Fahkruddin Ar-Razi: Menghidupkan Filsafat Melalui Kalam

slider
13 Juni 2025
|
760

Perdebatan antara agama, khususnya Islam, dengan filsafat telah menjadi sesuatu yang lumrah dalam dunia akademik. Hal ini dikarenakan titik tolak dari keduannya berbeda, Islam dengan Al-Qur’an dan hadisnya sedangkan filsafat tidak. Dikarenakan berbeda keduanya, salah satu teolog yakni Imam Al-Ghazali (w. 1111) yang paling mengguncang tubuh filsafat, khususnya filsafat paripatetik Ibnu Sina dengan kritikannya (Watt, 1985. 89-90).

Hal inilah yang memunculkan anggapan filsafat Islam tidak berkembang, bahkan mati (Watt, 1985. 91). Matinya filsafat Islam juga tak luput dari pengaruh ajaran teologi Asyariyyah Imam Al-Ghazali yang cenderung bersifat konservatif dalam ranah pengambilan pengetahuan atau episteme-nya (Griffel, 2021. 266).

Pernyataan di atas, tidak sepenuhnya benar khususnya Islam stagnan atau mati dikarenakan kritikan Imam Al-Ghazali dan anggapan teologi Asy’ariyah yang tidak mendukung berkembangnya filsafat Islam. Kedua persoalan tersebut filsafat dapat diambil intinya, yakni filsafat (hikmah) dan teologi (kalam). Kedua hal tersebut telah dijawab oleh Fakhr al-Din al-Razi sebagai perwakilan dari keduanya (Griffel, 2019. 312). Serta mencari korelasi antara dua bidang tersebut, yang mana di beberapa pendapat mengatakan tidak ada hubungannya.

Mengenal Sekilas Fakhr al-Din al-Razi

Fakhr al-Din al-Razi bukanlah nama asli, namun hanya sebutan sekaligus memuliakan. Nama aslinya adalah Muhammad ibn ‘Umar. Ia berasal dari Rayy, hal ini dapat diketahui dari sebutannya yakni Imam Ar-Razi. Di sana, ia dilahirkan sekitar 25 Ramadan 544/26 Januari 1150 (Griffel, 2021. 265) 39 tahun setelah Imam Al-Ghazali wafat.

Sebelum mempelajari filsafat, Imam Ar-Razi belajar keilmuan Islam, khsusnya kalam pada ayahnya sendiri yakni Diya’ al-Din Abu al-Qasim seorang teolog, sampai ayahnya meninggal dunia (Hasan & Sumi, 2020, 355). Setelahnya, ia pergi ke Nishapur, di sana ia menemukan  karya-karya Ibnu Sina dan Al-Farabi (Griffel, 2021. 267). Kemudian ia kembali ke Rayy dan berguru ke Majd al-Jili untuk mempelajari filsafat dalam waktu yang cukup lama (Griffel, 2021. 268). Setelah itu, ia menekuni keilmuan Islam lagi sebelum akhir hidupnya pada 606/1210 dengan menulis karya terkenal yakni Mafatih al-Ghayb (Jaffer, 2015. 15).

Imam Ar-Razi menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan, seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, kedokteran, geometri, astronomi, pertanian, politik, sejarah, dan perbandingan agama. Keasyikannya dengan ilmu pengetahuan ini membedakannya dengan para ulama lain, karena biasanya para teolog Sunni dan doktor hukum menghindari disiplinapa pun di luar lingkup ilmu-ilmu agama.

Imam Ar-Razi mempelajari semua ‘ulum awa’il, yaitu ilmu-ilmu yang diwarisi dari orang-orang Yunani, dan dianggap oleh banyak orang sezamannya sebagai otoritas terbesar pada masanya dalam bidang ilmu-ilmu tersebut.

Imam Ar-Razi juga menulis beberapa risalah tentang ilmu-ilmu esoterik (‘ulum gharibah), yang banyak mendapat perhatiannya. Di antara tulisannya masih ada risalah tentang talisman, geomansi (raml), fisiognomi (firusah), dan bidang serupa lainnya.

Imam Ar-Razi juga menulis ensiklopedi berjudul Jami' al-'Ulum. Karya ini berisi pembahasan ilmu-ilmu naqli agama tradisional seperti kalam, fiqih, tafsir Al-Qur'an, Qira’ah dan ilmu bahasa; juga membahas ilmu-ilmu aqli seperti farmakologi, alkimia, theurgi, pertanian, geometri, ilmu timbangan, aritmatika, aljabar, optik, musik, astronomi, astrologi, metafisika, etika dan berbagai cabangnya, bahkan catur dan permainan lainnya.

Teologi dan Filsafat

Setelah menegtahui secara singkat kehidupannya, kita beranjak ke pambahasan yang ia tekuni yakni teologi dan filsafat. Menempatkan pembahasan teologi di awal mempunyai alasan tersendiri, yakni sebagai fondasi awal pengetahuan dari Imam Ar-Razi sebelum beranjak ke bidang filsafat.

Seperti yang disebutkan di bagian pertama, Imam Ar-Razi muda menelan semua keilmuan Islam dari ayahnya khususnya teologi (kalam) itu sendiri. Melansir Griffel, Diya’ al-Din Abu al-Qasim mewarisi tradisi teologi Asyariyyah namun tidak seperti Imam Al-Ghazali yang cenderung konservatif. Meskipun begitu Diya’ al-Din tidak pernah menggunakan filsafat (Griffel, 2021. 266). Dari sini, dapat mengerti bahwa tradisi teologi Asy’ariyyah yang dipelajari Imam Ar-Razi adalah bukan sealiran dengan Imam Al-Ghazali yang konservatif dan belum terafiliasi oleh filsafat.

Imam Ar-Razi menggunakan metode keraguan untuk mencapai kebenaran dalam teologinya, bukan melalui keyakinan selayaknya para teolog lainnya. Karena inilah ia dijuluki sebagai Imam al-Mushakkikin atau pemimpin para peragu oleh teolog Syiah. Metode ini terinspirasi dari semangat anti taklidnya Asyariyyah (Jaffer, 2015. 19). Metode ini juga ditemukan pada karyanya yang membahas teologi yakni Muhassal.

Seperti halnya kalam, Imam Ar-Razi menggunakan metode anti taklid pada filsafat. Hal ini disampaikan Imam Ar-Razi pada karyanya yang secara khusus membahas filsafat secara spesifik yakni Al-Mabahith al-Mashriqiyya. Di dalam buku ini, Imam Ar-Razi mengkritik pada pelaku-pelaku taklid, baik itu rekan-rekannya maupun filusuf Islam awal yang mengambil ajaran Aristoteles dan Neo-Platonik. Hal ini selaras dengan apa yang dilakukan dengan Imam Al-Ghazali kepada Ibnu Sina (Jaffer, 2015. 21-22).

Di dalam buku Al-Mabahith al-Mashriqiyya, Imam Ar-Razi membagi dua kelompok ketika ia menghadapi filsafat, yakni kelompok yang taqlid dan yang memusuhinya. Problem Imam Ar-Razi adalah bagaimana cara mendapatkan manfaat dari filsafat namun dengan porsi yang pas di antara kedua kelompok tersebut.

Imam Ar-Razi mencoba menggunakan cara mengkikuti para filusuf Yunani dan filusuf Islam awal namun dengan selalu kritis akan ide atau wacana mereka (Jaffer, 2015. 27-28). Dari sini kita tahu, bahwa Imam Ar-Razi tidak menerima secara utuh gagasan mereka, namun tidak pula ia menolak secara utuh, dan menjadikan metode ini sebagai jalan tengah.

Menghidupkan Filsafat Melalui Kalam

Setelah membahas keduanya secara singkat, kedua bidang yang ditekuni Imam Ar-Razi tersebut memiliki poinnya masing-masing. Perlu diperhatikan, Imam Ar-Razi dalam membahas keduanya memiliki waktu yang berbeda. Namun, apa yang bisa kita ambil di sini adalah semangat anti taklidnya. Anti taklid layaknya cara filsafat yang kritis terhadap segala sesuatu. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Imam Ar-Razi adalah esensi dari filsafat itu sendiri yakni kritis.

Dalam keadaan yang dikatakan sudah redup, filsafat mulai dihidupkan kembali oleh Imam Ar-Razi, namun dengan corak yang berbeda yakni dengan bernafaskan teologi atau kalam. Corak teologi Asy’ariyah cukup kental, uniknya Imam Ar-Razi tidak menolak metafisika Ibnu Sina secara keseluruhan seperti yang dilakukan Imam Al-Ghazali di kitab Tahafut al-Falasifah. Kebalikannya, Imam Ar-Razi membangun metafisikanya yang terkesan bernapaskan Asy’ariyah.

Perlu digarisbawahi, Imam Ar-Razi adalah teolog yang menggunakan metode keraguan bukan keyakinan. Apabila ia dalam teologi bercorak Asy'ariyyah, maka ia tidak taqlid dalam hal itu, namun mendapatkannnya dengan metodenya yang diawali keraguan. Menghidupkan filsafat melalui kalam adalah narasi yang cocok untuk Imam Ar-Razi sebagai penyatu dua bidang yang pernah berkonflik bahkan tidak ada hubungannya.

Referensi:

Griffel, F. (2021). The Formation of Post-Classical Philosophy in Islam. Oxford University Press.

Ḥasan, M. Ṣaghīr, & Ṣūmī, M. A. (2020). Imām Fakhr Al-Dīn Al-Rāzī and His Critics Stable URL: https://www.jstor.org/stable/20832894 His Life : 6(4), 355–374.

Jaffer, T. (2015). Rāzī: Master of Qurʾānic Interpretation and Theological Reasoning. Oxford University Press.

Sharif, M. M. (1963). A History of Muslim Philosophy. In Pakistan Philosophical Congress 1963. Allgauer Heimatverlag.

Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey. Edinburgh University Press.

Ngaji Filsafat 402: Fakhruddin Ar-Razi edisi Filsafat Islam Lagi, bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag, di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 13 September 2023.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Roizul Abror

Santri Ngaji Filsafat asal Mojokerto