Apakah Keingintahuan Bisa Membunuhmu?
Pepatah “Curiosity killed a cat” mungkin sering kita dengar, tapi apakah kita pernah mengalami dan menyelaminya? Tentu saja tidak pernah, karena kita bukan kucing. Hahaha. Namun, seriously, adakah jenis keingintahuan yang bisa membunuh manusia? Dulu sih saya berpikiran bahwa keingintahuan itu cenderung bersifat positif karena ia adalah titik berangkat dari segala pencarian dan penemuan, tapi saya pernah berada pada fase hidup yang membuat saya belajar menangguhkan keingintahuan dan bersabar menanti jawaban.
Jadi, ya, keingintahuan bisa membunuhmu cepat atau lambat jika ia dibiarkan menjajahmu begitu saja.
Keingintahuan bisa membuat kita tanpa sadar menjadi seorang voyeur (tukang intip). Istilah ‘voyeur’ biasanya mengacu pada seseorang yang gemar menonton adegan amoral, tapi secara umum kata itu juga bisa merujuk pada orang yang suka menonton atau mencari tahu tentang kehidupan pribadi orang lain.
Ketika Sule dikabarkan bercerai, misalnya, banyak orang mendadak kepo dan menjadi hakim atas kondisi rumah tangganya. Dari perilaku kepo inilah tindakan bullying lahir. Itu adalah salah satu contoh kecilnya. Ada contoh yang lebih ekstrem. Misalnya, ketika peristiwa bom di (salah satu dari) tiga gereja Surabaya terjadi, ada saja orang yang tega mengunggah dan melihat foto tubuh pelaku bom yang berceceran di halaman gereja. Saya membayangkannya saja ngeri, lho, Gaes.
Perilaku voyeurisme di internet yang paling ekstrem saya dapati di sebuah film lama berjudul “Untraceable” yang saya tonton tadi siang. Di film yang memberi saya aftertaste tersebut, ada sebuah aksi pembunuhan yang dilakukan oleh pembuat situs killwithme.com bersama para pemirsanya. Bersama para pemirsa? Iya. Semakin banyak jumlah penonton aksi tersebut, semakin cepat korban dalam video di situs itu terbunuh.
Dari beberapa aksi pembunuhan yang dilakukan, ada satu aksi di mana si korban duduk di sebuah tabung besar berisi air. Semua bagian tubuhnya terendam kecuali kepalanya. Sang penjahat memasang pipa-pipa sedemikian rupa sehingga satu klik pada situsnya, yang otomatis memungkinkan user menjadi penonton video aksi penyiksaan tersebut, akan membuat cairan asam sulfat menetes dan bercampur dengan air di tabung besar. Semakin banyak klik, semakin banyak asam sulfat mengisi lambung tabung.
Apa yang terjadi jika asam sulfat bertemu air? Air akan mendidih dan membunuh korban! Pihak yang berwajib sudah berusaha mengimbau masyarakat agar tidak membuka situs itu, tapi imbauan tersebut justru melipatgandakan keingintahuan orang-orang. Apa akibatnya? Tentu saja korban meninggal dengan cepat.
Orang macam apa yang sanggup melakukan perbuatan sekeji itu? Pelaku kejahatan ternyata adalah seorang anak muda jenius yang sakit hati ketika video bunuh diri ayahnya disebarkan oleh media massa dan pihak yang berwajib diam saja. See? Dia adalah korban voyeurisme. Meski cerita tersebut fiksi belaka, saya mendapat sebuah pelajaran bahwa pengguna internet bisa tanpa sadar berbuat kejam terhadap orang lain dengan ke-kepo-annya.
Keingintahuan, pada taraf tertentu, juga bisa membuatmu tidak fokus dan tidak “nrimo” pada apa yang kau tahu (baca: kau punyai) saat ini. Sekira sepuluh tahun lalu saya mengalaminya sendiri.
Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah sengaja bergabung dengan sebuah jamaah yang membuat saya mempertanyakan tentang syahadat dan laku ibadah saya lainnya. Apa niat saya? Saat itu Sailormoon masih berjaya di TV, dan dengan kekuatan bulannya saya ingin menemukan kebenaran. Hahaha. Jangan ketawa, lho, ya. Niat tersebut benar-benar berhasil menggerakkan saya ke sana kemari untuk mengumpulkan berbagai jawaban. Kepala saya pada masa itu memang berlumur kekecewaan pada banyak hal dan banyak orang. Karenanya, wajar jika saya membangun sebuah rumah ideal yang bisa menaungi banyak golongan di kepala.
Nah, bayangan tentang rumah ideal itu sedikit banyak saya temukan pada jamaah yang saya masuki--bersama, salah satunya, Mbak Ririn Wulandari. Sedari awal saya tahu ada banyak dinding bolong di rumah itu, tapi saya nekat mencoba untuk menghuninya. Tahun demi tahun, saya merasa berjalan seperti mesin, bukan manusia.
Pada tahun 2008 dan 2009, saya mulai melakukan semacam studi banding ke beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Saya luntang-lantung ke beberapa kota dengan semangat bonek yang menyala di dada dan dengan dompet yang setipis kulit ari tentu saja. Hahaha.
Untungnya ada banyak teman yang mau mengerti dan membantu saya hingga saya akhirnya kembali ke Jogja dan kepentok pada Islam-Jawa. Seorang guru yang kalimat-kalimatnya kerap “menampar” akal saya, pada satu titik, sampai pernah menyarankan saya untuk sementara berhenti membaca buku, lebih sering mengontrol pikiran, dan lebih banyak diam agar saya bisa belajar mengasah rasa.
Dari beliau, saya belajar bahwa tak semua pertanyaan harus dijawab sekarang juga, tak semua pertanyaan memiliki jawaban, dan tak semua pertanyaan bisa dijawab dengan kata-kata. The answer lies within, kata Dream Theater. Jawaban itu terletak di dalam dirimu.
Keingintahuan tentu saja memiliki sisi positif, Jum. Tanpanya, tak akan ada penemuan dan pengetahuan tentang gravitasi, bahaya radiasi, dan listrik yang menerangi rumahmu--walau kadang ia byar-pet kala PLN nakal. Hahaha. Meski demikian, keingintahuan tetap saja serupa sebuah koin dengan dua wajah yang berbeda. Daripada kau lempar-lempar dan kau dapati satu wajahnya saja jika ia telah rebah ke tanah, koin itu mending kau genggam dan hanya kau gunakan untuk jajan cilok atau mie ayam saat perutmu, bukan matamu atau mulutmu atau pikiranmu, lapar sangat—ssssttt, padahal Si Jum itu tukang jajan.
Jadi, akhirnya bagaimana? Keingintahuan bisa membunuhmu atau tidak? Ealaaah, sudah panjang-lebar dijelasin, masiiiih aja nanya. Pasti malam Minggumu tidak dirayakan dengan acara jalan-jalan dan jajan-jajan ya? Kasihan. Nasibmu sama kayak nasibku kalau gitu.
Pada sepertiga malam tulisan ini saya tulis, saya ingin melantunkan Serat Rerepen gubahan Sinuhun Paku Buwono X, tapi suara saya tertelan keheningan.
Pangkur
(1) Pamundhut hingsun mring sira//Santana lan kawula kabeh hiki//Hambek taler Jawa tuhu//Tan hala haprayuga//Gayuh suprih yem tentrem hayuning srawung//Wajib netepana warah//Wuruking agama suci
(2) Narendra miwah pujangga//Wali lan pandhita jatine kaki//Karsaning Kang Maha Agung//Gunggunging Islam-Jawa//Marmane langgengna tunggal loro hiku//Ja-hana hingkang tinggal Jawa//Lan ja-hana hadoh agami
(3) Tinulis Sajroning Qur’an//Hantepana dadya laku ban hari//Miwah wanguning Kadhatun//Tindakna klawan takwa//Wit kang mangkana sira jeneng geguru//Ratu habudaya Jawa//Wali panuntun agami
Terjemahannya (menurut Pak Herman Sinung Janutama) kira-kira seperti ini:
(1) Nasihatku untuk kalian//Kerabat dan rakyat semuanya ini//Yang telah ditakdirkan menjadi orang Jawa (Nuswantara)//Tidak buruk, bahkan utama//Mencitakan terwujudnya ketentraman kehidupan sesame//Wajib menetapi ajaran//Petunjuk agama suci
(2) Para raja dan pujangga//Sesungguhnya para wali dan ulama anakku//Atas Kehendak Yang Maha Agung//Agunglah Islam-Jawa//Karena itu lestarikanlah dwitunggal itu//Jangan sampai ada yang semata Jawa//Dan jangan sampai ada yang menjauhi agama
(3) Yang telah tertulis di dalam Al-Qur'an//Mantapkanlah menjadi (peri)laku sehari-hari//Demi indahnya Kedhatuan/Kedhaton (Pemerintahan--arti umumnya)//Jalankanlah dengan takwa//Karenanya hendaklah engkau berguru//Para ratu (baca: raja--yang bersifat feminin) yang berbudaya Jawa (baca: Nuswantara--tak hanya Pulau Jawa)//(Juga adalah) para wali penuntun agama.
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-41 Jumat, 07 September 2018/26 Dzulhijjah 1439 H
Category : buletin
SHARE THIS POST