Bakasura dalam Diri Manusia

slider
18 November 2022
|
1740

Judul: Nggragas! | Penulis: Triyanto Triwikromo | Penerbit: IRCiSoD, 2021 | Tebal: 212 halaman | ISBN: 978-623-7378-37-2

Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga segerombolan serigala…” Sapardi Djoko Damono

Menurut filsafat orang Cina, tubuh setiap orang mengandung empat unsur anasir yang terdiri dari api, udara, tanah, dan air. Keempat unsur itu memiliki bagian dan fungsi masing-masing serta merupakan empat elemen yang memengaruhi kepribadian. Salah satu unsur, yakni api, konon merupakan elemen pembentuk karakter marah, kejam, atau bergairah.

Dalam prosesnya, unsur api di dalam tubuh membakar hati atau emosi sehingga menampakkan sikap kebinatangan. Kalau amarah sudah tak terbendung misalnya, orang bisa saja bertindak nyeleneh tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya. Bahkan tidak sedikit orang yang bertindak senonoh dan ngawur manakala ia dihadapkan pada kejadian yang membuat dirinya naik darah. Keberlangsungan tersebut merupakan sebentuk akibat unsur api yang menguasai diri. 

Triyanto Triwikromo melalui bukunya yang bertajuk Nggragas, menyikapi sifat kebinatangan tersebut dengan mengupas secara perlahan tetapi pasti. Sebagian dari 46 esai dalam buku ini seperti ingin menggambarkan betapa manusia mempunyai sikap nggragas yang sewaktu-waktu dapat membuas manakala dihadapkan pada sesuatu yang sungguh-sungguh diinginkan.

Sastrawan cum dosen yang kini tinggal di Semarang itu mengibaratkan kegarangan manusia seperti tokoh wayang yang bernama Bakasura. Bakasura dalam Mahabarata digambarkan sebagai sosok yang tidak mengenal kata cukup. “Ia makan tak sesuai kebutuhan,” kata Kunti kepada Bima. “Kalau saja gunung bisa dimakan, ia akan menelan gunung itu tanpa sisa” (hlm. 199).

Membaca esai dalam buku ini pikiran kita akan tergelincir pada istilah yang berbunyi, “Diberi hati, minta empedu. Diberi ini, minta itu”. Betapa sikap nggragas bak sudah menjadi keniscayaan, seolah-olah sudah sejak lahir sifat seperti Bakasura yang rakus tertanam di dalam jiwa setiap orang. Bukankah keinginan apabila dipenuhi niscaya minta lagi?

Dalam rangka nggragas (jabatan) orang sering nggolek bolo. Nggolek bolo tidak satu makna dengan nggolek konco sebenarnya. Kendati menurut tutur orang Jawa keduanya memiliki kemiripan, tetapi aslinya sama sekali bertentangan.

Nggolek konco merupakan upaya mencari teman untuk sesuatu yang baik-baik, seperti menambah relasi maupun lingkar pertemanan. Sebaliknya, nggolek bolo lebih berkonotasi negatif, seperti misalnya merekrut pasukan untuk meruntuhkan seribu benteng (hlm. 126).

Sealur dengan itu, sikap nggolek bolo dapat kita jumpa misalnya seperti saat menyongsong hari pemilu. Menjelang pemilu beberapa orang umumnya pawai beramai-ramai di jalanan atau sekadar lewat pamflet.

Ada juga yang lebih dini menonjolkan sikap karismatik dengan mengumbar janji-janji. Dan ada juga yang diam-diam memberi sepucuk amplop. Nah, di sela-sela keriuhan itu, disadari atau tidak, si Caleg sebenarnya sedang berupaya mencari massa sebanyak-banyaknya: nggolek bolo demi kemenangan dirinya dalam berpolitik.

Triyanto mengibaratkan prototipe orang nggolek bolo demikian seperti tindakan Rahwana yang memengaruhi Gunawan Wibisana dan Kumbarta. Konon Rahwana mengumpulkan beribu pasukan kera demi berperang melawan Rama yang waktu itu kuat-kokoh. Namun upaya Rahwana nggolek bolo membuahkan duka sedalam samudera, yang berujung tidak sedikit mayat pasukan kera yang bergelimpangan.

Lebih jauh, tindakan nggolek bolo dapat dikatakan memiliki satu risiko murni, yakni mala, alias kena sial berupa malapetaka. Jadi, siapa saja yang berupaya menggiring opini berupa pawai dalam rangka menyambut pemilu, secara tidak tampak pada saat yang sama motif tindakan nggolek bolo dibayangi oleh mala (hlm. 127).

Buku setebal 212 halaman ini tidak hanya menggambarkan manusia sebagai makhluk yang rakus dalam berpolitik, lebih dari itu, yakni juga menarasikan makhluk yang keji dan kejam.

Dalam esai Ngluwihi Kewan misalnya, pembahasan berkutat pada satu pokok keganasan manusia yang pernah terukir dalam sejarah Jawa. Pembantaian berskala besar yang dilakukan Amangkurat I terhadap ulama pada abad ke-17 cukup sebagai bukti, bahwa manusia bisa saja bersikap kejam seganas singa. Betapa dalam diri manusia—meminjam kepingan puisi Sapardi Djoko Damono—terdapat serigala yang berjaga-jaga. Hanya dalam rentang 30 menit saja, enam ribu nyawa ulama melayang dibantai Amangkurat I dengan dalih satu kata: “dendam” (hlm. 59).

