu berita yang diragukan kebenarannya sebelum disaring kebenarannya.

Gus Nadir memberikan formulasi untuk kita ikut andil mencerdaskan kehidupan berbangsa melalui medsos yaitu baca, periksa, bandingkan, dan luaskan. Buatlah konten dengan menukil (ikuti otoritas terpercaya), meluaskan bacaan (membandingkan naskah-naskah otoritatif), tidak membuat simpulan biar pembaca yang membuat kesimpulan.

Hal inilah yang khas dari santri, tak pernah melepaskan sumber-sumber otoritatif dalam membentuk suatu pendapat. Karena memang itulah salah satu sumber kekayaan intelekual yang kita miliki. Tidak baik menjadi instan, apalagi ustaz instan. Jangan lupa lihat konteks, jangan hidup terlepas dari keadaan sekitar.

Profesor turun gunung

Sebagai pembedah, Dr. Fadhli Lukman menjelaskan tafsir digital merupakan sebentuk vernacularism, bahwa terjemahan Al-Quran menurut sebagian orang berkedudukan sama dengan Al-Quran itu sendiri. Sehingga bahasa komunikasi medsos di sini mengguncang otoritas, sebab semua orang bisa bersuara hanya dengan mengutip terjemahan.

Bagi Fadhli, soal baca tulis berhasil ditingkatkan oleh pemerintah, tapi sayangnya budaya literasi masih rendah. Akibatnya semakin banyak hoax yang dipercaya. Ada kaidah semakin banyak hoax akan semakin menyadarkan. Alasannya, pertama, karena keburukan akan terbongkar. Kedua, banyak sindikat hoax yang tertangkap. Namun agaknya kaidah ini tidak sepenuhnya benar. Oleh karenanya semua orang harus berjihad membuat konten bermanfaat.

Menurut beliau hukum jihad melawan hoax bukan lagi fardu kifayah tapi fardu ain. Gus Nadir saja turun gunung, sebab tidak fardu kifayah lagi, semua orang harus melawan produsen hoax. Seperti kata Gus Nadir, bukan untuk menaubatkan kaum "suwolih-suwolihah" yang kembali ke terjemahan Al-Quran dan terjemah hadis itu, tapi memberikan informasi bagi silent majority (mereka yang diam) di tengah kebingungan menentukan posisi. Itulah yang disasar dari konten kita.

Hizib anti hoax

Sebagai pembedah kedua ada Dr. Ali Imran. Maksud kata hizib menurut Ali Imran adalah 'aksi' penangkal hoax, dengan kata lain sebentuk tabayun. Banyak hoax viral yang ditempelkan dengan hadis. Bagi para viralis yang viral itulah dijadikan pengetahuan.

"Harus hati-hati, jangan mudah percaya, lakukan kroscek, meskipun sebuah pendapat dikeluarkan oleh seorang 'ustaz' atau 'profesor'. Belum tentu benar, sebab siapa tahu mereka juga mendasarkan pendapatnya pada hoax yang viral-viral. Pakailah kaidah Gus Nadir: baca, periksa, bandingkan, dan luaskan."

Dalam medsos berlaku dua hukum dasar yaitu: Kaidah #1 no pict hoax. Oleh karena itu cek hoax foto mnggunakan google image. Bisa juga menggunakan foto forensik. Semuanya bisa diakses gratis menggunakan google. Kaidah #2 logika medsos abad 21 adalah banyak-banyakan konten, semakin banyak konten ya itulah pemenang. Konten-konten itu belum tentu benar, selalu hati-hati.

Riyadah Gus Nadir

Sebagai penutup, Gus Nadir memberikan tips agar produktif menulis sebagaimana beliau. Pertama, kenali diri sendiri. Dalam hidup ada waktu sebanyak 24 jam yang memengaruhi produktivitas. Kemudiam temukan dalam 24 jam itu waktu yang produktif, misalnya 1 jam untuk membaca dan menulis pada waktu pagi, buat waktu satu jam ini produktif. Kalau sudah ketemu, enak, nyaman, eksplor semaksimal mungkin. Di dunia fotografi, waktu terbaik mengambil gambar saat sunset adalah satu jam sebelum Maghrib. Jadi, kapan waktu senja terbaikmu?

"How to be smart citizen with smartphone?"


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Fairuz Rosyid

Alumni PBA IAIN Pekalongan, sekarang sedang menempuh studi di Pascasarjana PBA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Anggota di Komunitas LOPIS Pekalongan