Diskursus Republikanisme: Menimbang Pemikiran Hannah Arendt

slider
26 Oktober 2020
|
1962

Hannah Arendt merupakan seorang aristotelian. Ia dianggap sebagai seorang pemikir republikan.

Menurut Maurizio Passerin d’Entreves dalam buku Filsafat Politik Hannah Arendt (2003), tradisi politik republikanisme menekankan adanya tindakan bersama masyarakat dalam politik. Warga negara dituntut keaktifannya dalam menyelesaikan masalah bersama. Partisipasi warga ini tidak hanya mengarah pada terciptanya kesepakatan bersama mengenai kebaikan, melainkan sebagai cara untuk mengafirmasi eksistensi diri setiap warga negara.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi dalam Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan (2017), Hannah Arendt sendiri mempostulatkan bahwa raison d’etre politik adalah kebebasan, dan medan pengalamannya adalah tindakan.

Dalam republikanisme, warga negara dan politik adalah satu kesatuan dalam dua istilah terpisah. Politik hanya mungkin dengan mengandaikan ide warga negara, dan warga negara hanya bisa bekerja dalam kerangka politik. Kesatuan antara politik dan warga negara atau kesatuan antara politik dengan (tindakan) subjek politik inilah yang merupakan inti dari gagasan republikanisme. 

Menurut Maurizio Passerin d’Entreves sebagaimana yang dikutip oleh Rieke Diah Pitaloka dalam buku Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara (2010), sedikitnya, ada tiga keuntungan yang dapat dilihat dengan penerapan civil republicanism.

Pertama, memberikan kesempatan pada setiap warga untuk menguji kekuatan dirinya sebagai pelaku politik. Kedua, kapasitas penilaian politisi dapat berkembang. Ketiga, diperolehnya ukuran efektivitas politik tertentu melalui tindakan bersama.

Arendt kerap dianggap sebagai pembela konstitusi dan sepremasi hukum, serta pembela hak asasi manusia. Arendt tidak hanya memasukkan ide mengenai hak untuk hidupnya, kemerdekaan dan kebebasan, tetapi juga menekankan hak untuk bertindak dan berpendapat. Artinya, dibutuhkan partisipasi tindakan aktif warga negara dalam kehidupan politik.

Lebih jelasnya pemikiran arendt yang merupakan warisan tradisi civic republicanism dapat dilihat dari konsep politik yang didasarkan pada gagasan active citizenship. Arendt memfokuskan visinya pada dua nilai dan makna yang penting dari:

Pertama, civic engagement, yaitu keterlibatan warga negara. Kedua, mengenai collective deliberation, yaitu penilaian kolektif yang diperoleh melalui perdebatan publik tentang berbagai persoalan yang memengaruhi komunitas politik dan kepentingan hidup masyarakat.

Dalam memahami pemikiran Arendt, penting juga untuk menilik kembali pengertian polis, karena itu berkaitan dengan ide mengenai warga negara.

Dalam buku The Human Condition (1998), Arendt menjelaskan bahwa sebenarnya yang disebut sebagai polis bukanlah negara-kota dalam pengertian yang merujuk pada lokasi fisiknya, melainkan organisasi rakyat karena tumbuh dan bertindak dan bicara bersama-sama.

Dengan kata lain, istilah polis semestinya dipahami sebagai wahana tindakan untuk mewujudkan kehidupan baik bersama, untuk menjalin keakraban dan percakapan antar warga-negara dan menumbuhkan kesalingpengertian.

Arendt pun menggagas apa yang disebut sebagai “kekuasaan komunikatif”. Konsep kekuasaan yang dirumuskan oleh Arendt ini cenderung berbeda dengan kajian dalam Ilmu Politik secara umumnya, yang mengidentikan “kekuasaan” dengan sifat elitis dan sebagainya. Mengutip d’Entreves (2003), kekuasaan yang dimaksud oleh Arendt bukanlah milik seseorang, melainkan dari pluralitas pelaku yang bergabung untuk satu tujuan politik bersama.

Kekuasaan merupakan kapasitas untuk bertindak bersama bagi tujuan politik publik. Kekuasaan adalah produk tindakan (komunikatif dan bukannya strategis ataupun instrumental) dan bersandar sepenuhnya pada persuasi rasional.

Dengan kata lain, Arendt mengandaikan tindakan politik dengan suatu diskursus yang bisa berlangsung secara bebas dan dalam kondisi yang setara. Tentunya untuk mewujudkan kehidupan baik bersama.

Menurut Fahrul Muzaqqi dalam Diskursus Demokrasi Deliberatif di Indonesia (2019), penjelasan Arendt memperlihatkan bahwa legitimasi politik bergantung pada kekuasaan yang termanifestasi dalam dukungan dan persetujuan aktif rakyat.

Partisipasi aktif rakyat sangat ditekankan oleh Arendt sebagai manifestasi atas kekuasaan politik yang legitimate dalam masyarakat modern yang semakin rasional. Demokrasi partisipatori-deliberatif yang kemudian menjadi format ideal yang dikehendaki oleh Arendt.

Membedah politik Indonesia dalam kacamata republikan

Ada beberapa hal yang menurut saya menjadi masalah utama dalam politik Indonesia dan merupakan hambatan yang nyata bagi sebuah negara ‘republik’, dua di antaranya, pertama, yakni tatanan politik yang oligarkis atau perkembangan kapitalisme yang menginvasi dunia politik. Keduanya, yakni bayang-bayang politik identitas.

Bila kita berkaca pada pemikiran Arendt, yang begitu menekankan keaktifan warga negara dan partisipasi yang efektif, maka hal tersebut tidak dimungkinkan dalam tatanan oligarkis, karena apa yang disebut sebagai “tindakan politik” justru melayani kepentingan segelintir elite. Tatanan oligarkis akan menyumbat terpancarnya civic virtue dan membatasi kapasitas warga negara untuk membangun diskursus yang bebas dan setara.

Meminjam pendapat Robertus Robert dalam tulisannya “Oligarki, Politik dan Res Republica” (2020), yang menyatakan bahwa di dalam oligarki, ‘diskursus’ di dalam politik secara brutal digantikan dengan ‘transaksi’.

Poin selanjutnya menyangkut politik identitas yang dipahami di sini sebagai preferensi politik yang bersumber dari identitas-identitas primordial. Tentu hal ini menjadi permasalahan, sebab tindakan politik yang semestinya bertujuan untuk mewujudkan kehidupan baik bersama (common good), dan tindakan politik yang semestinya untuk “yang publik”, justru digunakan untuk tujuan kelompok primordialnya semata.

Bagi Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi (2017) bahwa rusaknya substansi republik adalah merosotnya makna politik. Politik zaman kini lebih dipraktikkan sebagai pengejaran kepentingan individual dan golongan. Politik tidak lagi dimengerti dalam kerangka kebersamaan untuk mencapai kebaikan bersama.

Oleh sebab itu, saya berpandangan bahwa revitalisasi republikanisme menjadi suatu keharusan. Etikalitas republikan perlu diteguhkan, terlebih konstruk negara kita yang merupakan sebuah negara republik. Kata ‘politik’ harus dapat dikembalikan ke pemaknaan aslinya, sebagaimana pengertian dalam tradisi aristotelianisme.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Cusdiawan

Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran