Aku Benar, Kamu Salah!
16 Maret 2018
|
1420
Sikap menghakimi orang lain dengan memberikan label salah, bidah, sesat, kafir, bahkan halal tampaknya masih menjadi tema yang sampai saat ini belum usai perdebatannya. Kelompok A menyalahkan kelompok B, kelompok B menyalahkan kelompok C, kelompok C menyalahkan kelompok A karena tidak sejalan, tidak sama, dan tidak sepemahaman. Adanya klaim kebenaran yang dialamatkan kepada pendapatnya sendiri yang membuat seseorang seakan hanya dirinya yang benar, sehingga mengesampingkan adanya kemungkinan kebenaran yang lain yang di dapat golongan lain. Pemahaman yang seharusnya beragam, justru dikuasai oleh sebagian kelompok sendiri. Munculnya sikap menyalahkan memang sudah berkembang ketika zaman sahabat. Bisa kita tilik kembali tentang polemik Syiah yang menganggap estafet kepemimpinan Nabi seharusnya dialamatkan kepada Sayyidina Ali sampai saat ini pun belum selesai, hingga harus menuai peperangan. Hingga sampai sekarang persoalan tersebut membuat terpecah belah saja umat Islam. Perselisihan, perbedaan pendapat hingga akhirnya terbentuk kelompok/golongan masing-masing dalam Islam pernah disinggung oleh Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah riwayat, yang kira-kira bermaksud bahwa umat Islam suatu saat akan terbagi menjadi 72 hingga 73 golongan. Dan dari sebanyak itu golongan hanya satu yang akan masuk surga. Ramalan Nabi Saw. yang disampaikan ini jika diartikan untuk mendukung pemahaman cara pandang seseorang yang hanya akan menimbulkan klaim kebenaran dan menyalahkan orang lain. Karena menurutnya satu golongan itu, ya kelompoknya, sementara kelompok lain tergabung dalam 71 golongan yang mungkin akan masuk neraka. Sungguh miris. Ucapan Nabi Saw. di atas, hendaknya ditanggapi sebagai dorongan motivasi dan penyadaran bagi kita. Bahwa sebagian orang tidak akan bisa sama dengan kita dalam memahami Islam, khususnya Al-Quran. Lebih-lebih di Indonesia. Dengan masyarakat yang begitu majemuk, beragam, tersebar di ratusan pulau yang memiliki karakteristik masing-masing membuat perbedaan pola pikir masing-masing dalam memahami sesuatu, sehingga muncul pemahaman yang beragam. Apakah itu salah? Tentu tidak. Keberagaman yang muncul hendaknya disikapi sebagai upaya fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam mencapai kebaikan. Karena bagaimanapun produk pemahaman manusia (kecuali Nabi Saw.) tehadap Al-Quran tampaknya harus dapat kita terima memiliki sifat nisbi, relatif. Sehingga bisa saja ia benar, namun ia juga mempunyai kemungkinan salah. Sehingga kebenaran yang mereka pahami tidaklah mutlak. Yang memiliki kebenaran mutlak hanyalah Allah Swt. Bukan manusia. Jadi perlu dipertimbangkan kembali bagi kelompok/golongan (kaum) yang menyebut dirinya ÔÇ£Aku benar, dan kamu salah!ÔÇØ, karena seakan-akan mereka memposisikan diri mereka sebagai Tuhan, Sang Pembuat Otoritas yang Harus diikuti. NaÔÇÖudzubillahi. Allah berpesan dalam Al-Quran dalam surah Al-Hujurat┬á [49] ayat 11 yang artinya, ÔÇ£Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)...ÔÇØ Pesan Allah di atas rasanya cukup sebagai alasan untuk menghentikan praktik menghakimi orang lain hanya karena perbedaan. Karena mungkin saja orang yang dianggap salah dan jauh dari kebenaran mungkin saja justru ia lebih benar dan jauh dari kesalahan, sehingga mungkin saja justru kita yang bersalah. Tokoh sufi Abu Manshur Al-Hallaj dengan pengakuannya ÔÇ£Ana Al-HaqÔÇØ, atau ÔÇ£Manunggaling kawula lan gustiÔÇØ Syekh Siti Jenar yang pada era mereka masing-masing harus menerima konsekuensi yang berat dari para ulama sezamannya akibat membeberkan pengalaman batin ke-ilahian mereka kepada khalayak umum, yang dinilai menyalahi syariat dan pantas untuk dihukum. Bahkan hingga saat ini kebencian dari sejak dulu masih ditularkan kepada generasi sekarang untuk mengklaim bahwa mereka salah. Padahal bisa saja, para ulama dulu menghukum mereka bukan karena kesalahan mereka akan pengalaman batin yang mereka rasakan secara pribadi, akan tetapi untuk menjaga dari adanya anggapan bahwa syariat tidak dibela, agama dibuat main-main, sehingga untuk menghindari hal tersebut para ulama mengambil langkah hukaman, terlepas apakah keyakinan mereka benar atau salah. Mau tidak mau, kemungkinan-kemungkinan di atas harus kita perhatikan agar kita tak merasa benar sendiri, sehingga memungkinkan kita selalu membenahi diri, menata diri kembali, menilik kembali apakah pemahaman kita tentang Islam sudahkah benar atau justru selama ini salah. Al-Quran merupakan Kalam Ilahi yang diturunkan untuk umat manusia, sehingga ia akan sesuai pada setiap zamannya. Namun pernyataan di atas perlu kita perhatikan, jika kita hanya mengamalkan secara leterlek, tekstual apa yang sudah tercantum di dalam Al-Quran, apalagi diterapkan di zaman ini yang jarak selisih tahun turunnya Al-Quran sangatlah jauh dan mengalami perubahan, maka hanya akan memunculkan mal praktik dalam beragama. Karena dulu ketika Al-Quran turun belum ada televisi, telepon, perdagangan online, cyber crime, narkoba, media sosial dan masalah-masalah lain yang muncul akibat berkembangnya zaman. Sehingga penafsiran terhadap Al-Quran lah yang seharusnya selalu dilakukan untuk mencari kebenaran dalam setiap waktu. Sehingga Al-Quran selalu hidup dan dapat dibumikan karena dapat relevan di setiap zaman. Konsekuensinya, karena kita berbicara tentang pemahaman seseorang, penafsiran seseorang terhadap sesuatu, maka akan memunculkan keberagaman pemahaman akibat pengaruh budaya, sosio-historis, letak geografis, dan kondisi-kondisi lain yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan adanya perbedaan, anggapan-anggapan aku benar, kamu salah hendaknya di┬á kebumikan dalam-dalam, mungkin sebagai ganti mungkin aku benar, dan mungkin saja kamu benar, sehingga dengan adanya perbedaan ini bukan justru memunculkan kebencian dan permusuhan, tetapi merupakan sumber rahmat Allah yang diberikan kepada manusia, karena ini sunnatullah. Kenapa begitu? Karena Allah bisa saja berkehendak untuk menciptakan manusia dalam satu pendapat tanpa harus berbeda, karena Allah Maha berkehendak. Namun Allah tidak lakukan hal tersebut bukan karena Allah tidak mampu, namun justru Allah berusaha mendidik manusia untuk mengambil ibrahnya, seperti halnya kenapa Al-Quran itu diturunkan dengan berbahasa Arab. Tentu bukannya bahasa Allah bahasa Arab, tetapi karena kalam Allah itu tidak berbentuk huruf atau bahasa yang kita pahami. Ia menjadi bahasa Arab agar risalah tentang Islam dapat dipahami oleh manusia. Maka dari itu, marilah kita bersama-sama berlomba-lomba menuju kebenaran yang Allah inginkan tanpa saling merasa benar sendiri dan menyalahkan pihak lain. *Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-25 Jumat, 16 Maret 2018/28 Jumadil Tsani 1439 H
Category : buletin
SHARE THIS POST