Cerita-Cerita Pengembara Ilmu
Seberapa jauh kita sudah melangsungkan pengembaraan ilmu, mencari pegetahuan untuk bekal kehidupan? Baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, kelak.
Dalam menjalani kehidupan dunia maupun untuk nanti bekal di akhirat membutuhkan ilmu. Sebagaimana yang telah disabdakan Baginda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Asakir, “Siapa pun yang menghendaki (keberhasilan) dunia maka ia harus berilmu. Siapa pun yang menghendaki (keberuntungan) akhirat ia pun harus berilmu. Dan siapa pun yang menghendaki keduanya, tentu ia harus berilmu”.
Dari hadis di atas kita mengerti akan pentingnya ilmu sebagai perangkat utama untuk mencari dan menggapai ridha Allah SWT di dunia maupun di akhirat.
Perlu diketahui terlebih dahulu, kata “al-sanatir” adalah bentuk jamak dari kata “santri” (pencari ilmu). Sebuah sebutan untuk para penuntut ilmu yang bermukim di pondok pesantren. Mereka rela jauh dari orang tua demi tujuan mulia yang tak lain adalah mencari ilmu. Baik ilmu agama maupun ilmu umum. Bekal untuk laku hidup berkualitas dan cerdas.
Meski demikian, santri tak hanya berkutat pada kecerdasan intelektual dan memprioritaskan nilai akademis saja. Lebih dari itu, santri juga belajar berakhlak, beretika, dan bersosial yang semua itu terpraktikkan dalam keseharian di pesantren.
Sebagaimana ungkapan Gus Ach Dhofir Zuhry dalam buku Peradaban Sarung (2018), “Pesantren rintisan para kiai adalah lembaga pendidikan yang lebih menomorsatukan pembentukan karakter dan penguatan moral daripada sekedar kecerdasan intelektual.”
Dalam mukadimah kitab Al-Sanatir ini, Musa Musthofa Attamaniy mengutip perkataan Imam Junaid, yang terjemahan bebasnya kurang lebih demikian, “Cerita/kisah sebagaimana tantara/prajurit dari sekian tantara-tentara Allah SWT yang dapat menguatkan/memantapkan hati para murid” (hlm. 3).
Tentunya yang dimaksudkan di sini adalah cerita-cerita ulama atau santri. Karena dengan cerita-cerita demikian, hati para santri, murid, peserta didik menjadi tergugah dan termotivasi untuk lebih gigih dan bersungguh-sungguh dalam belajar mencari ilmu untuk bekal hidupnya.
Syaikh Syarofuddin Yahya Al-Imrithi dalam kitab Nadham Imrithi, lebih tepatnya pada bab I’rab al-Fi’li, bait ke empat, dikatakan, “La tarum ilman wa tatruk al-ta’ab”. Maksudnya, jangan engkau mengharapkan ilmu bersamaan dengan engkau meninggalkan rasa lelah.
Maka dari itu, rasa lelah, capek, dan barangkali bosan adalah sebuah keniscayaan dalam menuntut ilmu. Santri yang memang benar ingin menghendaki ilmu, pengetahuan, dan wawasan sudah seharusnya menelan kepayahan dan rasa lelah. Oleh karena itu, ulama-ulama terdahulu sangatlah habis-habisan dalam belajar dan mengabaikan rasa lelah.
Lantas, sejauh mana kita sudah mencurahkan segenap usaha dan upaya kita untuk mencari ilmu?
Kitab Al-Sanatir buah karya Musa Musthofa Attamaniy menyajikan beragam cerita-cerita para pengembara ilmu yang militan. Secara umum, kitab ini menyuguhkan fragmen-fragmen murid, berikut guru dalam cerita yang berkutat pada ilmu dan pengaplikasikannya.
Membaca kitab ini, sekurang-kurangnya dapat menjadi parameter bagi pribadi kita dalam mempertimbangkan langkah-langkah dan sewaktu mengambil tindakan dalam pengembaraan ilmu. Seperti bagaimana kita besungguh-sungguh, bertindak-beradab kepada guru, orang tua, dan sesama teman sejawat, dan lain sebagainya.
Kitab ini menyajikan 29 topik cerita yang mengandung banyak hikmah. Seperti bahwa belajar dari pengalaman, tidak harus terlebih dahulu kita mengalaminya. Tetapi bisa juga dengan kita membaca dan mengamati untuk mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain.
Dari 29 topik atau tema cerita dalam kitab, akan ditemukan beragam tema yang menarik, di antaranya yaitu, keutamaan ahli ilmu, memilih guru yang jujur, keterikatan batin antara guru dan murid, dampak mengkhianati guru, dan restu seorang guru lebih utama daripada ilmu yang diajarkan, dan lain sebagainya.
