Hilda dan Citra Pesantren
Akhir-akhir ini pesantren sedang diguncang dengan beberapa kasus kekerasan seksual. Mulai dari kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pengasuh pesantren terhadap santrinya, kasus pencabulan yang dilakukan oleh pengasuh yang diiming-imingi keberkahan kiai, dan kasus pelecehan seksual dengan iming-iming uang saku. Dari beberapa kasus tersebut hampir semuanya terjadi di lingkungan pesantren dan dilakukan oleh para pemilik otoritas pesantren yakni pengasuh dan jajaran pengurus.
Pertama kasus pencabulan hingga melahirkan yang dilakukan oleh yayasan pondok pesantren di Bandung. Kasus ini memakan korban 14 orang santri. Kedua, kasus perkosaan yang dilakukan oleh guru agama dengan total korban 15 orang. Ketiga, kasus pelecehan seksual di Ogan Hilir Sumatera Selatan yang dilakukan oleh pengasuh pesantren dan tercatat ada 26 korban santri laki-laki. Keempat, kasus pelecehan seksual di pesantren Trenggalek yang dialami oleh 20 orang santri.
Kelima, pencabulan yang dilakukan oleh pengasuh pesantren dan tercatat ada 15 orang korban. Keenam, kasus pencabulan yang dilakukan oleh pengasuh yang bermotif iming-iming keberkahan kiai. Ketujuh, kasus pelecehan seksual yang dialami 15 orang santri di Aceh. Kedelapan, kasus pencabulan yang terjadi di Pinrang.
Berdasarkan ringkasan di atas, penulis menduga bahwa masih banyak lagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan hingga pesantren sekalipun. Sulitnya korban untuk speak up disebabkan karena timpangnya relasi kuasa dan regulasi yang tidak sepenuhnya memihak korban.
Tingginya lonjakan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, menurut Siti Aminah selaku Komisioner Komnas Perempuan, pesantren menempati urutan kedua setelah universitas terkait kasus kekerasan seksual sepanjang periode 2015-2020. Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren melahirkan babak baru ketika pesantren juga mendapat pandangan stigma dan pandangan miring lainnya.
Menurut Direktur Diniyah dan Pendidikan Pondok Pesantren Kemenag Waryono Abdul Ghofur menegaskan untuk tidak mengeneralisir pesantren dan menstigmanya. Sebab nature pesantren merupakan niat tulus kiai untuk mencerdaskan santri dan menjadikan pesantren sebagai ruang aman bagi para pencari ilmu. Menteri Agama Yaqut Cholis juga merespons tingginya lonjakan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren, dengan mempertegas dan memperketat izin operasional lembaga pendidikan agama dan keagamaan (pesantren).
Mengingat Novel Hilda: Cinta, Luka, dan Perjuangan
Nature pesantren sebagai niat tulus kiai untuk memberikan ruang pendidikan bagi para pencari ilmu dan sebagai ruang aman untuk mencari ilmu sudah seharusnya dijadikan sebagai landasan bagi seluruh civitas. Fenomena ini mengingatkan penulis dengan alur cerita di dalam kisah Hilda yang tertuang di dalam novel Hilda: Cinta, Luka, dan Perjuangan (2020) karya Muyassarotul Hafidzoh. Novel ini menceritakan tentang pengalaman buruk seorang penyintas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Muyas (panggilan akrab), latar belakang novel Hilda diangkat dari fenomena ketimpangan sosial yang ada di Indonesia. Mulai dari ketidakberpihakan lembaga pendidikan pada korban kekerasan seksual, stigma perempuan nakal yang mengalami perkosaan, serta ketidakadilan putusan sekolah dalam memberikan hukuman.
