Anekdot Satire Antara Diogenes dan Plato

slider
04 Juni 2024
|
1882

 

Diogenes dilahirkan di Sinope pada 412 atau 404 SM dan meninggal di Korintus pada 323 SM. Ia merupakan salah satu filsuf yang paling berpengaruh di era helenistik dan seorang filsuf sinisme yang terkenal karena tinggal di sebuah tong anggur.

Cerita lain untuk mencari manusia yang jujur dilakukan Diogenes dengan menyoroti wajah orang-orang dengan lentera di siang bolong. Ia menolak konsep “sopan santun” karena dianggapnya sebagai sebuah kemunafikan manusia dan menganjurkan cara hidup apa adanya tanpa kepura-puraan.

Diogenes tercatat dalam sejarah sebagai nabi gerakan sinisme—berasal dari kata dalam Bahasa Yunani “cyn” atau “cynikos” yang juga berhubungan dengan kata “canine” dalam bahasa Inggris—yang berarti “anjing”. Disebut demikian karena ia menggambarkan dirinya sebagai Diogenes sang anjing.

Menurut sejarawan Yunani kuno, Diogenes Laertius, dalam Lives of the Eminent Philosophers (buku ke-6 ayat 60), gelas “anjing” telah dikonfirmasi langsung oleh Diogenes sendiri ketika ditanya oleh Alexander The Great mengapa ia dipanggil “anjing”. Diogenes menjawab, “Sebab saya menyukai orang yang memberikan saya sesuatu, menggonggong pada mereka yang tidak memberi, dan menggigit orang jahat”.

Sebelum belajar sinisme dari Antisthenes di kampung halamannya, Sinope, Diogenes pernah terlibat dalam skandal pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, hingga membuatnya diasingkan dari Sinope. Saat itulah ia pergi ke Athena dan secara tidak sengaja bertemu Antisthenes, murid Socrates.

Dari Antisthenes-lah Diogenes belajar cara hidup sinis. Meskipun beberapa penulis modern meragukan hubungan guru-murid antara Antisthenes dan Diogenes, tetapi Diogenes Laertius pernah mengisahkan bagaimana pertemuan kedua filsuf tersebut terjadi dalam Lives of the Eminent Philosophers pada buku ke-6 ayat 21:

“Ketika dia (Diogenes) pergi ke Athena, dia secara tidak sengaja bertemu dengan Antisthenes. Dia meminta Antisthenes untuk menjadikannya murid, namun Antisthenes menolaknya dan mengusirnya (karena dia tidak pernah menerima murid). Di kesempatan yang lain, Diogenes meminta hal yang sama. Tetapi sekali lagi Antisthenes menolak bahkan mengancamnya dengan tongkat kayu (jika Diogenes tidak pergi dari hadapannya). Diogenes menang dengan sikap keras kepalanya dan menawarkan kepalanya, ‘Pukul! Kamu tidak akan menemukan kayu yang cukup keras untuk menjauhkanku darimu, selama menurutku kamu punya sesuatu untuk diajarkan.’ Sejak saat itu dia menjadi murid Antisthenes…”

Terlepas dari itu, Antisthenes dan Diogenes sama-sama memiliki hubungan atau komunikasi yang buruk dengan Plato. Dan sudah menjadi hal yang lumrah bagi filsuf sinis bersikap tidak sopan dan berterus terang dalam mengkritik orang lain tanpa memedulikan tata krama. Bukankah arti gelar “anjing” yang Diogenes dapatkan karena ia suka menggonggong (mengomel) kepada orang lain? Bahkan gurunya pun, Antisthenes, menurut Diogenes Laertius juga memiliki alias yang sama, sebagai “anjing yang jujur” (haplokuon) dan “pengoceh yang produktif”.

Sikap frontal dan keterusterangan sebenarnya sudah menjadi ciri khas filsuf-filsuf sinis. Beberapa penulis Yunani dan Romawi seperti Diogenes Laertius, Dio Krisostomus, dan Julian dalam karya-karya mereka, mengabadikan bagaimana perilaku-perilaku agresif Diogenes, di mana dalam ceritanya ia pernah melakukan masturbasi di depan umum, mengencingi mereka yang menghinanya, buang air besar di ruang teater, dan menunjukkan jari tengahnya kepada orang-orang.

Diogenes menganggap bahwa cara hidup sinisnya berangkat dari Socrates. Diogenes menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan kebahagiaan adalah milik mereka yang penilaian dan hidupnya tidak bergantung pada masyarakat. Diogenes bukan hanya mencemooh keluarga dan institusi sosial-politik, tetapi juga konsep tentang hak milik, reputasi, dan bahkan standar-standar kesopanan. Sikap ini didasarkan pada kritiknya terhadap apa yang dianggapnya sebagai kebodohan, kepura-puraan, kesombongan, penipuan diri sendiri, dan kemunafikkan manusia. Inilah sebab mengapa Plato menyebut Diogenes sebagai “Socrates yang gila”.

Meskipun tampaknya banyak orang mengira Diogenes mengalami gangguan jiwa, namun ia percaya bahwa hanya dengan cara menjalani kehidupan yang demikian sebagai cara hidup yang benar-benar jujur, dan berharap orang lain juga harus berani melakukan hal yang sama.

Berikut beberapa anekdot antara Diogenes dan Plato yang dikumpulkan dari beberapa sumber.

Manusia Menurut Plato

Perilaku Diogenes sebagian dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa tindakan apa pun yang baik dilakukan di ruang-ruang privat, juga tidak kalah baiknya jika dilakukan di depan umum. Oleh karena itu, aturan-aturan yang digunakan masyarakat untuk hidup ia anggap tidak masuk akal karena memaksa orang lain untuk berperilaku tidak sesuai dengan sifat alami mereka, yang artinya kemunafikan.

Tata krama dan etiket dianggap Diogenes sebagai kehidupan palsu. Oleh karena itu, ia sering menyindir banyak tokoh-tokoh terkenal di zamannya, termasuk rekan sesama filsuf, Plato.

Dikisahkan dalam Lives of the Eminent Philosophers (buku ke-6 ayat 40) ketika Plato memberikan kuliah yang membahas tentang manusia, Plato mengatakan “Manusia adalah binatang berkaki dua dan tidak berbulu.”

Orang-orang yang hadir saat itu pun langsung bertepuk tangan, kecuali Diogenes yang menganggap bahwa apa yang disampaikan Plato tidak masuk akal. Diogenes lalu pergi menangkap seekor ayam jantan dan mencabut bulu-bulu ayam tersebut kemudian kembali ke Akademi Plato.

Diogenes berkata, “Inilah manusianya Plato.”

Karena kejadian ini pihak Akademi langsung merevisi definisi manusia dalam kurikulum mereka yang diajarkan Plato.

Bagi kaum sinis, mendefinisikan sesuatu bukanlah jalan untuk melihat kebaikan. Sebaliknya, mereka yang selalu mendefinisikan sesuatu adalah orang yang selalu mengejar kebanggaan demi membuat orang lain kagum alih-alih berkontribusi pada kehidupan yang lebih baik. Singkatnya, kaum sinis lebih suka melihat segala sesuatu apa adanya daripada hanya sekadar idealisasi dan teori.

Diogenes menunjukkan bahwa sinisme adalah filsafat praktis, bukan semata-mata teori dengan seklumit penjelasan-penjelasan rumit. Maka tidak heran jika sinisme bukan seperti aliran filsafat lain yang memiliki sistem pemikiran yang jelas dan teratur, sebab mereka tidak berfilsafat secara teoritis melainkan lewat gaya hidup dan praktik dengan berorientasi pada alam. Seperti Socrates, Diogenes lebih menyukai dialog yang hidup daripada kata-kata yang mati.

Penghormatan Plato Terhadap Penguasa

Menurut Robert Dobbin dalam dalam buku terjemahannya The Cynic Philosophers from Diogenes to Julian, Plato sangat akrab dengan tiran bernama Dionysius dan putranya Dionysius Muda, sama seperti kedekatan Aristoteles dengan Alexander. Inilah yang menjadi bahan kritikan Diogenes atas kemunafikkan Plato.

Sampai suatu waktu ketika Plato ingin menjamu Dionysius di rumahnya sembari menaruh karpet tempat sang tiran akan berjalan. Diogenes tiba-tiba datang dan menginjak-injak karpet tersebut. Dia berkata, “Aku menginjak-injak kedangkalan (harga diri) Plato.”

Plato lalu menjawab, “Kamu mengkhianati kebanggaan yang besar dengan berpura-pura tidak bangga.”

Dalam cerita lain seperti yang diabadikan oleh Diogenes Laertius, dalam Lives of the Eminent Philosophers (buku ke-6 ayat 58), juga tidak kalah uniknya:

“Ketika Plato melihatnya (Diogenes) sedang mencuci daun selada, Plato mendekat dan diam-diam berkata, ‘Jika kamu menghormati Dionysius, kamu tidak akan mencuci selada.’ Mendengar itu Diogenes membalas, ‘Jika kamu mencuci selada, kamu tidak perlu menghormati Dionysius.’”

Diogenes dan filsuf sinis lainnya hanya menghormati sikap independensi dan keterusterangan. Selain itu, mereka juga sangat menghormati gaya hidup miskin seperti yang dicontohkan Socrates sebagai hal yang mereka anggap cocok bagi seorang filsuf.

