Jaddid Hayatak: Transformasi Spiritual Tanpa Menunggu Waktu yang Tepat

slider
02 Oktober 2025
|
159

Gelombang modernitas yang membawa manusia pada pencapaian material yang gemilang, namun dibaliknya seringkali memunculkan kehampaan spiritual. Mungkin saja kaya namun miskin rasa, berpunya tetapi tak bermakna. Pada diri seorang muslim pun, terkadang keadaan dan kondisi tersebut mengemuka, hingga muncul sebuah pertanyaan mendasar: bagaimana seorang muslim dapat hidup dengan makna yang sejati?

Untuk menjawab hal ini, kita dapat belajar dari Syeikh Dr. Muhammad Al-Ghazali, seorang pemikir muslim kontemporer, yang menawarkan jawaban dalam salah satu karyanya berjudul Jaddid Hayatak (Perbarui Hidupmu).

Sang Visioner: Dr. Muhammad Al-Ghazali (1917-1996)

Dr. Muhammad Al-Ghazali adalah seorang ulama, cendekiawan, dan penulis asal Mesir abad ke-20 yang dikenal dengan semangat pembaruan, moderasi, dan rasionalitas Islam. Syeikh Al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh reformasi Islam seperti Imam Al-Ghazali (Abu Hamid al-Ghazali), yang secara khusus fokus pada gagasan pembaruan iman dan pembersihan jiwa.

Pemikiran Syeikh Al-Ghazali juga mendapat inspirasi dari Muhammad Abduh dan Rashid Rida, tokoh reformasi Islam Mesir yang menekankan rasionalitas, pembaruan pendidikan, dan reformasi pemikiran Islam. Pengaruh literatur Barat juga terlihat dalam karyanya, terutama dari Dale Carnegie melalui buku How to Stop Worrying and Start Living yang kemudian menginspirasi Jaddid Hayatak dengan transformasi ke dalam kerangka islami.

Konteks Historis Lahirnya Jaddid Hayatak

Karya Jaddid Hayatak lahir pada 1949, sebuah periode yang sangat signifikan dalam sejarah dunia Islam dan global. Pada masa itu, dunia sedang dalam proses pemulihan pasca Perang Dunia II, sementara negara-negara muslim menghadapi berbagai tantangan dalam mencari identitas mereka di era modern. Syeikh Al-Ghazali menulis karya ini sebagai respons terhadap kondisi umat Islam yang banyak mengalami krisis keyakinan diri akibat kolonialisme, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Buku ini hadir untuk menggugah kembali semangat hidup, menekankan bahwa Islam bukan tentang putus asa dan optimisme yang berlebihan, melainkan tentang keseimbangan antara perbaikan diri dan kepasrahan kepada Allah. Dalam konteks sejarah, Jaddid Hayatak menjadi salah satu literatur penting yang membantu umat Islam menemukan kembali jati diri dan semangat hidup mereka. Buku ini bukan sekadar panduan self-help dalam kemasan islami, melainkan sebuah manifesto untuk transformasi spiritual yang mendalam.

Syeikh Al-Ghazali mengajak setiap muslim untuk melakukan revolusi diri yang tidak menunggu “waktu yang tepat”, tetapi dimulai dari kesadaran akan urgensi perubahan di saat ini juga.

Dorongan Memperbaharui Hidup: Mengatasi Sindrom Menunggu

Syeikh Al-Ghazali mengawali pembahasannya dengan observasi yang sangat tajam tentang sifat dasar manusia: “Setiap orang tentu menginginkan perubahan baru dalam perjalanan hidupnya. Namun perubahan yang diinginkan itu biasanya dikaitkan dengan suatu momentum yang belum dapat dipastikan, seperti perbaikan kondisinya atau perubahan dalam posisinya. Kadang-kadang perubahan itu dikaitkan juga dengan musim tertentu atau peristiwa khusus, misalnya hari kelahiran, tahun baru, dan lain-lain.” Pengamatan ini menunjukkan kecenderungan manusia untuk menunda-nunda perubahan.

Syeikh Al-Ghazali melanjutkan: “Dalam masa penantian itu, orang menyangka akan datang suatu kekuatan yang diharapkan akan memberinya gairah setelah lesu dan harapan setelah lama tenggelam dalam keputusasaan. Ini adalah suatu sangkaan yang keliru, sebab mengubah kehidupan itu pertama-tama harus tumbuh dalam jiwa itu sendiri, sebelum segala sesuatu yang lain.”

