Belajar dari Playmaker NU KH. Wahab Hasbullah
“K.H. Wahab Hasbullah, Playmaker Politik NU”, demikian judul tulisan yang ditulis oleh Fariz Alniezar pada 29 Desember 2017 di tirto.id. Tulisan itu bicara panjang lebar mengenai kiprah Mbah Wahab, panggilan keakrabaan santri-santri Tambakberas terhadap beliau, terutama di dalam percaturan politik negara.
Disebut sebagai “playmaker” karena memang peran Mbah Wahab di dalam Nahdlatul Ulama (NU) sudah seperti peran gelandang serang yang berposisi di depan garis pertahanan lawan dalam pertandingan sepak bola.
Playmaker sendiri sering dimaknai sebagai pemain yang memiliki peran sebagai pengatur pertandingan, penentu jalannya laga, kunci dalam serangan yang dibangun oleh tim. Karena fungsinya sebagai kunci dalam membangun serangan, maka playmaker seringkali identik dengan posisi gelandang serang. Meski pada perkembangannya, playmaker bisa diperankan oleh siapa saja, termasuk bek (silahkan membayangkan Trent Alex Arnold atau Leonardo Bonucci).
Sebagai pemain yang menentukan jalannya laga, playmaker dituntut bekerja keras, juga kreatif. Hal yang sama juga terjadi pada sosok KH. Wahab Hasbullah. Kerja keras dan kerja kreatifnya dalam menahkodai NU adalah bentuk dedikasinya sebagai playmaker.
Pada sosok Mbah Wahab, kerja keras tersebut misalnya tercermin dari usaha beliau dalam membentuk NU. Organisasi yang awal dibentuknya bertujuan untuk menaungi kiai-kiai pesantren ini tidak berdiri dengan tanpa rintangan.
Sudah menjadi kisah masyhur di kalangan santri, pada masa berniat mendirikan NU, Mbah Wahab keliling antar pesantren menemui kiai-kiai untuk mengajak mereka mendirikan organisasi kiai.
Bisa ditebak, usul Mbah Wahab saat itu tidak segera mendapat sambutan hangat dari kiai-kiai. Satu-dua kiai masih meragukan niat Mbah Wahab dengan alasan (dari cerita yang saya dengar), tidak ada di zaman Nabi. Meski sebenarnya saya curiga, alasan utama kiai-kiai sepuh waktu itu adalah karena usia kyai Wahab yang masih terlampau muda untuk mendirikan sebuah organisasi yang membawahi kiai-kiai sepuh nan kharismatik.
Tetapi bukan playmaker hebat namanya kalau menyerah begitu saja. Mbah Wahab masih terus mencoba “merayu” para kiai ini, termasuk guru yang sangat beliau ta’dhimi, KH. Hasyim Asy’ari. Ibarat playmaker sepak bola, Mbah Wahab saat itu sedang berusaha menembus Catenasio ala Italia yang terbangun kokoh dalam kultur kiai pesantren.
Dua tahun semenjak pertama kali Mbah Wahab mengajukan rencana pendirian NU (1924), barulah restu itu didapat. Mbah Wahab berhasil menembus pertahanan tersebut. Pada 31 Januari 1926 NU dideklarasikan di rumah (mertua) beliau, di Kertopaten Surabaya. Lagi-lagi, Mbah Wahab menampilkan kerja kerasnya. Beliau harus segera setidaknya menyiapkan bahan mentah AD/ART NU.
Cerita-cerita di sekitar muktamar NU, atau pengalaman berorganisasi telah cukup menjadi penjelasan kongkret bahwa mengurusi AD/ART adalah hal yang melelahkan. Belum lagi menyiapkan akomodasi kiai NU pada masa deklarasi ini. Sulit membayangkan bagaimana kerja keras Mbah Wahab baik secara fisik, psikis hingga materi yang telah dilakukan.
