Islam dan ‘Yang Lain’: Dialog Sejarah dan Tafsir yang Menghidupkan
Judul: Interaksi Islam: Bergelut dengan Teks dan Konteks | Penulis: Mun’im Sirry | Penerbit: Suka Press, 2024 | Tebal: xiv + 390 hlm | ISBN: 978-623-7816-93-5
Islam, seperti yang dibayangkan Sirry dalam karya terbarunya Interaksi Islam: Bergelut dengan Teks dan Konteks, tidak pernah menjadi sesuatu yang ekslusif dan statis dalam pertumbuhannya. Artinya, Islam sedari awal memang selalu bersikap terbuka untuk berinteraksi dengan entitas lain yang ada di wilayah yang dimasukinya. Setidaknya itulah yang bisa didapatkan dari pembacaan 11 esai Sirry dalam buku tersebut—yang sebelumnya telah diterbitkan secara terpisah dalam kurun waktu dua dekade belakangan (2005-2021) di berbagai publisher ternama dan bergengsi.
Bukan ingin mengamini bahwa Islam tidak memiliki orisinalitas sama sekali pada dirinya, tetapi Sirry ingin menunjukan fakta sejarah yang mungkin sering terlewat oleh kita ketika membaca Islam, bahwa Islam bukanlah sesuatu yang berkembang dalam ruang vakum, melainkan sesuatu yang hidup dan terus berinteraksi dengan masyarakat dan tradisi yang ada di sekitarnya.
Lebih lanjut, Islam menurut Sirry di sini tidak hanya dibentuk oleh teks-teks sucinya saja, tetapi juga terbentuk melalui pergumulan, interaksi, dan dialog yang sangat mungkin datang dari luar tradisi Islam itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan dalam pembukaan bukunya, “Islam merupakan agama yang membentuk dan dibentuk oleh pergulatan (engagement) yang tak pernah selesai” (hal. 1).
Pernyataan tersebut tidak hanya menggambarkan esensi dari interaksi Islam dengan dunia lain, tetapi juga, sekali lagi, mencerminkan sifat dasar Islam yang selalu terbuka untuk berkembang dan berevolusi seiring berjalannya waktu. Oleh karenanya, pada bagian selanjutnya saya memilih untuk mengulas temuan Sirry khusus pada bagaimana Islam menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan ‘Yang Lain’ dan bagaiman muslim memandang mereka melalui penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap polemik.
Di Balik Takhta Islam, Kontribusi Non-Muslim dalam Pemerintahan Abbasiyah
Sebagai seorang profesor yang memiliki kedalaman dan kekayaan referensi bacaan yang luar biasa dari kalangan cendekiawan muslim ataupun sarjana Barat, Sirry berhasil menawarkan pemahaman yang jauh lebih luas dan ciamik tentang peran dan pengaruh komunitas non-muslim dalam perkembangan ‘negara’ muslim awal.
Kenyataan bahwa negara muslim hadir melalui penaklukan, salah satunya, sering kali membawa kita pada satu pertanyaan melankolis yang kerap diabaikan saat membaca sejarah Islam, yaitu bagaimana kondisi ‘mereka’ yang tertaklukan dalam sistem pemerintahan negara yang baru? Apakah penaklukan itu secara otomatis menjadikan komunitas non-muslim di sana sebagai masyarakat kelas dua yang tidak memiliki kontribusi, kecuali hanya menyetorkan upeti, terhadap jalannya roda pemerintahan yang baru?
Menariknya, untuk menjawab pertanyaan itu, Sirry dalam salah satu bab, “Peran Politik Non-Muslim dalam Pemerintahan Islam”, berhasil menyoroti bagaimana dzimmi (istilah yang digunakan Sirry untuk komunitas non-muslim) pada masa Dinasti Abbasiyah ternyata menduduki berbagai jabatan strategis, termasuk posisi wazir yang setingkat perdana menteri.
Meskipun wacana yuridis (hukum) tentang peran mereka dalam pemerintahan sangat beragam dan berbeda antara satu sama lain pada saat itu, misalnya Al-Mawardi yang lebih terbuka dalam melihat peran mereka dalam pemerintahan jika dibandingkan dengan Al-Juwayni yang cenderung sangat konservatif, dzimmi tetap dipertahankan oleh khalifah. Menurut Sirry, hal itu karena memiliki keahlian dan pengalaman dalam mengelola negara. Selain itu, Sirry juga berkesimpulan bahwa sebenarnya hubungan muslim dan non-muslim di masa awal tidaklah bermusuhan seperti yang sering dibayangkan (hal. 66-93).
Namun perlu disadari juga, bahwa di dalam perjalanan Dinasti Abbasiyah tetap ada beberapa khalifah yang sangat ingin menyingkirkan dzimmi dari berbagai jabatan strategis, seperti Khalifah Al-Mansur, Al-Mutawakkil, dan Al-Muqtadir—meskipun faktanya mereka kesulitan (baca: gagal) untuk menyingkirkan mereka secara kaffah.
Kemudian jika diperhatikan, temuan Sirry juga memberikan sebuah gambaran bahwa, walaupun dalam perjumpaan teologis hubungan muslim-Kristen awal, yang di satu sisi, sering bergesekan ketika mendiskusikan tema-tema sensitif, seperti isu pemalsuan kitab suci, tahrif ataupun topik mengenai keilahian Kristus (hal. 50-58) yang disinggung panjang lebar dalam bab “Tema-Tema Pokok Dialog Muslim-Kristen Awal”, khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat Islam, di sisi yang lain, ternyata tetap memerlukan pengalaman dzimmi dalam urusan pemerintahan, mengingat wilayah Islam yang sangat luas pada saat itu.
Membuka Kembali Ayat Sensitif, dari Polemik ke Harmoni
Selanjutnya, bergeser ke bagian lain buku ini, Sirry dalam bab “Membaca Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Agama Lain” tampak mencoba membawa kita untuk melihat konteks saat ini kaitannya untuk melakukan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat polemik di dalam Al-Qur’an yang dipandang sering melahirkan sikap dan semangat intoleransi.
Hal ini penting menurut Sirry untuk melihat sejauh mana ayat-ayat kekerasan dapat dibaca ulang dari perspektif historis-kronologis ataupun melalui kesadaran adanya perjumpaan Nabi Muhammad dengan komunitas agama lain untuk mengupayakan interaksi sosial yang lebih baik saat ini (hal. 125-130). Sebab, sekali lagi, sebagaimana pandangan Campanini, cendekiawan Italia, yang dikutip oleh Sirry di bab ini, fungsi dari penafsiran (ulang) Al-Qur’an (pada era) modern itu sangat penting kaitannya untuk merevolusionerkan hubungan antarmanusia (hal. 158).
Singkat kata, dengan mengkaji beberapa materi tafsir ayat polemik—seperti Al-Quran surah 5:51, mengenai larangan bagi umat muslim menjadikan orang Yahudi atau Kristen sebagai pemimpin—Sirry berhenti pada temuannya bahwa para mufassir modern ketika mengkaji ayat tersebut cenderung berusaha untuk menawarkan peluang terbentuknya hubungan antaragama yang damai (hal. 159-160). Hal ini menunjukan bahwa meskipun ayat-ayat tersebut muncul dalam konteks tertentu di masa lalu, tafsir modern dapat menawarkan pandangan yang lebih inklusif dan sesuai dengan tantangan zaman kini.
Seirama dengan hal ini, Sirry dalam bab yang lain juga mengingatkan kita sekali lagi untuk siap terlibat dalam kerja-kerja penafsiran baru apabila ingin membentuk masyarakat yang toleran dan pluralistik. Terlebih, sebagai teks tertulis yang diam, Al-Qur’an hanya dapat berbicara melalui kerja-kerja penafsiran para pembacanya (hal. 121).
Oleh karena itu, menurut saya, buku ini bukan hanya sekadar hasil dari sebuah kajian sejarah Islam yang mendalam, melalui analisis yang tajam dan argumentatif dalam setiap penjelasannya Sirry juga secara tidak langsung ingin mengundang kita untuk melihat Islam dalam dimensi dan perspektif yang lebih luas.
Sirry sangat berhasil menunjukan bahwa Islam tidak hanya sebagai agama yang berpijak pada teks-teks sucinya saja, tetapi juga sebagai sebuah peradaban yang berkembang melalui interaksi yang hidup dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar komunitas muslim. Terlebih lagi, Islam sebagai sebuah peradaban yang baru itu lahir di tengah wilayah yang telah kaya dengan tradisi dan peradaban lain yang sudah lebih dahulu ‘matang’.
Sirry, walaupun ditemukan beberapa kesalahan kecil alih bahasa di dalam karya terjemahan ini, tetap berhasil menghadirkan hasil eksplorasinya yang luar biasa mengenai isu-isu yang jarang dibahas dalam diskursus mainstream ke tengah-tengah kita dengan elegan dan mudah dinikmati. Terlebih, dengan referensi yang kaya dari berbagai pemikir Timur dan Barat, saya pribadi sangat ingin merekomendasikan siapa pun untuk membaca buku ini.
Sebagai kesimpulan, saya merasa karya ini ingin mengajak kita bersama untuk kembali berpikir kritis melihat sejarah Islam, interaksi antaragama yang terjadi di masa lalu, dan peran penting penafsiran ulang terhadap teks suci sebagai bentuk upaya menciptakan masyarakat yang lebih toleran, semacam menjembatani dialog antara masa lalu dengan tantangan modernitas saat ini.
Category : resensi
SHARE THIS POST