Hamka, Tasawuf, dan Kemerdekaan Indonesia
Bendera merah putih berkibar dengan bebas dan gagah adalah manifestasi dari kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan tak mungkin diraih tanpa adanya semangat nasionalisme yang kuat. Selain rasa senasib, sebangsa dan setanah air, kuatnya semangat nasionalisme dipengaruhi oleh kepekaan spiritual terhadap penjajahan yang terjadi. Kepekaan spiritual inilah yang menjadi pintu masuk perlawanan Islam sebagai agama yang memiliki aspek spiritual.
Spiritual dalam Islam adalah aspek yang penting. Hal ini dibuktikan dengan eksisnya pengetahuan dan praktik tasawuf yang dilakukan oleh tokoh-tokoh penting kemerdekaan, salah satunya adalah H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Berbeda dengan para sufi pada umumnya, tasawuf Hamka dikenal tidak melulu soal olah batin yang terlalu ekstrem, melainkan tidak lupa dengan keadaan sekitarnya, dalam konteks penjajahan yang dilakukan Belanda pada saat itu.
Tulisan ini setidaknya akan menjawab dua pertanyaan. Pertama, seperti apa corak tasawuf yang dirumuskan oleh Hamka? Kedua, bagaimana tasawuf tersebut dapat digunakan sebagai penunjang kemerdekaan? Dua pertanyaan ini sangat penting dalam merefleksikan kebermaknaan kemerdekaan Indonesia, khususnya ketika ditinjau dari aspek tasawuf. Secara tidak langsung tulisan ini membahas hubungan antara tasawuf dan kemerdekaan.
Mengenal Hamka
H. Abdul Malik bin Abdul Karim bin Amrullah atau yang biasa dikenal dengan Hamka adalah salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Ia lahir pada 17 Februari 1908, 37 tahun sebelum Indonesia merdeka. Ayahnya yang bernama Syaikh Abdul Karim bin Amrullah adalah seorang pelopor Gerakan Islah (Tajdid) di Minangkabau.
Hamka adalah seorang pelajar ulung. Dengan bermodal bahasa Arab serta kematangannya dalam agama Islam, ia menjelajahi segala pengetahuan yang ada, termasuk filsafat, sastra, sejarah, politik, sosiologi, dan lainnya secara otodidak melalui buku bacaan, baik yang berasal dari Islam dan Barat. Selain membaca buku, ia juga bertukar pikiran dengan para pemikir lainnya, misalnya dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Raden Mas Surjopranoto.
Selain belajar, Hamka menumpahkan apa yang dipelajari pada kegiatan sosial keagamaan dan pendidikan, bahkan politik dalam hal ini kemerdekaan Indonesia. Dalam kegiatan sosial keagamaan dan pendidikan, Hamka adalah salah satu tokoh Muhammadiyah yang sangat berpengaruh—secara struktural—dengan menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo pada 1928, Ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang, terakhir penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 1953. Selain di Muhammadiyah, Hamka pernah menjadi pegawai negeri di Kementerian Agama pada 1950.
Sementara dalam kegiatan politik, dimulai ketika masuk ke partai politik Serikat Islam sebagai anggota, sekaligus membuka pintu perlawanan terhadap kebijakan kolonial Belanda. Salah satu perlawanan yang dilakukan oleh Hamka kepada Belanda adalah ketika ia berpidato mengenai penentangan kembalinya penjajah Belanda yang membonceng Sekutu ke Indonesia dan ikut dalam gerilya di hutan Medan.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Hamka adalah pejuang kemerdekaan yang berlandaskan spiritual Islam dalam segala tindakannya. Lalu faktor apa yang menjadikannya sebagai sosok yang sangat teguh dan berprinsip seperti itu? Jawabannya ada dalam buku Tasawuf Modern.
Tasawuf Modern Hamka
Pada awalnya Tasawuf Modern ini adalah berupa tulisan terpisah yang rutin dimuat pada rubrik majalah Pedoman Masyarakat. Kemudian setelah banyak permintaan untuk dibukukan, akhirnya tulisan Tasawuf Modern disusun dan dibuat menjadi buku. Tulisan-tulisan Hamka tentang “bahagia”, disusun oleh Hamka mulai pertengahan 1937 sampai 1938 pada majalah Pedoman Masyarakat untuk memenuhi permintaan Tuan Oei Ceng Hien, mubaligh terkenal asal Bintuhan.
Dalam buku Tasawuf Modern, Hamka merujuk kepada tulisan-tulisan dari para ulama seperti kitab Ihya ‘Ulumuddin, Arba’in fi Ushuluddin, Bidayah al-Hidayah, dan Minhajul ‘Abidin, karya Imam al-Ghazali; juga kitab Mau‘izatul Mu’minin, Ringkasan Ihya Ulumiddin oleh Jamaluddin al-Dimasqy, Tahdzibul Akhlaq karya Ibnu Maskawaih, beberapa risalah Ibnu Sina, Tafsir Mohammad Abduh, Raddu’ alad Dahriyin karya Jamaluddin al-Afghany, al-Khuluqul Kamil karya Muhammad Ahmad Jad al-Maula, Hayatu Muhammad dan Fi Manzilil Wahyi karya Dr. Husain Haikal, kumpulan majalah al-Hilal, kumpulan majalah Azhar, Adabud Dunya Wad Din karya al-Mawardi, Thaharatul Qulub karya ad-Darini ash-Shufi, Riyadhus Shalihin karya an-Nawawi, dan lain sebagainya.
Menurut Hamka, “Hidup kerohanian, hidup kebatinan atau tasawuf, sudahlah lama umurnya dan telah ada pada setiap bangsa. Kadang-kadang tasawuf menjadi tempat pulang dari orang yang telah payah berjalan. Tasawuf menjadi tempat lari dari orang yang telah terdesak. Tetapi pun tasawuf telah menjadi penguatkan pribadi bagi orang yang lemah. Dan tasawuf pun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang yang telah kehilangan tempat tegak.”
Hamka melanjutkan, “Seketika bangsa Indonesia terjajah 350 tahun, kebanyakan ummat lari ke dalam tasawuf. Jika keduniaan telah diborong belaka oleh pihak musuh, maka ummat mencari kebahagiaannya di dalam perasaannya sendiri, dalam membina kebahagiaan jiwanya sendiri. Tetapi apabila pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia, sebagai Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Cik Di Tiro, dan lain-lain hendak melawan kekuasaan penjajahan yang sangat besar dan kuat, maka dengan tasawuflah mereka memperkuat jiwanya. Salah satu ajaran tasawuf ialah Al-mautu ayatul hub bishshadiq (Mati adalah alamat cinta yang sejati).”
Kemerdekaan Indonesia sebagai Jihad Spiritual
Menyerah dan berjuang adalah hal yang saling berseberangan. Sayangnya, sikap menyerah dalam Islam ini selalu dikaitkan dengan tasawuf. Misalnya para sufi yang pasrah dan meninggalkan dunia. Sementara berjuang dikaitkan dengan fiqh yang saklek dan menekankan keduniaan. Penghakiman seperti inilah yang membuat kedaunya terkesan bermusuhan.
Dalam keadaan yang bermusuhan, Hamka mencoba mendamaikan keduanya, yaitu dengan pemikiran tasawuf modernnya. Ia menekankan titik tengah di antara kedua hal ini. Keduanya sama-sama penting dan berhubungan, tak ada yang disingkirkan lagi dicampakkan.
Menurut Hamka dalam Tasawuf Modern, tasawuf yang benar adalah sebatas pemurnian perilaku serta hati terhadap sesuatu yang tercela. Ia menegaskan juga perilaku tasawuf yang membuat lemah—maksudnya menyerah—itu bukan dari pelajaran Islam. Karena Islam sesungguhnya mengajarkan setiap individu untuk berjuang dan bersemangat, tidak melempem. Islam tidak menyeru untuk meninggalkan dunia secara total. Melainkan, menyuruh untuk mencari rezeki, mengatur alam dengan keadilan, serta mencapai kemuliaan dalam perjuangan hidup sebuah bangsa (Hamka 1961. 19).
Hamka mengibaratkan bertasawuf itu seperti yang dilakukan pada zaman Nabi Muhammad Saw hidup. Semua orang Islam adalah sufi. Dengan artian sebatas memurnikan perilaku serta hati dari perbuatan tercela. Sehingga yang didapatkan adalah perilaku yang terpuji, berakhlak tinggi, sanggup menahan hawa nafsu, berperang di jalan Allah dengan tanpa rasa takut. Setelah melakukan pemurnian tersebut timbul kemakrifatan kepada Allah yang berujung pada kebahagiaan sempurna. Untuk mencapai ke sana tidak cukup hanya dengan pemurnian saja, akan tetapi dibarengi dengan pelaksanaan amalan lahir yaitu fiqh individu maupun masyarakat (Hamka 1961. 20).
Hamka adalah pelaku tasawuf yang modern atau yang sekarang disebut dengan neo-sufisme. Hal ini dikarenakan, tasawufnya yang sifatnya tidak ekstrem dan mengintegrasikan terhadap syariat atau fiqh. Meskipun begitu ia masih melakukan praktik tasawuf, dalam artian sebatas penyucian lahir dan batin terhadap segala sesuatu yang tercela.
Musuh tasawuf adalah sesuatu yang tercela, merusak, tidak pantas dilakukan, termasuk penjajahan. Penjajahan adalah perilaku yang melanggar hak asasi manusia, sekaligus suatu bangsa yang dijajah. Demi mendapatkan kebahagiaan, kemerdekaan harus ditegakkan.
Hamka memang menekankan untuk kemerdekaan Indonesia, namun yang diinginkan jauh lebih dari negeri ini terbebas dari penjajahan Belanda dan Jepang. Dengan tasawuf, tujuan awalnya bukan sekadar kepada sebuah lembaga, bangsa dan negara, akan tetapi bahagia makrifat. Bahagia secara keseluruhan, bukan secara partikular.
Jihad spiritual adalah jalan yang sudah Hamka lakukan. Ia menawarkan perlawanan yang tidak melulu soal kepentingan politik. Ia memperjuangkan kebahagiaan yang sejati. Untuk menempuh kebahagiaan sejati itu dengan cara yang sejati juga, yakni dengan penyucian diri dari segala hal yang tercela. Penyucian ini tidak hanya pada diri sendiri, akan tetapi bersama-sama. Bukan hanya pada lingkup individu, tetapi secara bermasyarakat.
Sekarang, Indonesia telah mendapatkan kebahagiaan, yakni kemerdekaan yang dimimpikan oleh para pahlawan, termasuk Hamka. Pengusiran para penjajah dari bumi pertiwi tercinta adalah akhir, sedangkan awal bagi kita rakyat Indonesia untuk mencapai kebahagiaan yang sejati itu.
Dalam momen bulan kemerdekaan ini, sudah selayaknya kita sebagai rakyat untuk bersyukur sekaligus berikhtiar. Bersyukur terhadap kemerdekaan Indonesia serta berikhtiar untuk memerdekakan rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Referensi:
Hamka. 1961. Tasawuf Modern. Jakarta: Penerbit Djajamurni.
Ngaji Filsafat 477: Buya Hamka - Tasawuf Modern edisi Neo-Sufisme bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 30 Juli 2025.
Category : keislaman
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-8 Desember 2024