Henri Bergson: Antara Ingatan dan Intuisionisme

23 Maret 2019
|
1678

Rabu, 20 Maret 2019, pukul 20:00-22.00 WIB, tema Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman masih seputar tema Filsafat Barat Lagi. Jika sebelumnya membahas Rene Descartes, kali ini membahas pemikiran filsafat Barat Henri Bergson dengan jargon intuisionisme. Saya begitu menikmati, seperti di ngaji-ngaji sebelumnya, penjelasan demi penjelasan dari Dr. Fahruddin Faiz mengenai Henri Bergson. Kenikmatan terbesar salah satunya adalah saya bisa menangkap beberapa point penting terkait pemikiran filsafat Bergson. Henri Bergson merupakan filosof Perancis. Ia lahir di Paris pada 18 Oktober 1859 dan meninggal tahun 1941 pada umur 81 Tahun. Sebagian besar hidupnya dihabiskan sebagai┬á seorang dosen dan penulis. Selain itu ia juga pernah mendapatkan Nobel Sastra pada tahun 1927. Aliran filsafatnya lebih dikenal sebagai filosofi kontinental. Henri memiliki gagasan-gagasan penting yang tidak bisa kita lewatkan. Satu di antaranya adalah terkait intuisi. Intuisionisme boleh dikatakan sebagai antitesis dari pemikir sebelumnya, Rene Descartes, dengan skeptisismenya, yang mengandalkan kerja rasional dalam mengejar epistem ilmu pengetahuan. Intuisionisme ini lebih berpijak pada sisi intuisi. Dalam catatan saya, ada beberapa point penting yang ingin disampikan oleh Bergson. Pertama, tentang moral tertutup dan moral terbuka. Kesalahan orang dalam memetakan kedua jenis moral ini tidak jarang menyebabkan truth claim. Bagi masyarakat yang mengedepankan moral tertutup biasanya sangat defensif mempertahankan identitas sendiri. Moral tertutup lebih bersifat statis. Sementara moral terbuka malah lebih cair dengan realitas yang plural. Moral terbuka juga mudah beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Kedua bentuk moral masyarakat tersebut bagi Bergson sama-sama penting. Oleh karena pentingnya, kita perlu menjembatani kedua model moral tersebut dengan rasionalitas. Kedua moral ini penting karena masyarakat tidak harus ngotot dengan kebenaran inheren saja, moral terbuka juga harus hati-hati manakala terlalu fleksibel karena terkesan seakan-akan tidak memiliki pendirian. Jika keduanya itu tidak dijembatani yang lahir malah perilaku-perilaku kaku, dalam istilah Bergson yakni mekanistik. Kedua, emosi normal dan emosi kreatif. Sejauh penilaian saya, pemikiran Bergson dalam hal ini out of the box. Apa saja ia sentuh dengan cara berpikir yang tidak biasa. Ya, ini memang sangat kreatif. Termasuk membagi emosi ini bagi saya juga cukup kreatif. Bagi Bergson cara seseorang menyikapi masalah yang terkait dengan hal-hal emosional ada yang normal dan juga kreatif. Saya ambil contoh ketika seseorang sedang jatuh cinta. Bagi Bergson, yang melibatkan emosi normal, jatuh cinta itu hanya sekedar jatuh cinta, atau dalam kritik Erich Fromm dalam The Art of Love (1956) bahwa jenis cinta yang reseptif atau bersikap pasif. Sementara ada orang yang sedang jatuh cinta yang dengan daya cinta tersebut melahirkan tindakan kreatif. Karena jatuh cinta akhirnya dia menjadi sosok yang puitis yang melahirkan karya-karya kreatif. Ini juga sejalan dengan apa yang Erich Fromm sebut di dalam buku The Art of Love sebagai cinta yang memberdayakan. Nah bagi Bergson itu adalah emosi kreatif. Terakhir, ingatan dan materi. Kedua hal itu merupakan salah satu elemen penting yang memicu lahirnya intuisi. Bergson mencoba menjelaskan epistem intuisi itu secara ilmiah. Ia sadar bahwa intuisi itu tidak lahir secara tiba-tiba. Intuisi itu tidak lahir dari ruang kosong. Kemudian dari mana intuisi itu hadir? Sejauh yang saya pahami dari penyampaian Fahruddin Faiz bahwa intuisi itu lahir dari materi dan ingatan zaman yang dulu pernah kita jumpai secara langsung maupun tidak langsung. Dalam istilah Sigmund Freud barangkali ini masuk dalam kategori pikiran sadar dan bawah sadar. Ingatan itulah, baik langsung maupun tidak langsung, yang mendorong hadirnya intuisi. Misalnya dulu pernah ada seorang teman bertamu ke kos kita meminta bantuan. Di lain waktu ada lagi teman kita yang lain datang bertamu dengan segala simbol dan tanda yang sama seperti teman yang kemarin dulu. Kita kemudian menerka jangan-jangan ia datang untuk meminta tolong sesuatu seperti halnya teman yang kemarin dulu. Padahal teman yang tadi itu belum menceritakan maksud dan tujuannya. Ternyata memang, benar. Jadi artinya bahwa unsur pemicu intuisinya adalah ingatan dan materi dari kejadian sebelumnya. Ketiga poin di atas merupakan sebagian dari catatan Ngaji Filsafat saya. Tentu untuk lebih jelasnya kita bisa menggali lebih dalam dari rekaman ngaji secara utuh. Tentunya juga tidak berhenti di situ untuk mengelaborasi pemikiran Bergson, kita bisa membaca secara langsung tulisan Henri Bergson sendiri.  

Youtube MJS Channel: Ngaji Filsafat 223 : Henri Bergson - Intuisionisme


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ismail

Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Santri Ngaji Filsafat