Dalam esai yang berbeda, Triyanto menawarkan solusi bahwa Kabeh Ana Watese (hlm. 188). Sejujurnya keinginan manusia yang menyala-nyala, yang berniat ingin membunuh, ingin menguasai, atau membinasakan orang lain memiliki batas tertentu. Dengan maksud lain, keinginan dapat dicegah bila mampu mengendalikannya.

Dalam filsafat Ki Ageng Suryomentaram terdapat istilah yang disebut nyawang karep: meraba keinginan-keinginan. Sebuah cara filosofis bagaimana membenamkan keinginan, yakni dengan hidup sakpenake, sakbutuhe, sakperlune, sakcukupe, sabenere, lan samestine (senyamannnya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sekadarnya, dan semestinya) (hlm. 68). Sebab, orang hanya dapat merasa tenang dan tenteram bila mampu mengendalikan keinginannya, karena keinginan—kata Iwan Fals—merupakan sumber penderitaan.

Oleh karenanya, orang tidak disarankan untuk tidur berkali-kali, makan berkali-kali, atau bersenggama secara terus-menerus. Berkeinginan boleh-boleh saja, asalkan sadar di mana letak garis batas. Atau, meminjam kata emas Gus Dur, berkeinginan itu sebenarnya mulia, bila menempatkan kemanusiaan di atas politik.

Nggragas tidak seluruhnya berkutat perihal persoalan menang-kalah dalam berpolitik. Bila sedikit lebih jeli, sekonyong-konyong buku itu mengajak kita untuk merenungi pelik kehidupan secara lebih khusyuk dan cermat. Di dalamnya disertakan, misalnya dalam esai Menang Ora Menang Rukun, sebuah alegori permainan kelereng anak-anak yang memiliki prinsip rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (rukun membuat sentosa, kelahi membuat terpecah).

Anak kecil umumnya tidak marah jika kalah, menang pun hanya gembira sekadarnya, alias tidak muluk-muluk. Lebih dari itu, bahkan anak-anak tampak menikmati permainan mereka (hlm. 123).  

Secara tidak langsung Triyanto mencoba mengetengahkan perselisihan umat masa kini, baik mengenai politik, agama, budaya maupun filsafat, yang kerapkali terjadi di sana-sini melalui perumpamaan setinan. Bukankah dunia ini hanya permainan?

Namun, hal tersebut barangkali kerap kita lewatkan begitu saja sebagai orang dewasa. Bahkan dalam menyikapi suatu persolan, orang dewasa seperti kita malah lebih mudah adu mulut, entah perihal ideologi atau apa, intinya bertengkar karena beda pihak atau pilihan sang idola, termasuk ketika pemilu, sekalipun sekilas tampak merupakan hal yang remeh-temeh.

Kompleksitas hidup menjelang dunia metaverse dewasa ini yang serba kebak materi terkadang membuat aspek spiritualitas perlahan tersisihkan. Oleh sebab itu, Triyanto menyelipkan pengalaman subjektif mengenai Nyekel Gusti Allah (hlm. 88) atau Ora Butuh Apa-Apa, mengenai ajaran Tasawuf Jawa, kisah Dewa Ruci (hlm. 145), dan mengenai Wongunggul (Insan Kamil) (hlm. 165).

Sedangkan dalam esai Owah, Kapok Dadi Gareng, Nata Tutuk, Mung, Ngaku Salah, dan Dalan Padhang merupakan sederet esai yang mendedah moral, agama, dan sikap pener ala masyarakat Jawa. Persolan kecil tetapi sentral dalam keberkaitannya dengan kehidupan yang serba dinamis.

Kendati beberapa telah dipaparkan, hal itu belum menjadikan seluruh esai dalam buku Nggragas terkelupas total. Pasalnya, 46 esai masih terbagi dalam depalan sub tema besar, yakni Lemah, Lenga, Pedhut, Jurang, Lendhut, Bruwet, Nggubet, dan Pituwas. Masing-masing tema tersebut memuat enam sampai tujuh esai, tetapi ada yang empat.

Akhir kata, Nggragas recommended sebagai rujukan pengetahuan ke-Jawa-an, alih-alih sebagai pisau bedah isu-isu politik terkini maupun yang sudah terentang lama. Kelebihan karya ini terutama terletak pada cara pandang Triyanto dalam memaparkan gagasan melalui sudut pandang lakon wayang, pepatah, dan falsafah Jawa.

Lebih lagi, bahkan seluruh esai di dalamnya menggunakan analisa perspektif kebudayaan Jawa. Sebagai redaktur pelaksana sastra harian umum Suara Merdeka, Triyanto menguasai aspek budaya Jawa, hikayat cerita Ramayana dan Mahabharata sampai kepingan terkecil, yang seluruhnya tercermin dalam Nggragas!


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Taufik Ismanto

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS jilid#5