Syeikh Al-Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa banyak orang ingin membuka lembaran baru dalam hidupnya, tetapi menantikan saat atau keadaan tertentu untuk membuat perubahan tersebut. “Perfect timing,” kata orang. “Itu hanya ilusi!” demikian kritik tajam Syeikh Al-Ghazali terhadap mentalitas prokrastinasi spiritual yang menghinggapi banyak muslim.

Dalam pengamatan Syeikh Al-Ghazali, manusia modern terjebak dalam sindrom “menunggu”: menunggu kondisi ideal, menunggu motivasi yang sempurna, menunggu lingkungan yang kondusif, atau bahkan menunggu inspirasi surgawi untuk memulai perubahan hidup. Padahal, waktu terus berlalu dan kesempatan untuk berubah semakin menipis.

Bahaya Waktu Luang

Syeikh Al-Ghazali secara khusus memperingatkan tentang bahaya waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik: “Kita tidak akan merasakan jejak-jejak kecemasan di saat kita sedang sibuk bekerja, namun waktu-waktu luang sehabis bekerja itulah yang merupakan saat-saat yang sangat berbahaya. Di saat tersedia bagi kita waktu luang, maka tak lama setan kecemasan pun akan menyerang kita.”

Lebih lanjut, Syeikh Al-Ghazali memberikan analogi yang sangat mendalam: “... Buatlah sebuah lobang pada lampu (bohlam) yang hampa udara, maka engkau akan melihat bahwa alam akan mendorong udara masuk ke dalam lampu itu untuk mengisi kekosongan di dalamnya. Begitu juga alam akan segera mengisi jiwa yang kosong dengan apa? Biasanya dengan perasaan-perasaan. Mengapa? Karena perasaan-perasaan cemas, takut, dendam, dan dengki itu, akan mendesak dengan kekuatan yang asli dan keras, yang mungkin memporak-porandakan keseimbangan dari jiwa kita dan menetap di akal pikiran kita.”

Analogi ini menunjukkan betapa pentingnya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang produktif dan bermakna, karena jiwa yang kosong akan secara natural terisi oleh hal-hal negatif. Fenomena waktu luang tidak asing bagi kita yang hidup di era digital. Berapa banyak orang yang selalu berkata: “tahun depan saya akan lebih rajin shalat”, “bulan depan saya akan mulai membaca Al-Qur’an rutin”, atau “setelah Ramadhan nanti saya akan menjadi muslim yang lebih baik”. Syeikh Al-Ghazali melihat pola ini sebagai self-deception yang berbahaya, sebuah bentuk pengingkaran terselubung terhadap tanggung jawab spiritual yang immediate.

Revolusi dari Dalam: Paradigma Perubahan Syeikh Al-Ghazali

Pembaharuan hidup yang dimaksud Syeikh Al-Ghazali adalah perbaikan ulang yang seharusnya dilakukan seseorang untuk jiwanya, meng-update kembali misi dan visi hidupnya, berusaha membangun kembali hubungan dengan Allah yang lebih baik dan amal ibadah yang lebih sempurna. Konsep ini menunjukkan bahwa perubahan sejati tidak bersifat kosmetik atau superfisial, melainkan struktural dan fundamental.

Syeikh Al-Ghazali memahami bahwa transformasi autentik hanya dapat terjadi ketika seseorang mengalami pergeseran paradigma yang mendasar. Hal ini bukan tentang menambahkan rutinitas ibadah baru atau mengubah kebiasaan eksternal, tetapi tentang rekonstruksi total terhadap worldview dan value system yang mendasari seluruh eksistensi seorang muslim.

Setiap muslim adalah potential transformer yang mampu melakukan revolusi personal. Namun, revolusi ini harus dimulai dari kesadaran akan urgensi perubahan, bukan dari kenyamanan atau kemudahan. Perubahan sejati selalu uncomfortable dan menantang zona nyaman yang telah mapan.

Dialog dengan Modernitas: Dari William James hingga Dale Carnegie

Salah satu aspek menarik dari pendekatan Syeikh Al-Ghazali adalah kesadarannya akan konteks global pemikiran kontemporer dan kemampuannya mengintegrasikan wisdom dari berbagai tradisi intelektual. Syeikh Al-Ghazali tidak hanya terpengaruh oleh Dale Carnegie, tetapi juga mengutip pemikir-pemikir Barat lainnya seperti William James.

