Di Jauh, Merasakan Ibu di Rumah

slider
21 Agustus 2019
|
1156

Di jauh, seorang gadis memasak untuk menghadirkan aroma tubuh ibunya. Ia melihat–dan kini mengingat–tahapan demi tahapan dalam aktivitas memasak yang dilakukan ibu di rumah. Aroma cabai adalah aroma keberanian, jahe seperti kehangatan, bawang berarti kesedihan, lengkuas beraroma keangkuhan. Gula bisa berarti keramahtamahan, lada adalah kemarahan, dan garam lebih dekat dengan ujud kebersahajaan. Ibu bisa beraroma apa saja di saat yang bersamaan, dan karena itu si anak gadis sungguh mengagumi sosoknya.

Di dapur, ibu kadang tampak begitu berkuasa atas hidupnya, kadangkala sebaliknya. Kendatipun di dapur ibu seperti seorang ratu yang bebas mengatur segala hal, tapi segala yang dilakukannya itu tak lain ialah untuk memenuhi kebutuhan santap seluruh anggota keluarga, dan terutama bapak. Rasanya hampir mustahil ibu memasak menu yang tak disukai bapak, sebab itu bisa berarti ketidakbaktian atau lebih jauh lagi malah bisa diartikan perlawanan. Ibu senantiasa memilih kata bakti. Dari ibu, anak gadisnya tahu bahwa memasak merupa olah jiwa meramu segala rasa. Kepedihan, keharuan, keriangan, kemarahan, ketulusan bersanding dalam semangkuk olahan. Maka, semakin sering anak itu memasak berarti rindunya pada sang ibu sungguh demikian teramat sangat.

Di indekos di Solo, pilihan memasak sayur sendiri tak selalu jadi keputusan tepat. Selain memerlukan niat khusus, kepekaan soal rasa, tahu membedakan bumbu-bumbu dapur, waktu yang khusyuk, ada perkara lain. Warung-warung yang menjual menu aneka sayur berharga murah cuma berjarak sekian jangkah. Di masa paling awal tinggal di Solo, aku kerap makan di warung-warung begitu itu. Satu-dua warung memajang banner dengan keterangan pokwe, tapi lebih banyak yang tidak berketerangan. Aku terus mengingat “pokwe” yang belum berarti dan memasukkan lema itu dalam kamus bahasa diri. Hari-hari berpacu. Persinggungan yang terus-menerus dengan sekian warung nasi sayur beraneka rupa memberi kawruh bahwasanya pokwe itu kependekan dari njupuk dewe alias ambil sendiri. Bahasa tumbuh dan berkembang dalam persinggungan seseorang dengan pelbagai peristiwa keseharian. Tak melulu buku dan kamus.


Baca jugaSaling Silang: Agama dan Kemanusiaan


Sayur-sayur yang dijual di warung hampir tidak pernah menyaingi kenikmatan sayur yang dimasak ibu di rumah. Kendati demikian, aku selalu melihat pantulan jiwa-kasih ibu dalam setiap sayur yang tersaji di warung-warung. Sekian ibu-perempuan saling sibuk memasak aneka menu, mencicipi apakah sayur sudah enak di lidah, lalu menyajikannya. Aku dan begitu banyak anak muda berbekal perut keroncongan tinggal menikmati dengan cara manasuka. Bagi sekian anak perempuan, menyantap sayur yang terbeli dari warung kerapkali dibersamai dengan pujian terhadap ibu masing-masing. Bahwa sayur-sayur warung tak pernah berhasil menyaingi cita rasa sayur masakan ibu di rumah.  

Sore masih kuncup saat aku memilah bawang merah. Bawang merah yang terindikasi lekas busuk sebab kulitnya terlalu lembab dan bertekstur relatif basah musti lekas dimasak. Bawang-bawang yang kulitnya tampak merah semburat keungu-unguan dan bertekstur kering akan bertahan lebih lama. Bawang putih berkulit putih bersih masih akan tahan lama, maka gunakan bawang yang kulitnya mulai dihinggapi bercak kehitam-hitaman terlebih dahulu karena itu tanda-tanda tidak terlalu baik kondisinya. Adapun soal tomat, pilihlah tomat yang paling matang. Tomat-tomat yang masih setengah matang atau kehijau-hijauan bisa digunakan di hari-hari depan. Aku mengingat-melihat kebiasaan ibu tiap kali memilah bumbu-bumbu dapur di rumah. Kebiasaan yang makin kusadari demikian canggih.

Memasak itu bakti

Pagi-pagi sekali atau sore di dapur rumah, tubuh ibu bau bawang-bawangan. Bau yang selalu kusesap lekat-lekat setiap kali pulang ke desa. Nun di jauh, aku mengupas bawang sambil menahan perih di mata dan jari-jariku. Di kepulangan termutakhir, aku iseng menggantikan tugas ibu di dapur. Memasak nasi goreng di pagi hari dan oseng ikan asin di sore hari. Bapak adalah wasit masakan. Waktu meracik nasi goreng, ibu terheran-heran melihat banyaknya bumbu yang kusiapkan. Sebagai wasit, bapak memuji kelezatan nasi goreng olahanku. Sementara ibu menimpali pujian itu dengan menceritakan betapa banyaknya bumbu yang kupakai mengolah nasi goreng. Kata ibu soal nasi goreng itu, aku terlalu boros. “Boros tidak baik ketika nanti kamu jadi istri-ibu. Memasak itu perlu siasat”, kata ibu melanjutkan.

Sorenya, bapak terheran-heran menatap oseng ikan asin yang tampak lain dari biasanya. Beberapa ikan gosong, potongan-potongan cabai-tomat-bawang terlalu kecil, tidak ada bawang merah utuh seperti kesukaan bapak. Ibu menegurku lagi. Konon, masakan di rumah selalu dimasak ibu sesuai selera bapak. Meskipun kadang tak sependapat dengan selera bapak, ibu selalu bisa kompromi dengan hal itu. Bagi ibu, memasak adalah ujud baktinya kepada bapak. Ibu secara personal meleburkan diri dalam kesukaan-kesukaan bapak. Bakti adalah tahu batasan, atau kata sosok ibu kepada Kartini dalam film berjudul sama (Hanung Bramantyo, 2017) adalah “yang tak dimiliki orang-orang Barat yang berilmu tinggi dan penuh kebebasan.”

Di rumah, kami tak berdebat soal gender. Ibu dan bapak adalah suami-istri yang mengamini nilai-nilai “tradisionil” sebagaimana umumnya di perdesaan. Alih-alih cerewet menggugat persamaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga, ibu menjalani perannya dengan tulus. Kesibukan yang teramat, membuat ibu di desa tak sempat menaruh perhatian pada isu bertaut ketidakadilan gender atau koar-koar memperkarakan feminisma. Urusan-urusan begitu itu biarlah jadi urusan orang-orang di kota. Menjadi ibu di desa adalah pengalaman yang sungguh sibuk. Sepanjang hari senantiasa ada tugas rumah tangga yang perlu dikerjakannya. Tugas-tugas itu akan terganggu pabila ibu-ibu turut melirik isu soal ketimpangan gender. Ibu-ibu di desa selalu taat pada peribahasa “suwarga nunut, neraka katut”; masuk surga numpang, masuk neraka ikut.

Ibu-ibu di desa barangkali pernah ingin memberontak atas perannya yang seolah ditentukan takdir. Tapi keinginan sayup-sayup dan cuma muncul sekali-dua itu “seperti segala yang dari tanah, kembali ke tanah. Segala yang semula lemah, kembali melemah.” Lebih jauh lagi, kata ibu, “merdeka itu melampaui segala kata, jika kita bersyukur dan saling menjaga.” (Candra Malik, 2018, hlm. 37 dan 75). Sementara itu, para suami adalah nahkoda segala lini kehidupan ibu-perempuan di desa. Tsah!


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizka Nur Laily Muallifa

From Solo. Pembaca tak khusyuk. Dalam masa-masa riang pasca menerbitkan puisi bersama beberapa kawan. Buku puisi itu Menghidupi Kematian (2018). Pamrih di @bacaanbiasa