Satu tolak ukur lain dalam menentukan playmaker hebat, dan ini lebih penting, adalah kreativitas. Muskil seorang pemain menjadi playmaker hebat jika minim kreativitas, karena inilah yang dibutuhkan saat menghadapi pertahanan yang rapat.
Untuk masalah kreativitas, Mbah Wahab tidak perlu diragukan lagi. Kisah tentang kurban satu sapi untuk delapan orang adalah bukti sahih akan hal ini. Dikisahkan, suatu hari ada seseorang yang sowan kepada KH. Bisyri Syansuri. Orang ini hendak mengajukan pertanyaan pada Kiai Bisyri perihal kurban sapi yang diperuntukkan untuk keluarganya yang berjumlah delapan.
Bukannya tidak tahu, jika sapi hanya untuk tujuh orang, tetapi karena salah satu anggota keluarganya masih kecil orang ini hendak “menegosiasikan” hukum fikih yang sudah dirumuskan. Biar di akhirat satu keluarga bisa sama-sama dalam satu kendaraan. Pikir orang ini.
Karena Kiai Bisyri adalah orang yang patuh pada produk fikih, maka keputusannya pun bulat, tidak bisa. Selamanya sapi hanya untuk tujuh orang. Saat masalah yang sama diajukan kepada Mbah Wahab, jawaban lain diterima orang tersebut. Bisa, tetapi harus ditambah dengan satu kambing. Sebagai tangga saat si anak kecil dalam keluarganya hendak naik ke punggung sapi di akhirat kelak. Orang tersebut pulang dengan sumringah. Kreativitas jawaban Mbah Wahab (dengan tanpa menghilangkan aturan pokok), telah menyelesaikan masalah kurban sapi untuk delapan anggota keluarganya.
Hasil keativitas Mbah Wahab yang paling fenomenal tentu adalah NU, tanpa berusaha mengesampingkan organisasi lain yang telah beliau dirikan: Nahdlatul Wathan (1914), Nahdlatut Tujjar (1918), dan Taswirul Afkar (1919).
NU adalah sebuah gebrakan luar biasa pada zaman itu. Mudah bagi kita untuk membayangkan pendirian organisasi semacam ini jika yang diajak adalah orang-orang telah bersentuhan dengan pemikiran modern. Tetapi kasus Mbah Wahab dan ide NU-nya adalah lain soal.
NU diajukan kepada sekelompok kiai yang sangat berhati-hati dalam membuat keputusan, dan harus diakui kurang berani mendobrak kemapanan. Hal ini dapat dimaklumi karena pada saat itu pengorganisasian semacam ini dianggap menyerupai kaum penjajah, tidak pernah ada di masa Rasul, juga takut terjerumus pada gaya Barat.
Tetapi layaknya playmaker kelas wahid yang kerap mengubah jalannya laga, Mbah Wahab saat itu juga berhasil dengan gemilang “mengubah” jalan pikiran banyak kiai untuk setuju pada usul beliau tentang pendirian NU. Didukung oleh isyarat tongkat dan tasbih KH. Kholil Bangkalan yang diterima oleh KH. Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab pun mendapat restu dari gurunya. Tidak lama kemudian menyusul banyak kiai dari berbagai pesantren mendukung niat Mbah Wahab mendirikan NU.
Sebagai playmaker, Mbah Wahab tidak pernah merasa risau dengan posisi bermainnya di dalam NU. Sebagai playmaker, yang paling penting bukanlah di posisi mana ia bermain, tetapi sebagai apa ia berperan. Bagi Mbah Wahab, yang penting adalah bisa tetap menjadi “pelayan” umat sebagaimana playmaker yang melayani kebutuhan pemain lain untuk mencetak gol.
Semangat melayani ala Mbah Wahab inilah yang kemarin ditekankan oleh KH. Ahmad Bahauddin Nursalim saat mengisi acara haul KH. Wahab Hasbullah di PP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang pada 2 Juli 2020 kemarin. Semangat yang semestinya diwarisi temurun kepada anak-anak ruhani Mbah Wahab.
Category : keislaman
SHARE THIS POST