Disebutkan dalam kitab Al-Sanatir ini, kisah mengenai konsekuensi dari kesembronoan seorang santri terhadap gurunya. Berikut ceritanya:
“Diriwayatkan bahwasanya ada sorang santri yang menghendaki ingin diajari oleh gurunya tentang al-asma al-a’dzham (Allah SWT beserta nama-namanya yang agung). Sang guru pun memberikannya suatu barang yang tertutup. Sang guru berkata, ‘Berikan barang ini kepada muridku, si fulan!’ Kemudian si murid menerimanya, akan tetapi dalam perjalanan ia justru membuka barang tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Keluarlah dari barang itu, seekor tikus. Lantas, si murid pun pulang dengan rasa kekesalan yang teramat sangat. Sesampainya dihadapan guru, sang guru tersenyum simpul dan berkata, ‘Jika kamu tidak dapat dipercaya untuk [mengantar barang ini] seekor tikus, lantas bagaimana kamu dapat dipercaya untuk menerima lebih-lebih menyampaikan al-asma al-a’dzham’.” (hlm. 12).
Ada pula cerita yang mengulik tentang pentingnya memilih seorang guru, lebih-lebih guru dalam hal agama. Contohnya, imam besar dalam bidang hadis—sewaktu dalam proses pencarian dan pengumpulan hadis sahih—yakni Imam Bukhari.
“Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari pergi untuk mencari hadis dari seseorang ulama. Sesampainya dikediaman seseorang tersebut, Imam Bukhari melihat orang tersebut seperti sedang memanggil kudanya dengan isyarat sorbannya yang seakan di dalam sorban tersebut terdapat gandum untuk diberikan ke kuda. Mendapati demikian, Imam Bukari bertanya, ‘Adakah gandum, padamu?’ Orang tersebut menjawab, ‘Tidak, melainkan hanya untuk mengecoh (memanggil) kuda itu’. Mendengar jawaban itu, Imam Bukhari seketika berkata, ‘Saya tidak akan mengambil atau menerima sebuah hadis dari seseorang yang berbohong meskipun hanya pada hewan’.” (hlm. 14).
Dari cerita di atas, kita belajar langkah yang tepat dalam menentukan seorang guru. Seorang guru, jika dalam perangainya saja sudah tidak dapat mengimplementasikan ilmunya, maka alangkah baiknya mencari guru yang lebih dapat mengejawantahkan ilmunya dalam laku keseharian.
Kita dapat melihat bagaimana sosok Imam Bukhari, sangatlah berhati-hati dalam belajar. Dalam hal ini ditampilkan secara implisit, dengan menyimak sikap beliau dalam berguru kepada seseorang. Imam Bukhari tidak main-main dalam urusan keilmuan. Laku seluruh kediriannya benar-benar dipertaruhkan demi keabsahan hadis-hadis yang diriwayatkan.
Dari sekian cerita-cerita yang ditampilkan dalam kitab Al-Sanatir, setidaknya kita dapat mengambil benang merah dari setiap cerita, yakni memahami bagaimana para ulama terdahulu dalam mengoptimalkan segenap usaha lahir maupun batin dalam mencari ilmu, dan memanfaatkan setiap detik waktu yang bergulir dengan baik dan benar.
Kitab ini sangat tepat dan relevan untuk dikaji bagi kalangan santri khususnya dan pelajar pada umumnya. Setiap cerita juga disertai referensi yang merujuk pada kitab-kitab dari masing-masing cerita. Kitab Al-Sanatir yang tidak terlalu tebal, memudahkan pembaca ketika ingin membawanya. Ringkas, tidak terlalu memakan tempat. Untuk merampungkan kitab ini dapat dilakukan dalam satu, dua, atau tiga kali kesempatan duduk.
Sudah barang tentu, setiap karya memiliki kelebihan dan kekurangan. Seandainya dapat dikatakan sebagai kekurangan setelah membaca kitab ini, yakni tidak mencakup kisah-kisah santri dan ulama Nusantara. Sebutan “santri” akrab dipakai di Indonesia untuk pencari ilmu yang menetap di pondok pesantren. Sehingga sebelum membaca kitab ini sudah termotivasi sekaligus berekspektasi akan terdapat kisah-kisah ulama Nusantara berikut kearifan lokalnya.
Penulis merekomendasikan kitab ini untuk segera diselami setiap halaman demi halaman. Karena setiap kisah ulama pasti menarik, menghibur, asyik, menginspirasi, dan pasti mengandung hikmah. Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!
Category : resensi
SHARE THIS POST