Ibnu Rusyd: Pertemuan Filsafat dan Agama

slider
31 Maret 2020
|
3704

Ibnu Rusyd banyak dikenal sebagai tokoh filsafat dan tasawuf sekaligus. Kita boleh berbeda pandangan mengenai siapa Ibnu Rusyd, apakah beliau seorang filosof ataukah seorang sufi? Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang filosof tatkala melahirkan karya besarnya yang memberikan syarah terhadap pemikiran Aristoteles dan bukunya yang menyanggah sekaligus kritikan atas serangan Al-Ghazali terhadap filsafat.

Ibnu Rusyd mendapatkan pelajaran filsafat yang secara sanad dapat dikatakan jelas karena berasal langsung dari sumbernya yakni Yunani. Beliau sangat tertarik sekali dengan filsafat, sehingga terpesona oleh Aristoteles dan pandangan-pandangannya yang cukup luar biasa. Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwasanya Aristoteles adalah yang dimaksud firman Tuhan dalam QS Ali Imran ayat 73 yang artinya, “Anugerah itu di tangan Tuhan diberikan kepada orang yang disukainya”.

Menurut Ibnu Rusyd, Aristoteles adalah sumber ilmu dan keutamaan serta merupakan manifestasi akal manusia idaman yang dekat dengan akal universal (akal Tuhan). Ibnu Rusyd juga memberikan ulasan-ulasan terhadap karangan-karangan Aristoteles. Sehingga beliau mendapatkan gelar oleh Dante dalam Divina Commedia-nya (Komedi Ketuhanan) sebagai pengulas Aristoteles (Syarih Aristo).

Dalam kitabnya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, Ibnu Ruysd sangat menyayangkan terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin menjadi beberapa golongan seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan Ahli Hadis Hasywiyyah. Masing-masing mengaku telah mencapai kebenaran, sedangkan lainnya sesat. Hal tersebut dikarenakan salah memahami maksud syariat.

Dengan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapatnya tersebut, Ibnu Rusyd tidak bermaksud membuat golongan baru, akan tetapi hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi kepercayaan-kepercayaan agama yang tepat diterima oleh setiap orang. Hal tersebut dikarenakan sebagian orang beranggapan bahwa filsafat itu berlawanan dengan kepercayaan dan nash-nash agama.

Tentu anggapan tersebut di atas bagi Ibnu Rusyd adalah salah, dikarenakan mereka tidak memiliki pedoman dalam menakwilkan nash-nash agama yang disebut mutsyabihat. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki metode dan hakikat filsafat yang memungkinkannya dipertemukan dengan kepercayaan-kepercayaan Islam. Dalam hal ini, menurut Ibnu Rusyd, cara mempertemukannya adalah dengan menafsirkan kepercayaan-kepercayaan Islam dengan tafsirannya yang diterima dan diharuskan akal.

Untuk pertemuan agama dan filsafat, terutama filsafat, Aristoteles sudah dapat membuktikan kebenaran-kebenarannya dengan alasan-alasan logis, maka dari itu pertentangan antar kaum muslimin sendiri bisa dihapuskan. Namun menurut Ibnu Rusyd, pemikiran-pemikiran atau argumentasi-argumentasi untuk mempertemukan agama dan filsafat tidak perlu diberitahukan (dikemukakan) kecuali kepada orang-orang tertentu yang dianggap sanggup menerimanya.

Untuk mendapatkan titik temu antara filsafat dan agama, alangkah baiknya kita pahami terlebih dahulu kritik Ibnu Rusyd mengenai tiga butir persoalan yang dituliskan oleh Al-Ghazali di dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Pertama, bahwa alam semesta ini adalah qadim atau kekal tanpa permulaan. Kedua, bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang besar dan tidak mengetahui hal-hal yang kecil. Ketiga, bahwa di akhirat kelak yang dihimpun hanyalah ruh manusia bukan jasadnya.

Berikut ini adalah argumentasi Ibnu Rusyd. Pertama, mengenai filsafat kekekalan alam, Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa pendapat kaum teolog mengenai dijadikannya alam dari ‘tiada’ tidak berdasar pada argumen syariat yang kuat. Menurut Ibnu Rusyd, tidak ada ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan pada awalnya berwujud sendiri, yakni tidak ada wujud selain wujud-Nya, dan baru setelah itu alam diciptakan.

Lebih lanjut Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an mengungkapkan alam dijadikan bukan dari ‘tiada’, namun dari dari sesuatu yang telah ada sebelum alam mempunyai wujud. Maka dari itu, Ibnu Rusyd berpegang teguh pada ayat 48 surat Ibrahim. Menurutnya, bahwa alam itu betul diciptakan, namun diciptakan dalam penciptaan terus-menerus. Dalam artian bahwa alam itu kekal.

Kedua, mengenai bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam, bagi Ibnu Rusyd mengungkapkan Al-Ghazali salah paham, dikarenakan tidak pernah kaum filosof mengungkapkan hal demikian. Menurut Ibnu Ruysd, kaum filosof mengungkapkan bahwa pengetahuan Tuhan mengenai perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia mengenai perincian tersebut.

Lebih lanjut Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia mengambil bentuk efek atau dampak, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebuah sebab, yakni sebab terhadap terwujudnya perincian.

Ketiga, mengenai kebangkitan jasmani tidak ada dan yang ada hanyalah kebangkitan ruhani. Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa hanya bagi orang awam persoalan pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dikarenakan jasmani bagi filosof lebih mendorong untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik.

Dalam sejarahnya dikarenakan Ibnu Rusyd berusaha membuktikan kebenaran Allah melalui hukum kausalitas yang tidak dapat diterima begitu saja oleh para fuqaha, maka dalam hal ini terjadilah tuduhan kontroversial terhadap pemikirannya. Menurut Ibnu Ruysd, tidak ada sesuatu yang ada tanpa sebab. Semua sebab beraturan hingga sebab pertama, yakni proses penciptaan alam semesta, atau sebab penciptaan yang selalu bergerak dan terus menerus berganti.

Menanggapi beberapa tuduhan yang disematkan kepada Ibnu Rusyd, ia mencoba meyakinkan bahwasannya warisan pemikiran Yunani tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan kemungkinan untuk dapat menggabungkan  di antara keduanya sangat besar. Ibnu Rusyd berkata, “Sesungguhnya hakikat kebenaran itu hanya satu, manusialah yang menggambarkan bentuknya menjadi bermacam-macam”.

Dari ungkapan Ibnu Rusyd tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap filsafat sangat diperlukan terutama untuk melengkapi pemahaman kita terhadap realitas kehidupan yang diciptakan oleh Allah Swt.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

A. Fikri Amiruddin Ihsani

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Gusdurian Surabaya