Hilda merupakan korban perkosaan hingga mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh teman kelasnya di sekolah. Dalam perjalanan untuk memperoleh keadilan, Hilda dan keluarga banyak mendapatkan stigma negatif dari masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Tidak hanya itu, Hilda juga dianggap sebagai aib sekolah yang membuatnya harus menelan keputusan pahit untuk dikeluarkan dari sekolah. Walaupun ada salah seorang guru yang mencoba membantu Hilda, tetapi guru tersebut tidak cukup kuat untuk membantu Hilda karena minimnya pemahaman terkait isu gender dan seksual.
Hilda sebagai korban kekerasan seksual yang seharusnya mendapatkan keadilan baik di lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya ternyata tidak dapat terpenuhi sepenuhnya. Pelaku yang seharusnya mendapatkan hukuman setimpal justru masih diberikan angin segar untuk hidup bebas, bahkan sang pelaku dapat melanjutkan sekolahnya hingga lulus.
Di samping trauma fisik,terganggunya mental dan dampak lain yang dialami korban kekerasan seksual, pihak sekolah sudah seharusnya memperhatikan dan mengasesmen lebih terkait apa yang dialami oleh siswanya. Bukan malah menjustifikasi korban dan menganggapnya sebagai aib.
Titah lembaga pendidikan seharusnya memberikan ruang aman bagi para pencari ilmu. Pendidikan menjadi salah satu modal untuk meningkatkan kecerdasan dan kualitas bangsa. Menurut Muyas, pesantren menjadi salah satu ruang aman ketika mencari ilmu dan melanjutkan pendidikan bagi penyintas kekerasan seksual. Mengapa demikian? Kembali lagi kepada nature pesantren yang disebut sebagai tempat aman dari niat baik dan tulus kiai untuk memberikan ilmu dan memberikan ruang bagi para pencari ilmu. Bukan malah sebaliknya.
Citra pesantren yang digambarkan di dalam novel Hilda menjadi salah satu gambaran yang harus diperhatikan dan ditiru saat pesantren menjadi ruang aman bagi siapa pun yang ingin mencari ilmu. Dengan beragam latar belakang keadaan sosial, ekonomi dan pengalaman lainnya, pesantren memiliki keterbukaan untuk menerima hal itu. Kasus-kasus kekerasan seksual yang menodai pesantren mutlak sebagai kesalahan para pelaku, saat tindakan amoral tersebut disebabkan adanya relasi kuasa antara guru dan murid.
Kisah novel fiksi Hilda berhasil menyembuhkan luka dan trauma atas pengalaman kelam pada masa lalu pesantren betul-betul menjadi obat dan ruang aman bagi penyintas kekerasan seksual. Figur Bu Nyai yang memberdayakan para santrinya dengan membekali ilmu agama, membebaskan para santri untuk mencari pengalaman, keterbukaan pesantren dengan isu perempuan menjadi salah satu semangat Hilda untuk sembuh dan melanjutkan hidupnya. Seperti inilah wajah pesantren, memanusiakan manusia tanpa ada relasi kuasa yang timpang dan kekerasan seksual.
Sebagai Akhir ...
Refleksi dari kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di institusi pendidikan agama, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, memastikan lembaga pendidikan sebagai ruang aman bagi para pencari ilmu dengan tidak membatasi kegiatan bagi para pelajar. Artinya, lembaga pendidikan mendukung penuh kegiatan murid selama kegiatan tersebut positif. Kedua, lembaga pendidikan harus terbuka dengan isu gender dan seksual agar seluruh civitas akademika memahami isu-isu tersebut secara mendalam dan terjauhkan dari bentuk-bentuk kekerasan.
Selain itu, ketiga, mendirikan lembaga advokasi di lingkungan lembaga pendidikan. Tujuannya agar ada ruang aman bagi korban untuk mengadukan hal-hal negatif yang dialaminya selama masa pendidikan serta mengadvokasikan isu-isu sosial dan keagamaan lainnya. Selain itu, bagi para calon wali santri harus lebih memperhatikan sanad atau sejarah pesantren yang dituju sebelum mendaftarkan anaknya ke dalam lembaga pendidikan pesantren.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST