Ikhtiar Menuju Kemuliaan

slider
08 Juni 2023
|
1697

Allah SWT Mahakuasa memuliakan siapa pun yang Dia kehendaki. Kita sebagai hamba-Nya harus terus berikhtiar melakukan segala perbuatan yang disukai oleh-Nya.

Sebagai contoh, pertama, Allah SWT memuliakan orang-orang berilmu. Maka untuk meraih kedudukan ini kita harus giat belajar, karena ilmu tidak bisa diraih hanya dengan berpangku tangan.

Rasulullah saw bersabda, “Keutamaan seorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya (warisan ilmu), maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak” (HR. Tirmidzi).

Mari kita lihat bagaimana Allah SWT memuliakan Imam Bukhari sebagai pakar dan pengumpul hadis. Walau ia telah wafat beberapa abad yang lalu, tapi namanya tetap hidup karena karya dan kegigihannya dalam mempelajari serta mengumpulkan ratusan ribu hadis.

Perjuangan untuk mengumpulkan dan mempelajari satu hadis saja, Imam Bukhari harus menempuh perjalanan ribuan kilometer mengarungi gersangnya padang pasir. Di antara negeri yang pernah dikunjunginya ialah Negeri Syam (Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon), Mesir, Bhagdad, Kufah, serta Jazirah Arabia.

Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal itu dapat dilihat dari ayat pertama yang Allah SWT turunkan kepada Rasulullah Saw melalui Malaikat Jibril:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang telah diketahuinya” (QS. Al-’Alaq [96]: 1-5).

Pesan dari ayat ini ialah Allah SWT menginginkan agar manusia membaca, menelaah, mempelajari, dan merenungkan segala ayat atau tanda-tanda keagungan-Nya.

Elmu mah moal beurat mamawa. Sebuah istilah dalam Bahasa Sunda yang berarti bahwa ilmu tidak sulit dibawa oleh yang memilikinya.

Salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang bernama Abdurrahman bin Auf dapat menjadi contohnya. Ia adalah seorang pengusaha atau entrepreneur. Ia turut serta menemani Rasulullah Saw untuk hijrah ke Madinah. Rumah berserta harta kekayaannya ditinggalkan di Mekkah.

Namun hal itu tidak membuatnya hidup dalam kesengsaraan. Ilmu berwirausaha yang telah ia miliki, dipraktikkan di Madinah. Dalam wakktu yang relatif singkat, ia kembali menjadi saudagar kaya yang menggunakan hartanya untuk membantu Rasulullah Saw berjuang di jalan Allah.

Maka, investasi terbesar bagi seorang muslim ialah ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu hukumnya wajib. Berapa pun biayanya, sejauh apa pun jaraknya, hendaknya diikhtiarkan sebaik-baiknya. Jangan malu belajar kepada yang lebih muda. Jangan mudah pula berputus asa. Teruslah menuntut ilmu ketika raga masih bernyawa.

Kedua, Allah SWT juga memuliakan orang-orang yang mau melaksanakan salat Tahajud. “Pada sebagian malam lakukanlah salat Tahajud sebagai (suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji (QS. Al-Isra [17]:79).

Di saat banyak orang yang tidur dengan nyenyak, atau begadang untuk hal yang kurang manfaat, orang yang ingin dimuliakan Allah memilih bergegas bangun melaksanakan salat Tahajud.

Sekuat tenaga ia akan menahan rasa ngantuk dan malas. Tidak mudah menjalaninya. Namun bila kita serius bertekad melaksanakannya karena Allah, insya Allah akan ditolong Allah untuk dapat istikamah.

Ketiga, bersungguh-sungguh dalam birrul walidain, insya Allah akan mengundang pertolongan dan kemuliaan dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Bahagiakan kedua orangtua semasa hidupnya. Luangkan waktu untuk memberi kabar kepada mereka ketika sedang berjauhan. Berikan perhatian dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai kesibukan yang kita miliki membuat kita tak lagi peduli, bahkan enggan untuk berbakti.

Jangan sampai kita menyesal ketika tak ada lagi tangan mereka yang bisa kita cium, tubuh mereka yang bisa kita peluk, dan suara mereka yang teduh memberi maaf, nasihat, serta doa terbaiknya. Namun jika qodarullah mereka telah wafat, bakti kita kepada mereka masih dapat dilakukan melalui doa dan amal saleh.

Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtua ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Luqman [31]: 14).

Rasulullah Saw juga menempatkan ibu sebanyak tiga tingkat di atas bapak dalam hal bakti kepada keduanya, karena perjuangan seorang ibu untuk mengandung dan melahirkan anak ke dunia bukanlah perkara yang mudah, nyawa menjadi taruhannya.

Perjuangan seorang bapak juga patut dihargai. Kesehariannya diisi dengan berjuang menjemput rezeki, agar hanya yang halal yang dapat ia beri. Tanggung jawab penuh atas dunia akhirat keluarga ada dipundaknya, maka sudah selayaknya sebagai anak kita menghargai dan senantiasa berakhlak baik padanya.

Mudah-mudahan segala ikhtiar kita untuk ikhlas memuliakan kedua orangtua, membuat Allah SWT mengangkat derajat keduanya, juga menjadikan kita hamba-Nya yang Dia muliakan hingga ke surga-Nya.

Keempat, menebar manfaat. Rasulullah Saw bersabda, “Khairunnaas anfa’uhum linnaas, sebaik-baik manusia di antaramu ialah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, meraih kemuliaan dari Allah SWT dapat pula dilakukan dengan menjadi hamba-Nya yang banyak beramal saleh, sehingga bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya.

Bila ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana manfaat kita bagi sesama. Apakah termasuk manusia wajib, sunnah, mubah, makruh, atau bahkan haram?

Lalu, apa itu manusia wajib? Manusia wajib ialah ia yang kehadirannya senantiasa dirindukan. Budi pekertinya banyak memikat hati siapa pun yang mengenalnya. Ia tidak suka mengganggu orang lain, sehingga banyak yang merasa aman dekat dengannya.

Lisannya terjaga, sehingga tidak ada yang tersinggung apalagi merasa difitnah olehnya. Sikapnya penuh wibawa, penyabar, ramah, dan kalaupun ia harus marah, tentu marahnya karena Allah SWT.

Selanjutnya manusia sunnah. Ia memiliki hati yang tulus, suka melakukan sesuatu yang bermanfaat. Namun bila ia tidak ada, orang-orang tidak teralalu merasa kehilangan sebagaimana kepada manusia wajib.

Adapun manusia mubah yaitu ia yang kehadiran dan ketidakhadirannya tidak berpengaruh apa-apa bagi yang lain. Ia tidak memiliki dampak positif yang signifikan, sehingga yang lain tidak begitu peduli.

Kemudian manusia makruh. Ia yang keberadaannya justru membawa mudharat, atau manfaatnya lebih sedikit dari mudharatnya. Bila ia datang ke suatu tempat, orang lain akan merasa bosan dengan kedatangannya, bahkan mungkin merasa tidak suka karena ia kerap menimbulkan masalah.

Nah, yang terakhir manusia haram. Ia yang kehadirannya dianggap musibah, lalu ketidakhadirannya sangat disyukuri. Siapa kira-kira yang termasuk ke dalam manusia haram ini? Penjahat, pembuat onar, pejabat korup, penguasa zalim, dan lain-lain.

Maka sebaiknya kita meluangkan waktu untuk merenung, apakah kita termasuk manusia wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram? Mudah-mudahan kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia yang buruk budi pekertinya, buruk hubungan dengan sesama juga dengan Allah SWT yang menciptakan kita.

Mari berusaha untuk tidak diperbudak nafsu dan keinginan. Sebab memperturutkan hawa nafsu merupakan awal dari kenistaan dan jatuhnya kemuliaan. Jauhi perbuatan maksiat secara terang-terangan maupun saat sendirian. Sesungguhnya orang yang gemar bermaksiat dapat menghinakan dirinya di dunia dan akhirat, naudzubillah.

Gapailah kemuliaan dengan cara-cara yang Allah SWT sukai. Fokuskan niat melakukan kebaikan hanya karena dan untuk Allah, bukan untuk mengejar penilaian manusia semata.

Perbanyaklah bergaul dengan orang-orang yang mulia, baik karena ilmu maupun akhlaknya. Teruslah berharap agar Allah SWT berkenan memberikan kemuliaan kepada kita.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Cristi A. Sarif

Ibu Rumah Tangga, tinggal di Kota Bandung