Intelektual dan Politik Kekuasaan: Perbincangan Dilematis
Sederhananya, apa yang disebut sebagai intelektual adalah orang yang mempunyai kemampuan pengetahuan teoretis dan metodologis untuk menganalisis berbagai persoalan, baik gejala sosial, budaya, alam dan sebagainya. Kata intelektual juga selalu berkaitan dengan praksis. Dalam tulisannya yang berjudul “Kaum Cendikiawan” (1981), Edward Shils mengemukakan bahwa minat intelektual ditumbuhkan oleh kebutuhan untuk mencercap, mengalami dan mengekspresikan dalam kata, warna, bantuk atau bunyian suatu makna umum di tengah peristiwa yang kongkret dan khas.
Shils menambahkan bahwa minat tadi juga tumbuh karena kebutuhan untuk mengadakan kontak lewat daya pengetahuan, penilaian moral dan apresiasi estetis dengan sifat-sifat hakiki yang paling umum dalam diri manusia, masyarakat, alam dan jagat raya. Kebutuhan tersebut mendasari produksi (penciptaan) dan konsumsi (penerimaan) karya-karya ilmiah ataupun kesarjanaan. Lalu, menjadi pertanyaan yang menarik untuk diperbincangkan dalam diskursus ilmu sosial yakni, bagaimana idealisasi hubungan intelektual dan politik kekuasaan? Ada sejumlah perspektif untuk menguraikan persoalan tersebut.
Peta Akademik; Relasi Intelektual dan Politik Kekuasaan
Seorang pemikir pascakolonial, yakni Edward Said, mengajukan tesis yang menarik mengenai peran intelektual. Dalam karyanya yang berjudul Peran Intelektual (2014), Said mengemukakan bahwa tugas intelektual adalah berbicara kebenaran terhadap penguasa. Said menilai bahwa sikap ideal seorang intelektual adalah menjaga jarak dengan kekuasaan. Pendapatnya tersebut didasarkan karena intelektual memerlukan kebebasan untuk menyuarakan apa-apa yang merepresentasikan pemikirannya, dan bukan berdasarkan dikte atas otoritas tertentu (penguasa). Dengan kalimat lain, kebebasan yang diandaikan oleh Said tersebut akan kehilangan maknanya manakala intelektual dekat dengan kekuasaan.
Sebab itu, Said menilai hubungan ideal antara intelektual dan politik kekuasaan adalah oposisi. Akan tetapi, semangat oposisi dalam perspektif Said, tentu bukan semangat “partisan”, bukan semangat untuk menyerang kekuasaan secara membabi buta. Pada dasarnya, tugas intelektual dalam kacamata Said adalah “berbicara tentang kebenaran”, termasuk dalam menyoal politik kekuasaan. Dengan demikian, seorang intelektual bisa memandang jalannya suatu kekuasaan secara apresiatif dan juga sebaliknya.
Berbeda degan Said, Intelektual publik seperti Cornelis Lay, dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar FISIP UGM mengajukan pandangan alternatif yakni, intelektual jalan ketiga. Dalam pidatonya, ia menyampaikan ketidaksetujuannya pada dua pandangan mainstream. Di satu sisi pandangan yang menyepakati kedekatan intelektual dengan kekuasaan, di sisi yang lain ada pandangan yang menyepakati kedekatan (atau menjadi bagian) intelektual dengan kekuasaan. Cornelis Lay tidak menyepakati adanya dikotomi tersebut.
Bagi Cornelis Lay, kekuasaan harusnya dijadikan alat, bukan sebagai tujuan. Alat yang dimaksud yaitu alat untuk memperjuangkan kemanusiaan, kebebasan dan sebagainya. Jadi, intelektual bisa “keluar ataupun masuk” ke dalam kekuasaan. Dalam pemahaman saya, di satu sisi ia berusaha menyadarkan para intelektual untuk “tidak alergi” terhadap kekuasaan, tapi di sisi lain ia pun menanamkan sikap bahwa intelektual harus tetap kritis terhadap kekuasaan, dalam arti sejauh mana politik kekuasaan itu memperjuangkan kemanusiaan, keadilan dan sebagainya. Bentuk kongkretnya, misalnya saja intelektual bisa turut ambil bagian dalam politik kekuasaan, dan dengan itu ia bisa memperjuangkan nilai kemanusiaan, dan intelektual bisa menjadi oposisi manakala kekuasaan menunjukkan wajah yang melindas kemanusiaan.
Dalam konteks di Indonesia, pandangan Cornelis Lay sebenarnya bukanlah pandangan baru, Mohammad Hatta dalam “Tanggung Jawab Moral Kaum Inteligensia” (1984) mengemukakan bahwa intelektual mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dan tanggung jawab tersebut bisa diperjuangkan baik di dalam pemerintahan maupun di luar. Akan tetapi, baik berjuang di dalam maupun di luar, tentu mempunyai tantangannya sendiri yang kita bisa sebut sebagai “hambatan struktural”.
Catatan
Menurut hemat saya, di satu sisi gambaran ideal mengenai posisi intelektual dalam pandangan Cornelis Lay memang sangat beralasan. Akan tetapi, pada sisi yang lain, masih ada hambatan nyata ketika intelektual terlibat dalam politik kekuasaan. Peran agensi perubahan intelektual sangat terbatas dikarenakan struktur ekonomi politik yang oligarkis. Salah satu studi yang bisa dirujuk terkait hambatan struktural intelektual ini yaitu Vortex of Power: Intellectuals and Politics in Indonesia Post-Authortarian Era (2019) yang ditulis oleh Airlangga Pribadi.
Dalam pemahaman saya, hambatan struktural itu karena politik bekerja menuruti logika kapital. Robertus Robert dalam artikelnya “Oligarki, Politik dan Res Publica” (2020) menulis bagaimana salah satu permasalahan mendasar dalam politik kontemporer, yakni invasi kapitalisme ke dalam dunia politik, sehingga politik dikloning menjadi dunia bisnis. Dengan kata lain, politik menjadi lahan yang kondusif untuk mengumpulkan akumulasi kapital yang lebih banyak lagi. Robert pun menjelaskan bahwa oligarki memperluas wilayah eksploitasi, bukan hanya pada level hubungan sosial-produksi, melainkan juga pada level supra-struktur.
Struktur ekonomi politik yang oligarkis inilah yang menyebabkan kapasitas agensi dari intelektual. Misalnya saja dalam perumusan kebijakan publik yang sudah barang tentu menyangkut hajat hidup orang banyak, menjadi terbatas. Tentu saja ini karena politik bekerja mengikuti logika akumulasi kapital. Masalah tersebut juga menjadi hambatan bagi intelektual yang memilih berjuang di luar.
Menimbang Intelektual dalam Politik Kekuasaan
Hal yang perlu saya garis bawahi, meski di satu sisi saya menyadari adanya hambatan struktural tersebut, tapi bukan berarti saya “mengharamkan” keterlibatan intelektual dalam politik kekuasaan. Meski seperti yang sudah saya katakan bahwa peran agensinya memang terbatas, akan tetapi bukan berarti tidak mungkin sama sekali. Meskipun peluang agensi itu minim, akan tetapi tetap perlu diupayakan. Sebab itu, saya menyepakati pendapat bahwa intelektual tidak perlu alergi terhadap politik kekuasaan.
Saya mencoba untuk mempelajari pengalaman intelektual, bisa juga dikatakan intelektual publik, yang pernah terlibat dalam politik kekuasaan, salah satunya dalam biografi Andrinof Chaniago yang ditulis oleh Ade Wiharso dan Lina M. Komarudin yang berjudul Evolusi Mimpi Menata Indonesia: Andrinof A. Chaniago dan Kelahiran Pemikiran Pembangunan Pasca 2014 (2019).
Dalam buku tersebut, diceritakan bagaimana Andrinof beberapa kali membatalkan proyek pembangunan yang tidak sejalan dengan filosofi pembangunan berkelanjutan yang diyakininya. Singkat kata, meski ada hambatan yang nyata, tetapi dengan kapasitasnya dalam politik kekuasaan, memungkinkan dan memberikan kesempatan baginya untuk melakukan perubahan ataupun, mencegah adanya kebijakan yang dapat menghadirkan kerusakan yang lebih mendalam.
Dari pengalaman intelektual publik yang terlibat dalam politik kekuasaan seperti Andrinof, saya berpandangan bahwa perjuangan dalam politik kekuasaan pun merupakan hal yang penting dan tetap perlu diapresiasi. Hanya saja, yang perlu diuji kemudian adalah sejauh mana para intelektual ini bisa mempertahankan nilai-nilai intelektualitasnya di tengah himpitan struktur ekonomi politik yang jauh dari kata ideal?
Hal yang perlu saya tegaskan kembali dan ini menjadi standpoint bagi saya, yakni saya tidak mempersoalkan intelektual terlibat dalam politik kekuasaan atau di luar politik kekuasaan, yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa mempertahankan dan setia terhadap nilai-nilai intelektualitasnya.
Saya mengapresiasi mereka yang berjuang, baik dalam politik kekuasaan maupun di luar politik kekuasaan. Kedua posisi tersebut menurut saya sangat penting dalam upaya menumbuhkan demokrasi yang lebih baik selagi mereka setia terhadap nilai-nilai keintelektualitasannya.
Saya menganggap intelektual yang masuk dalam politik kekuasaan pun penting, dengan pertimbangan sebagaimana yang saya tulis di atas. Sementara itu, untuk intelektual yang berjuang di luar politik kekuasaan misalnya, saya juga menganggap penting, karena ada banyak studi empiris yang menyebut betapa pentingnya peran mereka dalam mengadvokasi masyarakat yang termarjinalkan atau yang berasal dari kalangan bawah.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST