Desa Getak: Miniatur Kerukunan di Tengah Perbedaan

slider
14 Mei 2020
|
1041

Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Kenyataan ini harus dijaga dan dilestarikan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, agar mampu menjadi sarana untuk memajukan negara menuju cita-cita yang diinginkan, yaitu masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.

Kemajemukan harus dijadikan sebagai media memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satunya dengan mengembangkan sikap toleran dan saling menghargai satu sama lain. Namun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa pada sisi lain kemajemukan juga dapat memicu timbulnya konflik. Hal tersebut dikarenakan sebagian masyarakat masih memandang kemajemukan sebagai perbedaan yang membatasi proses interaksi. Salah satu keragaman yang seringkali menimbulkan konflik adalah terkait persoalan keberagamaan. Zainudin dalam bukunya Pluralisme Agama: Pergulatan Dialog Islam-Kristen Indonesia (2010) menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena munculnya sikap klaim atas kebenaran dan klaim atas jalan keselamatam yang berujung pada pemaksaan atas klaim tersebut kepada pihak di luar agama yang diyakininya.

Meskipun negara Indonesia telah memberikan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan yang diwujudkan dengan jaminan kebebasan beragama melalui Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu jaminan kebebasan memeluk agama dan kebebasan menjalankan agama yang dipeluknya. Namun, kita tidak dapat lupa dengan berbagai konflik yang pernah terjadi atas nama perbedaan agama. Sebut saja seperti laporan dari The Wahid Institute (2015)—bentrokan di Aceh Singkil, antara warga Muslim dengan warga Kristen. Hasil penelitian PUSAD Paramadina (2017)—konflik antar agama di daerah Poso, sebagai konflik komunal pasca Reformasi antara penduduk muslim dengan Kristen. Kasus kekerasan yang menimpa jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Kabupaten Bekasi.

Kasus yang masih terus terjadi menjadikan persoalan toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Karenanya, diperlukan upaya untuk menjaga dan mengembangkan sikap toleran dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Kehidupan masyarakat di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten dapat menjadi salah satu role model-nya, sebuah miniatur kerukunan di tengah perbedaan.

Desa Gatak terletak di Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Sekitar 15 menit perjalanan ditempuh dari Kartasura, dan 45 menit dari Kota Yogyakarta. Data statistik Desa Gatak tahun 2017, desa ini terdiri dari 12 dusun, 17 RW, dan 47 RT dengan jumlah penduduk sekitar 3.444 jiwa.

Masyarakat Desa Gatak merupakan komunitas masyarakat yang beragam dalam agama. Terdapat empat agama yang dianut dan diyakini oleh masyarakat desa. Islam sebanyak 2.918 orang, Kristen sebanyak 87 orang, Katolik sebanyak 408 orang, dan Hindu sebanyak 28 orang. Uniknya, semua pemeluk agama hidup berdampingan secara rukun saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.

Kenyataan ini dapat dilihat misalnya pada saat perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus, seluruh pemeluk agama bergotong-royong mempersiapkan ogoh-ogoh dan gunungan hasil bumi untuk diarak bersama. Keharmonisan juga terlihat pada acara hari-hari besar keagamaan. Saat Idul Fitri, misalnya, umat Islam akan bermaaf-maafan tidak hanya kepada sesama umat Islam, tetapi kepada semua masyarakat walaupun berbeda keyakinan. Saat perayaan Paskah, umat Kristen dan Katolik juga mengundang umat agama lain untuk makan bersama. Setiap umat beragama di desa ini juga memiliki tempat ibadah masing-masing. Masjid, gereja, dan pura yang kesemuanya dibangun secara berdekatan sebagai simbol keharmonisan dan kerukunan.

Berdasarkan pengakuan dari perangkat Desa Gatak selama puluhan tahun belum pernah terjadi konflik yang mengatasnamakan perbedaan agama. Mafhum, setiap pemeluk agama memiliki pemahaman yang kuat terhadap doktrin agamanya masing-masing berkaitan dengan prinsip berinteraksi dengan keyakinan agama yang berbeda. Seperti pemeluk agama Katolik yang berpegang teguh terhadap ajaran Alkitab Konsili Vatikan II, pemeluk agama Kristen yang berpegang teguh pada ajaran Injil Markus 12:30-31, dan pemeluk agama Islam yang berpegang teguh pada Al-Qur’an khususnya surat Al-Kafirun ayat 6, sementara dalam agama Hindu para pemeluk agamanya berpegang teguh pada ajaran trimurti dan Kitab Suci Weda, Reg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46).