Syeikh Al-Ghazali mengutip nasihat dari filsuf pragmatis Amerika, William James: “William James pernah menyarankan agar begitu engkau mengambil keputusan setelah mempertimbangkan masak-masak sesuai fakta-fakta yang ada, maka bertindaklah! Jangan menoleh lagi ke belakang, jangan ragu-ragu, khawatir atau meneliti kembali langkah-langkahmu. Maju terus dan hadapi persoalannya dengan tenang.”

Kutipan tersebut sangat relevan dengan tema utama Jaddid Hayatak yakni tentang pentingnya bertindak tanpa menunda-nunda. James, sebagai pelopor psikologi modern dan filosofi pragmatisme, menekankan bahwa setelah deliberasi dengan matang, action harus diambil dengan keyakinan penuh tanpa terus-menerus meragukan keputusan yang telah dibuat.

Dale Carnegie menulis buku How to Stop Worrying and Start Living, buku yang diterbitkan pada 1948, yang masih best seller sampai hari ini. Kata Syeikh Al-Ghazali, “Saya telah membaca buku How to Stop Worrying and Start Living”. Pengakuan Syeikh Al-Ghazali terhadap karya Carnegie dan James menunjukkan keterbukaan intelektual yang luar biasa. Ia tidak terjebak dalam ghetto thinking yang menolak wisdom dari tradisi lain, tetapi mampu melakukan critical engagement dengan pemikiran Barat sembari mempertahankan identitas dan keautentikan Islam.

Syeikh Al-Ghazali tidak berhenti pada adopsi metodologi Barat. Ia melakukan islamisasi terhadap konsep-konsep tersebut dengan memberikan foundation yang lebih solid berupa worldview quranic dan prophetic guidance. Jika Carnegie berbicara tentang positive thinking dan practical wisdom, Syeikh Al-Ghazali menawarkan tawakal yang aktif dan hikmah yang berbasis wahyu.

Implementasi Praktis: Dari Konsep ke Aksi

Salah satu kekuatan utama pendekatan Syeikh Al-Ghazali adalah kemampuannya dalam menerjemahkan konsep-konsep filosofis ke dalam action plan yang concrete dan actionable. Jaddid Hayatak bukan hanya berisi reflection dan contemplation, tetapi juga practical guidance yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Syeikh Al-Ghazali mengajarkan bagaimana menyikapi dinamika kehidupan yang penuh dengan pasang surut, seperti mengutip firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 155-157:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un’ (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Syeikh Al-Ghazali menyebutkan tiga doa yang bisa dipanjatkan ketika menghadapi cobaan hidup. Pertama, “Anugerahilah daku Ya Allah, kesabaran dan kemampuan untuk menerima segala yang harus terjadi.” Kedua, “Anugerahilah daku Ya Allah, keberanian dan kekuatan untuk mengubah apa yang masih dapat diubah.” Ketiga, “Anugerahilah daku Ya Allah, kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan keduanya.”

Doa ini, yang juga dikenal sebagai Serenity Prayer dari Dr. Reinhold Niebuhr (Professor dari Applied Christianity Union Theological Seminary New York), menunjukkan bagaimana Syeikh Al-Ghazali mampu mengintegrasikan wisdom universal dengan perspektif Islam yang mendalam. Konsep ini mengajarkan bahwa transformasi spiritual yang sejati memerlukan keseimbangan antara penerimaan terhadap takdir Allah (tawakal) dengan usaha maksimal dalam mengubah apa yang masih bisa diubah (ikhtiar).

Demikian ini essence dari Jaddid Hayatak—sebuah pembaruan hidup yang tidak hanya bersifat reaktif terhadap keadaan, tetapi juga proaktif dalam menciptakan perubahan positif. Akhirnya, pesan utama dari Jaddid Hayatak bahwa setiap momen adalah opportunity untuk renewall. Tidak ada kata terlambat untuk memulai hidup yang lebih bermakna, lebih dekat dengan Allah, dan lebih beneficial bagi sesama. Apa yang dibutuhkan hanyalah courage untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan commitment untuk konsisten dalam journey transformasi yang telah dimulai.

Referensi:

Ngaji Filsafat 481: Perbarui Hidupmu (Muhammad Al-Ghazali) edisi Menua dengan Bahagia bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 27 Agustus 2025.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Tita Yuliawati

Lulusan Magister Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta