Apa yang Harus Dilakukan, Sudah Dilakukan
Di satu titik, dari sudut sejarah, saat penduduk bumi sedang lelah dan muram menghadapi gempuran pagebluk, aku ingin bercerita tentang seorang sahabatku yang memiliki kepedulian luar biasa terhadap bencana global ini.
Sahabatku ini, begitu gelisah hatinya, begitu galau hatinya, begitu bergolak perasaannya. Memburu napasnya setiap kali melihat orang-orang yang begitu abai terhadap segala anjuran kesahatan. Sama sekali tidak masuk di pikirannya, betapa bodoh dan konyolnya orang-orang itu.
Tidakkah mereka sadar bahwa yang sedang mereka lakukan itu adalah tindakan bunuh diri, mencari penyakit, dan menantang bahaya? Tidakkah mereka tahu bahwa bahaya itu tidak hanya akan menelan diri mereka sendiri, namun juga akan menelan sanak kerabat dan orang-orang sekeliling mereka? Kekacauan, kehancuran, kesengsaraan, kesusahan berkepanjangan, pasti akan hadir, segera, kalau mental orang-orang itu tak segera berubah.
Sahabatku ini, begitu gemasnya kepada pemerintah. Maunya apa sih? Mbok ya cak cek, gerak cepat, putuskan hal-hal penting segera. Mau menunggu apa lagi? Masih butuh bukti atau data apalagi? Semua sudah terang benderang di depan mata. Atau jangan-jangan masih mempertimbangkan basa-basi birokrasi atau mengkalkulasi keuntungan politik dan partai? Ataukah masih memikirkan kebanggaan-kebanggaan sementara itu?
Sahabatku ini, begitu cemasnya dengan laporan angka-angka berita duka yang semakin hari semakin membesar. Itu pun menurutnya masih belum nyata, karena jumlahnya yang nyata jauh lebih besar dari itu. Dijelajahinya sumber-sumber apa saja yang bisa dijangkau untuk mencari data yang asli, sejati, dan tidak dimanipulasi oleh retorika-retorika yang hanya menyesatkan logika.
Setiap kali ada satu-dua temannya yang menghibur dengan data-data yang menggembirakan, ia berbalik menegaskan, “Jangan terlena”; “Jangan telan begitu saja informasi-informasi yang tidak bertanggung jawab”; “Kenyataan yang terjadi tidak sesederhana itu”; “Kalau ternyata pernyataanmu itu keliru, habislah kita. Apa salahnya sih berhati-hati?”
Sesekali ada pula teman yang lain menenangkan, bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Tuhan. Karena itu, kita harus memperbanyak berdoa dan semakin mendekat kepada-Nya, tidak perlu panik.
Ia pun sambil menahan jengkel menjawab, “Ya memang begitu, kau tidak keliru; tetapi bukankah tugas kita untuk mengkhalifahi bumi, menjaganya dari kerusakan dan mengubah keadaan? Dengan logika yang kau pakai itu, kalau ada harimau lewat ya ditabrak saja, kalau Allah menakdirkan kita selamat nanti kita juga akan selamat?”
Pernah pula ada teman yang sambil bergurau membantahnya, “Tenang sajalah, negara kita masih tergolong belum gawat. Jumlah korbannya pun tidak banyak. Bandingkan dengan negara-negara lain yang jumlah korbannya begitu besar”. Habislah teman ini mendapat ceramah tentang harga nilai satu jiwa, kemanusiaan, kepedulian, moral, dan lain sebagainya.
Sahabatku ini, menyedekahkan banyak waktunya untuk memberi ‘pencerahan’ kepada banyak orang tentang bahaya yang sedang dan akan mereka hadapi. Hampir setiap hari ia menulis di berbagai media sosial yang ia miliki. Tak lelah ia menelusuri dan mengikuti sumber-sumber yang menurutnya valid dan terpercaya tentang perkembangan terbaru, kemudian tak ragu ia sebarkan semua yang menurutnya berguna.
Didebat dan dikritiknya tanpa ampun kalau ada kawan lain yang mengajukan data berbeda; apalagi dari sumber yang tidak jelas; apalagi jika kemudian terbukti hanya berita hoax dan menyesatkan.
Betapa aku kagum kepada sahabatku yang satu ini. Di masa saat semua orang sibuk ingin mencari sehat dan selamatnya sendiri, ia dengan caranya sendiri ingin juga menyelamatkan orang lain.
Tak disangka, beberapa hari yang lalu, kami bertemu. Tidak ada angin tidak ada hujan, ia duduk di sebelahku, cerita berbusa-busa tentang kesungguhannya menghadapi pandemi, dan bertanya pendek, “Aku lebay ya?”.
Sorot matanya mengisyaratkan kelelahan dan kecewaan. “Tentang semua yang aku lakukan ini, mungkin orang melihatku seperti pepatah Jawa, ‘legan golek momongan’ (bujangan yang mencari anak untuk diasuh). Kurang gawean. Tapi masak aku harus diam saja?”
Kutatap wajahnya, kupahami kelelahan dan kekecewaan itu. Kutegaskan kepadanya bahwa justru aku kagum kepadanya. Aku sendiri sejujurnya tidak memiliki kepedulian, keberanian, dan keseriusan sebagaimana dirinya. Untuk hal ini aku harus berguru dan belajar kepadanya.
“Nasihatin aku dong”, katanya setengah guyon. “Kamu sekarang kan tukang nasihat. Suaramu menasihati orang kudengar dimana-mana”.
“Waduh,” jawabku enggan. “Menasihati sampeyan ini apa ndak kayak nguyuhi, eh, nguyahi segara?”
Namun begitu, aku usul kepadanya untuk juga peduli kepada dirinya sendiri, kemapanan lahir dan batinnya sendiri. “Tak harus kau panggul sendiri beban seluruh bumi”, kataku ‘sok bijak’.
“Segala kegalauan dan kerisauan yang memberati hatimu selama ini tentunya mengacaukan ritme hidupmu. Semua kekecewaan dan kemarahan yang dipendam itu pada akhirnya akan merusak harmoni jiwamu”.
Kuceritakan kepadanya tentang sepuluh orang lugu. Ada sepuluh orang lugu yang berniat menyeberangi sungai. Mereka lalu berenang beriringan menyeberangi sungai.
Sesampainya di seberang sungai, salah seorang yang dianggap pemimpin mereka berkata, “Aku akan menghitung, apakah jumlah kita masih tetap sepuluh ataukah berkurang karena ada yang tenggelam”.
Ia pun mulai menghitung. Dimulai dari teman di sebelah kanannya. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan… “Wah, kurang satu”, gumamnya. Rupanya ia lupa menghitung dirinya sendiri. Mereka pun kebingungan.
Salah seorang di antara mereka lalu menawarkan diri. “Coba saya ulang menghitung”, katanya. Ternyata ia juga lupa menghitung dirinya. Bergantian mereka menghitung, tetap saja jumlahnya sembilan, karena lupa menghitung diri sendiri.
Akhirnya mereka semua sedih, beberapa di antaranya sampai menangis keras-keras, merasa temannya benar-benar tenggelam dan tidak akan muncul lagi.
Saat mereka menangis, ada seorang pelajar yang lewat di sana dan bertanya, “Apa yang terjadi?”
“Teman kami tenggelam, mungkin sudah mati. Tadinya kami berjumlah sepuluh orang, sekarang tinggal sembilan”.
Pelajar itu bingung, karena sekilas tadi ia menghitung, jumlah mereka masih sepuluh. Setelah beberapa saat, ia pun bisa menerka di mana letak kesalahannya.
“Begini saja”, kata pelajar itu, “sekarang aku yang menghitung. Kalian berbaris saja”.
Saat pelajar itu yang menghitung, jumlah mereka kembali sepuluh. Orang-orang lugu itu pun sangat gembira. “Wah, mukjizat ini. Engkau pasti wali atau orang sakti. Engkau bisa menghidupkan kembali temanku yang sudah mati”.
Sang pelajar menjawab, “Ini bukan mukjizat, kesalahan kalian tadi hanya lupa menghitung diri sendiri”.
Akhirnya, kubisikkan kepada sahabatku itu, “Menurutku semua yang harus kau lakukan, sudah kau lakukan. Selebihnya bukan kuasamu untuk mengendalikan. Tetaplah berusaha, namun apa pun hasilnya, lapangkan dada untuk menerima. Ubah situasi, beri nasihat, sampaikan kebenaran, tunjukkan yang lurus, sejauh yang kamu tahu, sekuat kamu mampu, itu saja.
Jangan mewajibkan keberhasilan, karena memungkinkan lahirnya kekecewaan; jangan mengharuskan kepatuhan karena memungkinkan lahirnya kemarahan; jangan memaksakan pandangan, karena memungkinkan lahirnya pertikaian. Kewenangan kita sebagai manusia hanyalah sampai pada titik mengusahakan yang terbaik, sejangkau dan semampu yang kita bisa”.
“Wis ah”, potongnya. “Nek cuma ngunu aku yo wis ngerti (Kalau hanya seperti itu aku sudah mengerti). Sudah, sana menjauh! Social distance!”, katanya kemudian sambil ngeloyor pergi.
Aku pun hanya bisa garuk-garuk kepala.
Category : kolom
SHARE THIS POST