Bahkan, menurut William D. Desmond dalam The Greek Praise of Poverty, filsuf sinis-lah yang pertama, atau satu-satunya, kelompok yang memuji kemiskinan sebagai sebuah anugerah tersembunyi. Hal ini, menurut Robert Dobbin, adalah hasil dari penolakan mereka pada standar-standar dan nilai-nilai konvensional masyarakat tentang kemiskinan yang dianggap sebagai kemalangan dan penderitaan.

Para filsuf sinis, terutama Diogenes, membuktikan bahwa masyarakat salah dan bahwa mereka bisa bahagia meskipun hidup serba kekurangan. Filosofi utamanya justru terletak pada sikap tidak menginginkan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Inilah yang membuat Diogenes sangat dihormati oleh Raja Alexander sampai ia berkata, “Jika aku bukan Alexander, aku ingin menjadi Diogenes.”

Berbagi Buah Ara

Berikut anekdot yang cukup berkesan menurut penulis. Cerita ini menunjukkan bagaimana cibiran Diogenes terhadap sikap Plato yang ia nilai terlalu bertele-tele. Berikut ceritanya, seperti yang diabadikan Diogenes Laertius dalam Lives of the Eminent Philosophers (buku ke-6 ayat 26):

“Diogenes pernah meminta anggur dan sebutir buah ara kering kepada Plato. Plato lalu memberikannya setoples penuh. Diogenes lalu berkata, ‘Jika ada yang bertanya padamu berapa dua dan dua, apakah kamu akan menjawab dua puluh? Kamu tidak memberikan sesuatu sesuai dengan permintaan, dan tidak pula menjawab sesuai dengan permintaan.’”

Kisah tentang buah ara pada ayat sebelumnya (ayat 25) juga dibahas:

“Di lain waktu, ketika Diogenes sedang memakan buah ara kering, ia bertemu Plato dan menawarinya beberapa buah ara. Ketika Plato mengambil segenggam penuh, ia berkata, ‘Aku bilang ambil beberapa, bukan semuanya!’”

Dialog-dialog atau anekdot antara Plato dan Diogenes di atas merupakan sebuah kisah yang dahulu banyak menginspirasi filsuf-filsuf sinis setelahnya. Kisah-kisah itu adalah apa yang oleh mereka sebut sebagai apophthegmata atau chreiai. Kisah-kisah ini, dalam logika, mengandung argumentasi-argumentasi spoudogeloion; satire yang memadukan antara pernyataan-pernyataan yang menyakitkan dan yang menyenangkan, hal yang serius dan hal yang menggelikan, menjadikan doktrin sinisme dapat diterima oleh banyak orang.

Menurut Lydia B. Amir dalam Humor and the Good Life in Modern Philosophy, satire-satire seperti yang dilakukan Diogenes juga sering dipakai oleh stoikisme untuk mempopulerkan aliran mereka—mengingat ajaran stoikisme berakar dari sinisme. Mereka menyebut argumentasi ini dengan ‘ridendo dicere verum (mengatakan kebenaran sambil tertawa).

Ridendo dicere verum atau spoudogeloion ini merupakan ciri khas sinisme yang dianggap sebagai penemuan terbesar mereka dalam retorika. Seperti yang dikatakan oleh Demetrius bahwa, “Kaum moralis sering kali menggunakan bentuk-bentuk komposisi lucu pada kesempatan-kesempatan tertentu, seperti penjamuan makan, festival, dan dalam kritik terhadap kemewahan… begitulah gaya sinisme.”

Meskipun satire-satire seperti ini tidak disukai oleh Aristoteles dan para pengikutnya, namun tujuan argumentasi ini adalah untuk menggabungkan antara dulce (humor) dan util (manfaat). Ini adalah jenis komedi lama (old comedy) tanpa tendensi personal.

Dengan kata lain, tujuan dari chreiai adalah untuk memaksimalkan manfaat sebuah pesan atau kritik melalui humor. Lydia menganalogikannya seperti dokter yang mengolesi madu di tepi cangkir agar obat yang diminum tidak terlalu pahit.

Spoudogeloion sangat terkait dengan kesederhanaan bahasa yang mengandung pengajaran, kritik, dan humor. Dialog Socrates sangat berpengaruh dalam penggunaan anekdot, sebab ini merupakan upaya sinisme untuk mengadaptasi bentuk propaganda filosofis Socrates yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman helenistik. Oleh karena itu, harus diakui, selain kritik yang dilayangkan kepada Plato, Diogenes mengajarkan bahwa humor memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi kita dengan mengungkapkan keganjilan yang tersembunyi.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fadlan

Saat ini bekerja sebagai pengajar privat Bahasa Inggris. Memiliki hobi membaca karya-karya non fiksi dan juga menulis, terutama yang berhubungan dengan filsafat, sains, dan teologi