Fitrah sebagai Arah Kembali Menjadi Manusia

slider
24 Juli 2019
|
2418

Fitrah secara harfiah berasal dari akar kata “fa-tho-ro” yang diartikan bisa bermakna tabiat asli, asal kejadian dan ciptaan. Bila diuraikan secara istilah, fitrah merupakan kesucian dan kecendrungan awal yang merupakan hakikat dasar manusia secara alamiah. Dalam kacamata Islam, fitrah merupakan keadaan jiwa (ruh) manusia yang cenderung mengakui eksistensi Tuhan dan memilih Islam sebagai agama dan pedoman dalam hidupnya.

Hakikat manusia pada dasarnya hanyalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt. Lalu Allah memberikan kemuliaan (mukarram) kepada manusia dengan berbagai macam fasilitas yang disediakan-Nya di muka bumi. Macam-macam fasilitas tersebut harus dimanfaatkan oleh manusia. Mengingat, manusia sendiri sudah dipercaya dan memiliki tugas (mukallaf) sebagai pemimpin (khalifah) yang merupakan wakil Tuhan di muka bumi ini. Namun, dalam menjalankan tugasnya, manusia memiliki kewenangan berupa kesanggupan untuk memilih (mukhayyar) mengerjakan tugas yang telah diamanati ataupun menggugurkannya. Hingga pilihan tersebut akan memiliki balasan (majzi), baik balasan yang baik ataupun sebaliknya.

Pada kesempatan Ngaji Filsafat edisi Falsafah Hidup bertema Fitrah (3/7), ustaz Dr. Fahruddin Faiz menerangkan bahwa dalam bidang kajian filsafat Islam, fitrah manusia didasari oleh tiga alasan yang penting dan fundamental. Pertama, manusia merupakan tujuan akhir dari penciptaan.

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al-Baqarah [2]: 29).

Manusia merupakan mahkluk yang istimewa dimana proses penciptaannya setelah alam semesta dan juga bumi telah selesai diciptakan secara utuh dan siap untuk diisi oleh manusia. Mengapa sedemikian istimewanya manusia? Ustaz Faiz menjawab karena manusia itu merupakan masterpiece-Nya Allah Swt. di muka bumi. Allah menciptaan manusia sebagai khalifah kemudian ditunjukkan dihadapan malaikat-malaikat. Para malaikat tidak yakin bahwa manusia akan menjadi pemimpin (khalifah) yang amanah di muka bumi. Namun, sesungguhnya Allah lah yang Maha Mengetahui atas segala apa pun yang Dia ciptakan. Karena manusia diciptakan setelah adanya alam semesta, manusia sendiri kompatibel dengan bumi dan seisinya sehingga mampu memanfaatkan semua itu secara maksimal.

Baca juga: Memahami Hakikat Doa sebagai Falsafah Hidup

Kedua, manusia sebagai mikrokosmos yang dalam istilah Jawa disebut sebagai “jagad cilik”. Ini menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat berbagai unsur dari alam semesta dengan ukuran yang lebih kecil. Ustaz Faiz dalam penjelasannya mengibaratkan bahwa buah mengandung segala unsur dari pohon, baik akar, batang, dahan, ranting dan unsur lainnya.

Begitu pun manusia, dalam dirinya memiliki semua unsur kosmos (semesta) seperti unsur mineral yang terdiri dari fisik dan atom, memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh nabati seperti tumbuh dan berkembang dan hewani seperti bergerak dan pengindraan, bahkan manusia memiliki unsur dari malaikat dan ilahi. Manusia sendiri memiliki ciri khas yang tidak dimiliki makhluk lainnya seperti natiq, yaitu memiliki kemampuan untuk berbicara dan aqil, yaitu memiliki kemampuan untuk berpikir.

Ketiga, manusia sebagai cermin Tuhan di muka bumi. Ustaz Faiz menjelaskan cermin itu selalu memantulkan bayangan dan segala hal yang terdapat didalamnya. Sama halnya dengan manusia yang merupakan cermin dari Tuhan yang terpantul melalui ruh yang memiliki unsur ilahiyah. Segala sesuatu di alam ini mencerminkan sifat-sifat Tuhan, seperti sifat keagungan (Jalaliyah) dan sifat keindahan (Jamaliyah). Ustaz Faiz memberikan misal seperti gunung memiliki keindahan yang luar biasa ketika dilihat dari kejauhan dan ketika meletus dan mengeluarkan lava pijar memiliki kedahsyatan yang begitu mengerikan. Silogismenya, jika segala sesuatu di alam ini dapat memantulkan sifat-sifat tertentu Tuhan dan manusia merupakan mikrokosmos yang memiliki semua unsur alam, berarti manusia memiliki potensi memantulkan keseluruhan dari sifat Tuhan.

Dalam tradisi tasawuf kita dapat mengenal istilah berakhlak dengan akhlak Allah (takhallaqu bi akhlaqillah) yang merupakan suatu proses penyempurnaan diri melalui pengejawantahan sifat-sifat Tuhan yang mulia, untuk kemudian dapat ditiru menjadi sifat-sifat manusia. Proses ini dalam dunia akademik disebut dengan proses internalisasi sifat Ilahi kedalam diri manusia. Sehingga perilaku manusia akan senantiasa terjaga dan cenderung mengarah kepada kebaikan.

Terdapat berbagai macam klasifikasi pandangan dan perspektif mengenai teori fitrah manusia apabila dikaji secara ilmiah seperti yang telah dijelaskan ustaz Faiz berikut ini.

Perspektif fatalisme

Dalam kajian teologi Islam (ilmu kalam) perspektif fatalisme dianut oleh aliran jabariyah yang menyatakan bahwa setiap manusia sampai detail kehidupan yang terperincinya sudah diatur dan ditetapkan semuanya oleh Allah Swt. Menjadi baik ataupun buruk itu sudah ditakdirkan, termasuk kedalam golongan ashabul yamin atau ashabul syimal pun telah ada labelnya. “Manusia itu seperti wayang mengikuti kehendak dalang yaitu Tuhan dan Tuhan memiliki hak prerogatif terhadap kuasa-Nya”, demikian tutur ustaz Faiz.

Perspektif behaviorisme

Pandangan ini menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, kosong, bagaikan kertas putih tanpa kesadaran akan iman atau kufur. Manusia tidak memiliki bakat atau potensi yang melekat dalam dirinya untuk menjadi manusia baik atau buruk. Pandangan behaviorisme selaras dengan konsep filsafat John Locke mengenai tabula rasa. Kebaikan dan keburukan merupakan pengaruh yang terbentuk dari dialektika kehidupan dengan orang-orang sekitar dan lingkungannya.

Perspektif dualisme

Manusia pada dasarnya memiliki dua orientasi sekaligus di dalam dirinya, ke arah kebaikan atau ke arah keburukan dan manusia memiliki daya untuk merengkuh keduanya. Pandangan dualisme ini mengartikan bahwa sejak awal manusia telah memiliki potensi menjadi baik atau buruk yang tertanam di dalam dirinya hingga kecendrungan yang dominan di antara keduanya akan terbentuk seiring perjalanan hidupnya.

Perspektif humanisme

Perspektif humanisme melihat bahwa sejak awal manusia memiliki fitrah dan kecendrungan fitrah itu mengarah kepada kebaikan. Manusia memiliki sifat-sifat bawaan yang positif. Jika manusia melakukan hal-hal yang mungkar berarti manusia menyeleweng dari fitrahnya. Lingkungan memiliki pengaruh untuk merubah fitrah baik dalam diri manusia dan memiliki potensi untuk membuatnya menyimpang.

Perspektif psikoanalisis

Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah ada pada dirinya, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya. Manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Insting merupakan kumpulan pengalaman yang mempengaruhi psikis manusia. Unsur yang bersifat psikis ini yang akan menyetir manusia menjadi pribadi yang baik ataupun sebaliknya.

Lebih lanjut ustaz Faiz menjelaskan bahwa fitrah baik manusia merupakan kunci dari lahirnya rasa kemanusiaan. Selaras dengan quote yang dikutip dari Mahatma Gandhi, “You must not lose faith in humanity. Humanity is an ocean; if a few drops of the ocean are dirty, the ocean does not become dirty.” Bahwa kemanusiaan itu layaknya samudera, itu tidak akan menjadi kotor hanya karena ada tetesan atau genangan air yang mengotorinya. Yakinlah bahwa rasa kemanusiaan tidak akan pernah pudar walaupun ada satu atau dua orang yang merusak kemanusiaan tersebut.

All people have three characters, that which they exhibit, that which they are, and that which they think they are”, kata Alphonse Karr, seorang kritikus, jurnalis, dan novelis asal Prancis.

Menjadi manusia merupakan sebuah anugerah yang tidak dapat diubah, namun menjaga agar menjadi manusia yang memiliki rasa kemanusiaan terhadap sesama merupakan salah satu pilihan hidup seseorang.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Fajrul Falakh

Squad #4 MJS. Masih tercatat sebagai mahasiswa selow