Islam bagi Kaum Tertindas

slider
01 Desember 2021
|
2362

Keadilan selalu menjadi basis utama mengapa agama samawi hadir dan mengubah banyak hal, termasuk Islam saat hadir untuk pertama kalinya. Islam hadir saat masyarakat Makkah dalam situasi yang disebut sebagai zaman Jahiliyah, masa yang penuh kekuasaan yang sewenang-wenang dan ketidakadilan hukum.

Masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam mengalami kemerosotan moral: rajin mabuk-mabukan, judi, cabul dan seks bebas adalah hal biasa. Bahkan yang lebih parah, anak perempuan yang baru lahir dikubur hidup-hidup. 

Selain itu, perbudakan menjadi hal wajar dengan majikan berkuasa penuh. Dengan kondisi tersebut, mereka yang kaya bergelimang harta, sedangkan yang miskin semakin terjerat dengan kemiskinannya. Jurang pemisah antara masyarakat miskin dan kaya makin terasa jauh. 

Saat kedatangan Kanjeng Nabi Muhammad yang membawa ajaran Islam dari Allah SWT, masyarakat Arab perlahan berubah. Masyarakat yang awalnya menghalalkan segala cara, menjadi masyarakat yang memiliki hukum yang beradab dan menghormati kemanusiaan.

Islam sejatinya tidak mengubah seluruh tatanan hukum dan nilai yang dianut masyarakat Arab, melainkan mengarahkan nilai-nilai masyarakat Arab hingga sesuai syariat. Nilai yang baik dipertahankan meskipun cara dan tujuan untuk mencapainya kemudian diganti. Sebagai konsekuensi dari sebuah perubahan sosial, hukum Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dari hukum Jahiliyah. 

Dalam sejarah, Kanjeng Nabi Muhammad beserta para pemeluk agama Islam awal benar-benar membuat sikap kontra terhadap sistem hukum Jahiliyah, mulai dari perilaku maupun tindakannya, sehingga mendapatkan banyak penentangan dari para penegak sistem Jahiliyah.

Bahkan, pendekatan Kanjeng Nabi Muhammad sebagai pembawa Islam awal yang berpihak pada kelompok yang ‘terpinggirkan’ dalam stratifikasi sosial, mendapat pertentangan yang cukup serius dari para pemuka Makkah kala itu.

Islam yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad  menjadi sebuah revolusi sosial yang mengubah tatanan masyarakat Jahiliyah pada saat itu, dan mengubahnya menjadi masyarakat madani yang ditandai berdirinya Kota Madinah. Islam hadir sebagai pembebas yang membebaskan manusia dari kondisi ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat.

Dari sejarah kehadiran Islam tersebut, Asghar Ali Engineer mengonsepsikan apa yang disebutnya sebagai Islam sebagai Teologi Pembebasan. 

Mulanya, Teologi Pembebasan (Liberation Theologhy) diperkenalkan oleh Gustavo Guttirez, teolog sekaligus pastor Gereja Katolik di Amerika Latin. Pemikiran ini muncul sebagai pembeda dari metode Teologi Tradisional yang hanya berkutat terhadap Tuhan semata.

Teologi Pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah reaksi moral terhadap kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Lebih jelasnya, Teologi Pembebasan adalah konsep pemikiran ketuhanan yang membebaskan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan segala problematika sosial (Mateus Mali, 2016). 

Konteks kelahiran Teologi Pembebasan dilihat pada situasi sosial, ekonomi dan politik di Amerika Latin. Di daerah ini, pada 1950-1960-an muncul pemimpin populis yang membangun semangat nasionalisme, tetapi terjebak dalam arus pembangunan yang melahirkan ketergantungan ekonomi pada kaum kapitalis, menguntungkan negara-negara kaya, dan tidak memberikan kesejahteraan kepada kaum miskin. Menanggapi situasi itu, Gustavo Guttirez terlibat aktif di dalam konferensi para uskup di Amerika Latin atau yang dikenal dengan nama CELAM. 

Pada Konferensi di Medelin pada 1968, Gustavo Guttirez berusaha agar para uskup mengerti tentang situasi Amerika Latin yang dilanda kemiskinan. Gereja harus memihak pada kaum tertindas. Usaha Gustavo Guttirez berhasil meyakinkan para Uskup, tetapi banyak Uskup yang konservatif menganggap bahwa Teologi Pembebasan sangat dekat dengan Marxisme. Marxisme dalam pandangan mereka sangat dekat dengan ateisme. 

Walaupun demikian, Gustavo Guttirez tetap memainkan peran di belakang layar. Pada 1971, Gustavo Guttirez menerbitkan tulisan berjudul Teologi Pembebasan”, yang mengurai secara komprehensif situasi kemiskinan di Amerika Latin. Usaha Guttirez tersebut cukup berhasil meyakinkan uskup-uskup Amerika Latin.

Gereja Amerika Latin berdiri untuk memihak kaum miskin dan tertindas. Kemudian gereja mengeluarkan sikap untuk mendahulukan pilihannya bersama orang miskin yang ditandai dengan deklarasi preferential option for the poor (Mateus Mali, 2016)

Dalam konteks sejarah pemikiran, banyak penamaan yang secara substansial sama dengan Teologi Pembebasan seperti Teologi Pemerdekaan (Romo Mangun), Teologi Kiri (Kiri Islam Hasan Hanafi), Teologi Kaum Mustadhafin (Teologi Muhammadiyah), Teologi kaum Tertindas, dan lain-lainnya.

Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan sebuah cara beragama yang otentik, yang lahir dari realitas sekitar, dan keprihatinan kepada kaum miskin yang tertindas. Teologi Pembebasan tidak ada sangkut pautnya dengan bebas, semau ‘gua’ atau sikap permisif sebagaimana yang sering disalahpahami.

Islam dan Teologi Pembebasan, Adakah?

Asghar Ali Engineer dalam bukunya yang berjudul Islam dan Teologi Pembebasan (2009) mencoba untuk menggabungkan nilai-nilai Islam dan Teologi Pembebasan. Baginya, Islam juga menjadi pembebas bagi kaum miskin dan tertindas. Ia kemudian disebut sebagai yang mempopulerkan konsep Islam sebagai teologi pembebasan dalam diskursus Islam kontemporer. Dalam menyusun konsepnya, Asghar menggunakan pendekatan secara historis dan tekstual untuk menggali elemen-elemen pembebasan dalam Islam.

Dalam pendekatan secara historis, Asghar menganggap bahwa peran kenabian, terutama keberadaan Kanjeng Nabi Muhammad bukan hanya sekedar guru yang mengajarkan konsep ketuhanan semata, melainkan juga seorang pejuang dan aktivis yang cukup revolusioner.

Pasalnya, sepanjang hidupnya Kanjeng Nabi Muhammad di samping berjuang membenahi akidah manusia, ia juga berjuang untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan penindasan. Nabi membebaskan rakyat Mekkah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi para pemuka Quraisy, serta memberikan inspirasi pengikutnya untuk membebaskan dirinya dari ketertindasan.

Selain Islam, dalam gerakan sosial di Amerika Utara misalnya, ada Teologi Pembebasan feminisme yang digerakkan oleh Elizabet Jonshon. Lalu ada teologi kulit hitam dengan Malcom X sebagai salah satu motor penggerak. Tak ketinggalan ada pula Teologi Pembebasan Asia yang digerakan oleh Aloysius Pieris.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa semangat dan prinsip Teologi Pembebasan bisa tumbuh di mana pun dan dalam kebudayaan apa pun ketika, sistem dan struktur sosial masyarakat dipenuhi ketimpangan, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, serta penindasan. Munculnya spirit pembebasan ini didorong oleh dua kecenderungan.

Pertama, dalam diri manusia sebenarnya menyimpan potensi kesadaran untuk memerdekaan diri. Potensi itu akan dirasakan dan tampak manakala manusia merasakan dirinya tertekan oleh beban penindasan. 

Kedua, dalam sebuah komunitas tertentu kesadaran pembebasan itu sudah ada dan tumbuh (minimal secara potensial) dalam tradisi budaya atau dalam dunia simbolik yang diyakini kebenarannya secara kolektif. Misalnya dalam dongeng, cerita sejarah, mitos, atau dalam teks-teks di kitab suci. Fakta mengenai tumbuh suburnya ragam gerakan pembebasan di Asia dan Afrika juga menunjukkan bahwa, geraknya tidak sekadar dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal dalam budayanya sendiri.

Oleh karena itu, jika Teologi Pembebasan bisa tumbuh di berbagai kebudayaan, maka berdasarkan kedua hal tersebut, jawaban mengenai ada atau tidaknya Teologi Pembebasan dalam Islam tampaknya bisa peroleh titik terang. Pertama, berdasarkan kesadaran internal umat Islam yang berkehendak mencari pembebasan dan melakukan transformasi sosial. Kedua, terjadi reinterpretasi terhadap sejarah dan kebudayaan umat Islam dengan melakukan rekonstruksi atas pesan-pesan normatif pembebasan dalam Islam sendiri. 

Michael Amaladoss membuat penelitian yang cukup menarik mengenai berbagai bentuk Teologi Pembebasan, khususnya di Asia. Setelah mengkaji berbagai potensi dan watak pembebasan dalam agama-agama di Asia yang meliputi: agama Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen, Islam dan agama-agama Kosmis, Amaladoss menyimpulkan bahwa berbagai teologi tersebut menunjukkan ternyata semua agama memiliki segi-segi yang membebaskan. Para nabi telah berusaha menyoroti unsur-unsur yang membebaskan itu dalam menafsirkan kembali tradisi agama mereka secara kreatif dan relevan. 

Karena itu, Islam juga punya potensi yang sama sebagai spirit Teologi Pembebasan melalui berbagai ayat di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Islam kemudian menjadi sebuah gerakan sosial yang melawan segala bentuk penindasan dan membela rakyat miskin yang terpinggirkan.

Merujuk ke Literatur

Ahmad, Kursani. (2011). “Teologi  Pembebasan  dalam  Islam: Telaah Pemikiran Asghar Ali Engineer”. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 10, No. 1

Amaladoss, Michael. (2000). Teologi Pembebasan Asia. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar dan Insist

Engineer, Asghar Ali. (2000). Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mali, Mateus. (2016). “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan”. Jurnal Orientasi Baru, Vol. 25, No. 01  

Nitiprawiro, Fr. Wahono. (2000). Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya. Yogyakarta: Penerbit LKIS


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Mohammad Rafli Ilham

Penulis berasal dari Sukabumi Jawa Barat, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Ia merupakan Kader PMII Rayon Pondok Syahadat. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis dengan mengunjungi sosial media Instagram dan Twitter @mraflyi_.