Selain ajaran agama yang masing-masing dipegang secara teguh, toleransi dan kehidupan harmonis di desa tersebut juga tercapai karena adanya peran dari pemerintah desa yang senantiasa menyadari, bahwa adanya perbedaan tidak menutup kemungkinan memiliki potensi terjadinya konflik. Hanya saja hal ini dapat diminimalisir, dengan cara ketika muncul gejala konflik, pihak desa segera mengundang setiap tokoh agama untuk mengendalikan suasana. Sementara pemahaman masyarakat desa tentang toleransi sudah menjadi pemahama bersama secara turun-temurun.

Toleransi oleh masyarakat telah menjadi kesadaran yang mengakar dalam hati nurani masing-masing pemeluk agama, hal tersebut memudahkan pemerintah desa dalam meredam gejala konflik yang muncul. Dalam konteks ini, proses interaksi pada masyarakat majemuk mampu dijadikan sebagai sarana untuk saling mengenal. Secara struktural fungsional, agama melayani kebutuhan-kebutuhan manusia untuk mencari kebenaran, mengatasi dan menetralkan berbagai hal dalam kehidupannya. Semua agama mempunyai ajaran yang pada hakikatnya bersifat mendasar dan umumnya berkenaan dengan eksistensi dan perjalanan hidup manusia.

Bagi masyarakat Desa Gatak, secara normatif, nilai-nilai dasar yang menjadi landasan terbentuknya toleransi adalah sebagai berikut.

Pertama, ajaran agama. Pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu masing-masing berpegang teguh pada nilai-nilai agama yang mereka yakini. Kedua, nilai budaya yang telah mentradisi. Misalnya, gotong-royong dan guyub-rukun antarwarga. Masyarakat Desa Gatak tetap mempertahankan budaya ini sebagai wujud kebutuhan bersama, sekaligus nilai yang membangun sikap kebersamaan di tengah perbedaan agama.

Sedangkan secara empirik, nilai-nilai yang menjadi landasan toleransi adalah sebagai berikut.

Pertama, nilai kemanusiaan. Secara kodrati manusia dipandang sebagai makhluk sosial dan individual. Manusia senantiasa membutuhkan pertolongan orang lain dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Karena itu, setiap orang, golongan, atau kelompok dituntut untuk bisa saling berpartisipasi, berkomunikasi, dan bergaul dengan yang lainnya. Tuntutan dalam kehidupan bersama yang pada tahap berikutnya memunculkan sikap toleransi. Sikap toleransi inilah yang pada tahap selanjutnya memupuk rasa persaudaraan antarwarga.

Kedua, hati nurani. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki rasa simpati dan empati kepada sesamanya. Apalagi di lingkungan pedesaan yang ikatan rasa persaudaraannya tergolong kuat, kepeduliaan terhadap tetangga masih sangat dijunjung tinggi, apa pun agamanya. Ketiga, nilai historis. Sejak dahulu masyarakat Desa Gatak saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Secara turun-temurun mereka sudah memiliki sikap toleran terhadap perbedaan agama yang ada.

Keempat, keteladanan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Para tokoh yang ada di masyarakat selalu memberikan contoh dalam rangka pelestarian sikap toleransi. Kelima, yaitu nilai kesabaran. Mengingat setiap individu memiliki kepentingan dan kebebasan, maka nilai kesabaran mampu membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa suatu kebebasan tidak dapat dilakukan secara mutlak. Nilai-nilai dasar toleransi ini tidak tumbuh dan muncul begitu saja dalam setiap generasi. Semua ditanamkan sejak dini, mulai dari lingkup keluarga, melibatkan anak-anak dalam berbagi kegiatan keagamaan maupun kegiatan desa bersama seluruh anggota masyarakat lain.

Pola interaksi dan kehidupan seperti masyarakat di Desa Gatak inilah yang diharapkan dapat menjadi role model ataupun alternatif bagi terciptanya kehidupan toleran dan harmonis antar umat beragama di Indonesia.

*Ditulis berdasarkan hasil penelitian terhadap pola interaksi masyarakat Desa Gatak selama 3 bulan mulai Februari sampai April 2019.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Puput Dwi Lestari

Mahasiswi Program Magister Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga; Santri Ngaji Filsafat; Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif III