Gunung Api, Mbah Rono dan Sunatullah

25 Oktober 2017
|
1049

ÔÇ£Kamu sama alam duluan mana?ÔÇØ Surono (Kepala PVMBG)
Siang itu saya merasa bosan ketika mendengarkan 'ceramah' tentang hoax dan bagaimana cara mengatasinya. Cara mengatasi hoax paling tidak saya sudah tahu. Karena terjadi pengulangan materi yang dilakukan oleh pembicara, itu yang menjadikan saya males untuk mendengarkanya. Situasi itu bertahan hingga siang hari. Namun setelah makan siang, talkshow dalam rangkaian Merapi Volcano Expo 2016, menjadi lebih segar, karena kedatangan tamu spesial yaitu Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono. Sesuatu yang mengejutkan, beliau bisa menyempatkan mampir ketika agenda beliau padat. Maklum orang penting. Dari pemaparan yang berhimpitan dengan curhatnya Mbah Rono siang itu, saya dapat banyak menangkap pengetahuan terkait kegunungapian. Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan mengemukakan semuanya, hanya sekedar berbagi dari sejauh apa yang bisa saya tangkap dan ungkapan kembali. Kita tahu, Indonesia dikepung oleh lempeng benua dan lempeng samudra secara bersamaan. Ada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Lempeng-lempeng tersebut, menurut Mbah Rono, bersifat menarik benua dan samurdra yang mewakilinya. Adanya tumbukan lempeng benua itu menjadikan Indonesia kaya akan gunung api yang berjajar dari Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi dan memanjang ke utara hingga Filipina dan Jepang, yang menurut para ahli disebut ring of fire. Banyaknya gunung api ini dapat membawa manfat sekaligus bencana. Manfaat gunung api ada banyak. Setidaknya ada empat yaitu penyedia air, makanan, cahaya atau energi dan ruang kehidupan. Keempat hal itu disediakan oleh gunung. Tinggal bagaimana manusia memanfaatkanya secara bijak untuk kesentosaan umat manusia. Hutan di sektiar gunung menyediakan suplai air bagi siapa saja yang membutuhkan dan tanpa membedakan. Air merupakan elemen penting untuk kehiduapan makhluk hidup. Gunung dengan hutan yang rimbun memberikan back up air yang memadahi untuk segala musim. Selain itu hutan gunung juga menahan erosi air hujan, menyerap kemudian mengeluarkan suplai pada musim kemarau. Dalam silkus demikian, selama hutan itu dijaga, manusia tidak akan kekuranan air untuk sekedar bertahan hidup sampai anak cucu. Tapi kita juga tahu, bahwa kerusakan alam adalah akibat ulah tangan manusia maupun pihak-pihak yang ngoyo memburu keuntungan sebesar-besarnya: wong-wong kedunyan. Lebih dari sekedar mengerti Manusia dan gunung berapi maupun alam secara keseluruhan, mempunyai sifat untuk ingin dipahami segala geraknya. Dalam paparanya, Mbah Rono mengatakan bahwa setiap kejadian alam itu pasti ada tanda-tandanya. Hal itulah yang coba dikatakan oleh Mbah Rono kepada kami. Beliau memperlebar pandangan kami tetang bencana. Beliau bercerita tentang gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, dengan perspektif yang berbeda. Gempa itu sebenarnya tidak membunuh manusia, mosok dengan goyangannya bisa membunuh manusia? Itu tidak mungkin. Yang membunuh dari gempa bumi adalah material yang jatuh mengenai tubuh kita, itu yang membuat gempa menimbulkan korban. Tsunami? Juga sama. Akibat gelombang air yang membawa benda-benda itu yang membunuh kita. Tanah longsor? Pada dasarnya tanah bergerak mencari keseimbangan, maka dari itu timbullah longsor. Banjir? Sejak kapan banjir memakan korban? Hanya manusia yang kurang peka akan tanda-tanda alam yang tersaji yang akhirnya menimbulkan korban. Timbulnya banjir terkait erat dengan keadaan hutan. Makanya jangan salahkan air yang pada sifatnya mengalir dari atas ke bawah, menghayutkan karena di dalam air ada tekanan. Tetapi lihatlah kondisi hutan, erat kaitanya di situ. Ada cerita lucu tentang banjir yang terjadi beberapa waktu lalu di Jawa Barat. Mbah Rono dipanggil ke sana untuk menjadi dewan penasihat dari dinas terkait untuk menanggulangi banjir yang terjadi. Dan dalam kejadian itu pemeritah berencana untuk merevitalisasi sungai, yang memakan dana yang tidak sedikit. Mbah Rono curhat, dengan melontarkan pertanyaan begini: ÔÇ£Duluan mana alam dibanding manusia?ÔÇØ. Para hadirian glagepan mendengar pertanyaan tersebut. Selain itu Mbah Rono mencium adanya proyek manipulasi yang akan dilaksanakan oleh dinas terkait. Alih-alih ingin merevitalisasi aliran sungai malah ingin mengeruk keuntungan dari pembangunan proyek! Wong, kok, moto duiten. Ada juga cerita lucu tentang seminar penanggulangan kebencanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Seminar yang diikuti para kepala anggota dewan yang terhormat dilaksanakan di hotel bintang lima dengan fasilitas yang super mewah. Ketika itu Mbah Rono juga mengatakan bahwa seminar itu pakai dasi dan makan roti. Beliau sebanarnya tidak menghendaki yang seperti itu. Beliau menghendaki seminar yang sedh├¬ngan saja dan tepat sasaran. Eh.. tak dinyana, selang dua bulan para anggota dewan terhormat itu di-reshuffle. Lah, apa gunanya ngadain seminar? Pada letusan Merapi tahun 2010, Mbah Rono ibarat dokter yang menangani pasien, ditakdirkan untuk menangani pasien bernama Merapi. Dokter diberi alat bermacam-macam untuk mendiagnosis penyakit pasien secara komprehensif agar dapat disembuhkan penyakitnya. Sama halnya dengan kasus gunung api ini. Mbah Rono dan seluruh staffnya dengan alat-alat lawas memprediksi bahwa letusan kali ini (2010) lebih besar dari letusan 2006 ataupun sebelumnya. Benar saja, yang dulunya (sebelum 2010) radius evakuasi hanya 10 Km, kini menjadi dua kali lipat, menjadi 20 Km jarak aman. Menurut orang awam hal ini tidak masuk akal dan menganggap Mbah Romo ngelantur alias mengada-ada. ÔÇ£Ah paling seperti yang duluÔÇØ begitu pikir mereka. Akibat yang timbul, menyulitkan proses pengungsian. Perubahan radius pengungsian dari 10 Km ke 20 Km dalam waktu kurang dari 3x24 jam menyulitkan pembuatan dapur umum. Tapi untunglah para pengungsi itu ndilalah mau. Waktu itu hanya 35 jam sebelum letusan terjadi. Dengan sigap Mbah Rono mengabarkan SKPD terkait agar mengevakuasi masyarakatnya secara perlahan. Mbah Rono saat itu tidak memberitahukan akan letusan Gunung Merapi kepada masyakarakat luas karena takut menimbulan kekisruhan di masyarakat. Benar saja, pagi Merapi meletus. Radius aman 20 Km sebagai jarak aman terpenuhi karena awan panas mencapai radius 17 Km ke arah selatan. Memang Merapi meletus lebih dahyat dari letusan yang pernah terjadi sebelumnya. Sebagai pembading adalah dua letusan sebelum hari itu, yaitu tahun 2006 dan 2004. Melihat grafik yang tersaji, saya kaget, grafik warna merah yang menunjukkan dahsyat letusan 2010 itu lebih dari tiga kali tingginya jika dibandingkan dengan 2006 dan 2004. Perlu diketahui grafik letusan 2004 dan 2006 menunjukan grafik yang sama, mungkin karena itu para masyarakat agak skeptis menanggapi perintah Mbah Rono terkait dengan perluasan jarak yang dilakukan. Sebenarnya alam itu juga perlu dimengerti, ada saat-saat manusia harus menyingkir untuk penganugerahan kesuburan baru yang dilakukan Tuhan lewat gunung api. Dengan adanya gunung api yang menyumbang kesuburan tanah, pasir dan selang waktu masyarakat mendulang keuntungan dari apa yang dimuntahkan gunung Merapi. Maka dari itu, dengan ilmu pengetahuan kita mencoba mengerti kemauan alam, dengan kearifan tentunya. Ilmu itu ibarat jembatan kecil yang mengaitkan dunia manusia dan alam. Jika jembatan keilmuan itu tidak dirawat, maka ia akan rusak dan akhirnya putus. Sehingga manusia buta akan isyarat alam. Alam itu ibarat wanita yang penuh cinta kasih kepada siapapun. Namun juga ada saatnya ia menjadi galak dan murka, itu sudah sunatullah yang perlu dimengerti oleh setiap kita. Dan itu merupakan siklus yang berulang. Maka pada saat seperti itu kita perlu untuk menjaga jarak. Setelah reda, kita bisa mendekat lagi dan mendapatkan curahan cinta kasih alam. Seseimpel itu. Namun manusia banyak yang ngeyel. Mbah Rono saat itu menjadi pahlawan ketika Gunung Merapi meletus pada pagi harinya. Meskipun banyak pihak yang nyinyir atas perilaku Mbah Rono, karena pelitnya informasi, kini kebenarannya dapat dipetanggungjawabkan. Masyarakat dapat menyelamatkan diri tanpa terjadi kisruh dalam penanganan. Tertempa oleh pengalaman, keahlian, membuat Mbah Rono tidak membuatnya mementingkan dirinya sendiri. Ia rela tidak tidur dan mengawasi Merapi jika sewaktu-waktu berubah status. Menurutnya jangan ada banyak korban letusan Merapi kali ini. Dari Mbah Rono, saya banyak belajar tentang gunung api, tentang hidup dan kehidupan, lebih dari itu belajar tentang relasi alam, manusia dan Tuhan. Salam.

Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lingga Fajar