Menjadi pekerja saat menjalani kuliah, membuat mahasiswa harus pintar-pintar dalam membagi waktu. Konon, waktu bagai uang kata teman-teman saya yang menekuni dunia pekerjaan.
Selain ingin mendapatkan uang, seorang pekerja juga ingin mendapatkan pengalaman. Pengalaman menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi saat kelak ingin bekerja formal setelah lulus.
Sebagai mahasiswa yang tidak bekerja alias pengangguran, terus terang saya iri dengan teman-teman saya yang menjalani kehidupan dengan pekerjaan part time. Saya menganggap bahwa mereka yang bisa part time bisa memberikan sedikit ketenangan secara materi karena meringankan beban orang tua dan bisa berdikari atas dirinya sendiri.
Minggu lalu, saya mengikuti sebuah acara pelatihan basis. Saya bertemu dengan teman-teman dari latar belakang pendidikan yang berbeda. Di tempat tersebut, saya mendapatkan materi-materi yang notabene agak berat, seperti teori pembangunan dunia ketiga, ekopol, geoekosospol, dan sejarah ideologi dunia. Saya tidak yakin akan mencerna semua materi ini dan akan langsung paham.
Sebagai peserta, tugas saya hanya menerima materi, mendiskusikannya dengan teman-teman, dan melakukan aktivitas sesuai rundown. Ketika bertemu dengan pemateri, saya berpikir apakah saya bisa seperti mereka yang mempunyai kemapanan pengetahuan yang cukup luas dan mampu memberikan ilmu di setiap detik dalam hembusan nafas yang dimiliki, serta bermanfaat bagi orang lain karena ilmu-ilmu yang dimilikinya?
Menjadi pembicara juga termasuk bekerja karena ia meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan ilmu-ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Lantas bagaimana menjelaskan kepada orang-orang tentang pekerjaan menjadi pembicara? Saya rasa ini membutuhkan tenaga yang cukup apalagi untuk menjelaskan kepada keluarga, terutama orang tua.
Di twitter sempat ramai diperbincangkan tentang honor pembicara yang kadang hanya dibalas dengan 2M; makan dan minum. Sebenarnya tidak semua pembicara keberatan dengan hal itu karena paham bahwa, acara tersebut tidak ada hal yang bisa diberikan sama sekali selain penyambutan ala kadarnya. Oleh karena itu, dalam kasus ini, harus ada keterbukaan antara penyelenggara dan pembicara.
Saya ingat, salah satu pembicara yang pernah saya temui pernah mengatakan bahwa, “Pembicara harusnya tidak hanya diberikan makan dan minum saja, karena proses memiliki ilmu itu sudah mengeluarkan tenaga dan materi yang banyak. Walaupun tidak ada uang, minimal ada reward dalam bentuk lain,” ungkapnya.
Di masa lalu, bekerja secara ideal hanya dilakukan di kantor dengan waktu tertentu dan seragam seperti aparatur sipil negara (ASN). Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya agar sukses dengan standar-standar tersebut: berseragam dan berpangkat.
Namun, saat ini, bekerja sudah punya berbagai alternatif. Dan bahkan tidak harus selalu berada di kantor dan terpaut jam-jam yang telah ditentukan oleh bos.
Menunda Pekerjaan
Pekerjaan tersebut bisa disebut sebagai pekerjaan lepas atau dikenal dengan istilah freelance. Pekerjaan jenis ini bisa dilakukan di mana saja dengan deadline tertentu. Para freelancer biasanya lebih sering mendapat stigma pengangguran yang banyak menghabiskan waktu di rumah karena tidak terikat waktu kerja. Sebagian orang menganggapnya hal yang mudah, tetapi tidak semudah itu juga.
Selain dilakukan di rumah, pekerjaan semacam itu juga punya waktu yang fleksibel dan menjadi salah satu alasan para anak muda untuk memilih sebagai freelancer.
Bagi yang menginginkan pekerjaan tanpa banyak aturan, agaknya freelance ini menjadi salah satu opsi yang membuat masyarakat bisa memiliki pekerjaan tanpa merepotkan pekerjaan yang lainnya. Konon bekerja freelance merupakan kerja-kerja paling merdeka, karena bos adalah diri sendiri.
Walaupun begitu, menjadi seorang freelancer juga punya tantangannya sendiri. Ia harus bisa mengatur waktu agar bisa menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik. Harus pintar membuat target agar semua pekerjaan tidak tercecer.
Saat menjadi seorang freelancer, saya menyadari bahwa pekerjaan semacam ini tidak jauh-jauh dari prokrastinasi. Prokrastinasi adalah ilmu psikologi yang membahas tentang suka melakukan penundaan terhadap pekerjaan yang seharusnya dilakukan pada saat tertentu.
Sering kali seorang freelancer melakukan penundaan di banyak hal karena merasa bahwa dirinya masih mempunyai waktu yang panjang. Hal semacam ini tercermin ketika melakukan pekerjaan apa pun dan sering kali dilakukan berulang-ulang.
Banyak freelancer sadar bahwa saat mengalami prokrastinasi adalah hal buruk. Mereka juga sadar dan menyesal telah menyia-siakan waktu dengan menunda-nunda pekerjaan.
Seseorang yang mengidap prokrastinasi pada akhirnya terjebak pada ketidakmampuan membagi waktu, kerap memicu munculnya stres berlebihan, dan memberi pengaruh pada disfungsi psikologis individu. Selain itu, menunda-nunda pekerjaan dapat membuat pekerjaan berjalan tidak maksimal.
Sepanjang melakukan rutinitas prokrastinasi, saya susah sekali berkonsentrasi dan perasaan cemas selalu menyelimuti. Namun, perasaan seperti ini bisa diatasi dengan kontrol diri agar tidak terjebak pada kondisi yang demikian.
Selain itu, nyaman bekerja di tempat kerja merupakan salah satu yang menjadi pertimbangan seseorang saat mencari pekerjaan. Seseorang bisa bekerja dalam jangka waktu yang lama ketika mendapatkan tempat kerja yang nyaman sekaligus aman.
Hal ini tentu saja akan berkaitan dengan kondisi psikologis pekerja, selain juga soal kesejahteraan yang akan didapatkannya.
Sebagai penutup, saya akan mengutip salah satu cerita di buku Keris Kang Trontong (2019) yang ditulis KH. Achmad Chaedar Idris. Di buku itu ada cerita Om Gojeh yang kerjanya menjadi pendemo. Ia nyaman dengan kerjaannya. Ia juga gerak cepat jika ada panggilan untuk mendemo sesuatu.
Tapi ada satu hal yang enggan ia lakukan saat berdemo, bukan karena bayarannya tidak cocok dan capek kepanasan. Melainkan ia emoh bertaruh untuk mogok makan selama empat hari. Karena baginya, itu sama saja dengan bunuh diri yang membawa dirinya kelak ke neraka.
Katanya: "Saya takut neraka. Honor paling ecek-ecek (bayaran sebagai pendemo), suruh tanggung azab neraka, nggak mau aku."