Berdoa
Sebagai manusia, ketidakberdayaan dan keterbatasan adalah niscaya. Kendati demikian, manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang setiap kali merasa patut untuk dikabulkan menjadi kenyataan. Padahal, kekuasaan bukan milik manusia. Seperti kata teman saya sekitar tujuh bulan yang lalu, di sebuah warung kopi ditemani rintik hujan dan kilatan petir yang jaraknya seperti di atas ubun-ubun, “Manusia itu wayang bro. Usaha dan doa itu memang harus, tapi keputusan finalnya ada di tangan-Nya”.
Ia bercerita soal adiknya yang memiliki penyakit tetapi tidak kunjung sembuh. Penyakit satu sembuh, datang penyakit yang lainnya lagi. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Sampai-sampai tiga ekor sapi yang setiap hari dirawatnya dengan ketekunan, ludes, dijual untuk biaya pengobatan adiknya.
Ketika saya menduga sekenanya, barangkali adiknya itu terkena teluh atau diguna-guna. Ia menyangkal, bahwa keluarganya tidak memiliki riwayat dendam pada siapa pun. Jawabannya justru menohok, “Sesama keluarga petani kayak kita itu rugi kalau punya dendam. Kalau yang duduk jadi anggota dewan, yang sering korupsi, nah itu, aku malah dendam sama mereka”.
Ia kemudian mampu berusaha pasrah, dan jalan satu-satunya yang ditempuh dengan berdoa. Menggantungkan segala upaya, permintaan, dan pengharapan kepada yang Maha Mengabulkan. Sebagai umat yang beragama, keputusan itu saya kira sudah pas. Saya sendiri kerap terjebak pada situasi yang menunjukkan saya ini tidak berdaya, terbatas, dan lemah. Kembali, jalan yang dipilih hanya satu, yaitu berdoa. Selebihnya pasrah, menunggu doa itu dikabulkan atau tidak bukan kuasa kita lagi.
Momen yang kerap kali saya ingat adalah waktu ujian semester pada semua jenjang pendidikan yang sudah saya tempuh. Belajar pontang-panting, ditambah lagi ikut bimbingan belajar, masih harus tirakat mengurangi waktu bermain dan menonton televisi, tetapi kepastian hasil ujiannya masih tetap menggantung. Saya masih dihantui rasa harap-harap cemas. Kembali lagi, kekuatan doa dipanjatkan pada momen-momen demikian itu.
Begitupun saat saya melalui ujian sidang akhir. Ujian yang memakan waktu kurang lebih satu jam itu, membuat saya berkali-kali harus membaca salawat dan doa. Tidak cukup dengan itu, orang tua ketika mendengar kabar ini, juga melegakan saya dengan mengatakan, “Tak dongakne moga-moga lancar ujiannya le”.
Padahal tugas akhir itu saya garap sekitar dua bulan sebelumnya. Data-data saya cari, kemudian dipilah sesuai topik permasalah sejak setahun yang lalu. Begitupun referensi dari buku, jurnal, dan majalah yang relevan sudah saya kumpulkan jauh-jauh hari. Tetapi tetap saja, saya harus berdoa banyak-banyak supaya ujian sidang akhirnya tidak dibantai dan disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terduga dari para penguji.
Bahkan ketika saya menonton sinetron yang tayang di televisi dengan alur cerita monoton, yang kerap dijumpai sebuah momen kecelakaan atau tabrakan. Entah itu korbannya aktor utamanya yang protagonis atau yang antagonis. Kemudian dirawat di rumah sakit, lengkap dengan infus, perawat, dokter, dan wajah gugup para penjenguknya. Ketika momen sedang genting dan keadaan korban yang belum tentu, dokter keluar dan mengatakan, “Anda keluarganya? Yang sabar ya. Kondisinya mengkhawatirkan, banyak-banyak berdoa”.
Namun doa-doa itu semua tidak berjalan mulus. Doa-doa yang dipanjatkan seringnya tidak dikabulkan sesuai keinginan. Antara pengharapan melalui doa dengan kenyataan yang didapat kerapkali bertolak belakang, malah seringnya tidak sama persis: dalam sinetron ataupun dalam kenyatannya. Saat ujian sidang tugas akhir, misalnya, saya malah kena bantai dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak saya antisipasi sebelumnya. Akhirnya menjawab dengan gagap wal gugup.
***
Sesungguhnya setiap usaha dan doa yang ditunaikan manusia ada keterbatasan pengetahuan manusia. Manusia hanya mengetahui keinginan atau kebutuhan yang dianggapnya penting. Padahal bisa jadi sebaliknya, keinginan itu malah menjerumuskannya ke dalam keburukan.
Pengetahuan seorang manusia atau hamba tentunya terbatas, dan berbeda dengan pengetahuan Allah yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui. Dia tahu berapa takaran yang pas untuk setiap hambanya, akan mengabulkan setiap usaha dan doa setiap manusia atau tidak. Dia tidak mungkin keliru. Tidak mungkin juga berdasarkan kalkulasi yang asal-asalan.
Ada kalanya, seseorang berusaha dengan susah payah. Kerja banting tulang, berdoa semalaman agar diberi rezeki yang lancar, sehat seger waras, tetapi hasilnya bisa tetap saja tidak beranjak dari kondisi yang sedang dijalani. Tetap saja di tempat, tidak berubah sama sekali. Allah sengaja tidak mengabulkan doa, atau dikabulkan sedikit, atau bisa jadi dikabulkan nanti kepada anak keturunannya.
Ada kalanya juga, seseorang yang usahanya sedikit, berdoa sekadarnya. Namun selalu menemui keberuntungan dari terkabulnya doa. Seakan-akan setiap usahanya berhasil, setiap doanya dikabulkan oleh-Nya tanpa menunggu nanti. Allah tahu bahwa umatnya yang ini memang membutuhkan, atau bisa jadi umatnya ini sudah mampu diberi kemudahan dari setiap doa dan usahanya sehingga tidak membuatnya berpaling kepada Allah. Malah justru sebagai sarana untuk semakin mendekatkan dirinya dengan-Nya.
Tetapi yang pasti, entah doa dan usaha itu dikabulkan sekarang atau nanti, ada cinta Allah di dalamnya. Dikabulkannya doa, berarti Allah mengejawantahkan cinta kepada umatnya dengan memberi kemudahan dalam setiap urusan. Sedangkan dengan tidak mengabulkannya, Allah melindungi umatnya dari segala mara bahaya.
Apesnya, saya menyadarai pemahaman uraian yang demikian itu secara rasional baru belakangan ini. Tepatnya kemarin sore, setelah mendengarkan Ngaji Filsafat edisi Falsafah Hidup tentang Doa (10/7/2019). Awalnya saya ingin menonton stand-up comedy atau tontonan lainnya yang bisa mengundang tawa. Semacam mencari pengalihan dan hiburan saat kondisi penat, bosan, dan jenuh mengetahui banyak artikel sekaligus kabar yang berseliweran di berbagai media terkait pagebluk. Celaka betul.
Terakhir, saya ingin memungkasi tulisan ini dengan mengutip quote dari Reinhold Niebuhr, “God, grant me the serenity to accept the things I can’t change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference the one from another” (Tuhan, berilah aku keikhlasan untuk menerima segala yang tak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah segala yang bisa kuubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya).
Category : keislaman
SHARE THIS POST