Etika Tanggung Jawab Emmanuel Levinas

slider
15 Mei 2024
|
1636

Etika sering diartikan sebagai ilmu yang membutuhkan refleksi kritis, sistematis, dan metodis untuk mengkaji tentang tingkah laku manusia yang berhubungan dengan norma. Etika juga sering disamakan dengan moral yaitu asas atau pedoman tentang nilai dan norma moral yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur tindakannya. Namun etika juga dapat diartikan sebagai kode etik, yaitu kumpulan nilai atau asas moral yang bersifat teknis dan praktis misalnya kode etik kedokteran.

Dengan kata lain etika mengkaji tentang perbuatan manusia tentang hal yang baik dan buruk. Etika sejak kemunculannya telah melahirkan berbagai teori seperti aliran hedonisme yang mengatakan bahwa perbuatan baik itu diukur dari banyaknya kesenangan yang dihasilkan, karena menurut Aristippos (433-355 SM) pada dasarnya manusia adalah makhluk yang selalu mengejar kesenangan.

Sedangkan bagi Aristoteles (384-322 SM) bukanlah kesenangan sebagai ukuran etika, tetapi suatu tujuan untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan. Karena setiap perbuatan seseorang pasti dilakukan untuk suatu tujuan tertentu.

Meskipun etika telah banyak melahirkan banyak teori, namun bagi Levinas teori-teori tersebut pada umumnya selalu ditujukan untuk kepentingan manusia itu sendiri, seperti seseorang berbuat jujur, adil, dan dermawan supaya seseorang tersebut menjadi pribadi yang baik dan mulia. Karena hanya fokus untuk terus-menerus membentuk jati diri sehingga menghasilkan rasa egois dan dapat melupakan hakikat dari etika itu sendiri yang berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebagai antitesanya Levinas mengajukan sebuah teori tentang etika tanggung jawab.

Riwayat Hidup

Emmanuel Levinas adalah seorang keturunan Yahudi yang lahir pada 12 Januari 1906 di Lituania. Pada 1923, ia pindah ke Prancis untuk belajar filsafat, dan sempat belajar kepada seorang filsuf besar bernama Husserl.

Selain itu, selama di Prancis Levinas pernah menjadi tentara untuk melawan invasi Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Bahkan Nazi pernah menangkap dan memasukkannya ke kamp konsentrasi yang dikenal sebagai kamp kematian bagi bangsa Yahudi dimana tempat mereka dikumpulkan dan dipaksa bekerja tanpa memperoleh makanan yang cukup untuk hidup. Di sana Levinas menyaksikan berbagai kekejaman yang dilakukan oleh Nazi kepada bangsanya seperti penyiksaan maupun pembantaian. Kejadian inilah yang akan mempengaruhi pemikiran filsafat seorang Levinas.

Filsafat menurut Levinas

Pemikiran filsafat Levinas dipengaruhi oleh gurunya, Husserl, dan idolanya, Heideger, yang mengatakan bahwa filsafat itu seharusnya jangan terlalu banyak berteori tentang realitas, tetapi biarkan saja realitas tersebut yang akan hadir apa adanya dalam diri. Jika filsafat pada umumnya adalah philosophia atau love of wisdom berarti cinta menuju kebijaksanaan, bagi Levinas kebalikannya, filsafat adalah wisdom of love yaitu kebijaksanaan menuju cinta.

Menurut Levinas para filsuf selama ini bersikap egois, meskipun filsafat membahas bagaimana seharusnya manusia berbuat baik, namun perbuatan baik itu hanya untuk dirinya sendiri. Seperti aliran hedonisme yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin mengejar kesenangan diri dan menjauhi hal-hal yang tidak disenangi.

Pada umumnya filsafat selama ini selalu mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang utama. Setiap anjuran berbuat baik seperti bersikap jujur, mengendalikan hawa nafsu, menolong sesama dan lainnya pasti akan kembali kepada tujuannya yaitu menjadi pribadi yang utama atau disebut juga insan kamil.

Levinas mengkritik idolanya, Heideger, yang mengatakan bahwa yang harus dipelajari pertama kali dalam filsafat adalah metafisika. Bagi Levinas bukanlah metafisika, melainkan adalah etika. Karena tujuan filsafat adalah kebijaksanaan, maka yang dibutuhkan pertama kali bukanlah kajian-kajian tentang metafiska seperti hakikat realitas, substansi waktu dan ruang, keberadaan dan lainnya.

Namun yang dibutuhkan adalah kajian mengenai perbuatan manusia tentang yang baik dan yang buruk, benar dan salah, serta prinsip-prinsip apa yang dapat mengatur tingkah laku manusia. Supaya dengan kajian tersebut dapat membantu manusia melangkah menuju kebijaksanaan.

Pemikiran Levinas tentang Etika

Menurut Levinas, etika adalah inti dari semua pembahasan filsafat. Karena filsafat muncul dari kesadaran diri untuk mempertanyakan segala sesuatu yang terlintas dalam pikiran untuk mendapatkan jawaban yang masuk akal dan mendalam.

Kesadaran diri itu lahir dari adanya hubungan dengan orang lain untuk mewujudkan kehidupan yang baik untuk bersama. Langkah-langkah mewujudkan kehidupan yang baik itu termasuk pembahasan etis. Oleh karena itu, hal yang mendasar dari filsafat adalah hubungan etis antara individu dengan orang lain yang menjadi awal dari sebuah pemahaman tentang diri sendiri dan dunia sekitar, sehingga dengan hubungan etis tersebut menghasilkan konsep-konsep pemikiran seperti kebenaran, kebebasan, keadilan dan lainnya.

Hubungan etis juga yang membentuk kajian-kajian filsafat seperti ontologi, epistemologi, politik, logika dan lainnya.

Levinas menggagas tanggung jawab sebagai dasar teori etikanya. Konsep ini tidak sama dengan kajian etika sebelumnya yang mendasarkan pada suara hati atau aturan moral sekalipun. Karena konsep-konsep sebelumnya hanya bertujuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai pribadi yang baik yang terpenjara dalam egois subjek. Seperti sekelompok aparat negara yang berjuang untuk menggagalkan aksi pembunuhan, karena adanya dorongan untuk mendapatkan penghargaan, jabatan yang lebih tinggi, pujian dari masyarakat atau lain sebagainya.

Memang Levinas tidak membicarakan secara panjang lebar tentang bagaimana mengatur perbuatan manusia yang menghasilkan pembentukan karakter diri, namun ia ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih mendasar daripada cara membentuk karakter manusia tersebut, yaitu manusia pada hakikatnya memiliki dorongan internal untuk berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip moral terhadap sesamanya yang terwujud dalam bentuk tanggung jawab.

Tanggung jawab bukanlah berorientasi pada diri subjek, tetapi berorientasi pada orang lain yaitu adanya keterbukaan dan rasa hormat terhadap sesama.

Bahkan Levinas mengatakan “Saya bertemu dengan seseorang. Begitu orang itu menatap saya, maka saya mau tak mau telah bertanggungjawab terhadapnya. Keterikatan dalam tanggung jawab total terhadap sesama itu adalah data paling pertama dalam segala orientasi kita.”

Levinas mengemukakan konsep ‘wajah’. Wajah di sini bukan berarti bentuk-bentuk fisik seperti hidung, mulut, pipi, dan mata. Konsep wajah di sini melampaui arti bentuk-bentuk fisik sehingga wajah berarti pernyataan diri dalam bentuk transenden.

Levinas menggunakan istilah “epiphania” yaitu penampakan diri yang Ilahi, yang mana wajah menampilkan yang Tak Terhingga sehingga ketika wajah mengekspresikan diri atau seseorang menyapa kita, maka berarti kita berhadapan dengan dengan wajah orang lain yang menampilkan yang Ilahi. Dengan kata lain, kita berhadapan dengan Tuhan yang membuat kita tak berdaya di hadapan-Nya.

Hal ini terlihat dalam kasus percobaan pembunuhan. Meskipun di satu sisi kita memiliki kekuasaan untuk membunuh orang lain karena memiliki fisik yang kuat atau senjata tajam, namun di sisi lain kita tak berdaya untuk membunuh orang lain karena berhadapan dengan wajah yang transenden.

Konsep ‘wajah’ tersebut bertujuan agar memandang orang lain sebagai ujian dari Tuhan agar kita berbuat baik. Sehingga kehadiran orang lain tidak lagi dianggap sebagai alat yang dapat dieksploitasi atau dimamfaatkan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi kehadiran orang lain harus diangap sebagai ajang untuk melayani mereka, sebagaimana kita melayani atau bertindak atas dasar Tuhan.

Hal tersebut akan terwujud melalui tanggung jawab yang membuat diri bersedia untuk melayani orang lain, yaitu ketika bertemu orang lain, kita berpikir apa yang dapat dilakukan untuknya. Seperti kata Levinas sendiri “Untuk mencapai kebaikan adalah melalui tanggung jawab, yaitu melayani orang lain.”


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raihan Fadly

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta