Akhlak-Tasawuf dan Kondisi Masyarakat Modern

slider
03 Desember 2020
|
3909

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran atau pun pertimbangan”, begitu kata Imam Al-Ghazali.

Lebih lanjut Al-Ghazali mengungkapkan bahwa tidak ada pemisahan berarti antara akhlak dan tasawuf. Hal itu lantaran tasawuf adalah budi pekerti, dan barang siapa yang menyiapkan bekal budi pekerti, berarti akan menyiapkan bekal tasawuf.

Kedudukan tasawuf sendiri dalam Islam merupakan aspek yang memberi kita pengalaman batin yang kemudian melahirkan kematangan spiritual dalam rangka memperoleh ma’rifah Allah. Jadi, hubungan akhlak dan tasawuf dalam Islam adalah bahwa apabila akhlak merupakan titik tolak tasawuf, maka tasawuf adalah esensi dari akhlak itu sendiri.

Dalam tulisan sederhana ini kita akan membahas lebih lanjut mengenai urgensi akhlak-tasawuf dalam kaitanya dengan kondisi masyarakat modern. Mengingat, seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membuat perkembangan dalam berbagai dimensi kehidupan tak terhindarkan, tak terkecuali perubahan dalam dimensi spiritual masyarakat modern.

Apa sih yang dimaksud masyarakat modern? Masyarakat secara sederhana bisa kita pahami sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

“Modern” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2020) diartikan sebagai terkini, mutakhir, dan terbaru. Karena itu, masyarakat modern bisa kita pahami sebagai sekelompok manusia yang hidup dalam bingkai kebersamaan yang saling mempengaruhi dan terikat dengan norma-norma yang berlaku, serta sebagian besar anggotanya mempunyai orientasi nilai budaya untuk menuju kehidupan yang lebih maju.

Masyarakat modern ini memiliki beberapa ciri, di antaranya adalah berpikir lebih objektif dan rasional, berpikir demi masa depan yang lebih jauh, bersikap terbuka, mau menerima saran, masukan, dan kritik. Selain itu juga selalu berusaha untuk memahami semua gejala yang dihadapi dan bagaimana mengorganisasikannya untuk kehidupannya jadi lebih baik.

Namun, di balik orientasi untuk hidup lebih baik dan maju ini kemudian muncul problematika yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat modern. Dalam kehidupannya, masyarakat modern identik dengan hampir sepenuhnya mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tak jarang mengesampingkan pemahaman agama.

Sebagian beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu meningkatkan taraf hidup untuk lebih baik. Padahal, di balik setiap perkembangan yang ada tak lepas dari yang namanya dampak negatif. Dampak negatif ini setidaknya bisa kita lihat dari dua aspek, yakni aspek spititual dan aspek etika.

Dalam aspek spiritual, masyarakat modern cenderung dalam kegelamoran, mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tak jarang menjadikannya menjauh dari pemahaman agama. Sehingga tanpa disadari—lama kelamaan—akan menghapus misi keilahian.

Hilangnya misi keilahian ini mengakibatkan kehampaan spiritual dan mengakibatkan manusia jauh dari Sang Pencipta. Lambat laun akan meninggalkan ajaran-ajaran yang dimuat dalam agama. Akibatnya, kondisi masyarakat modern menjadi mudah merasa gelisah, tidak percaya diri, stres, dan tidak memiliki pegangan hidup.

Dalam aspek etika, masyarakat modern mengalami krisis moral yang bisa dibilang berkepanjangan. Lantaran menampilkan sikap dan perilaku individualis, bebas, serta tak jarang menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku. Baik dalam hal norma agama, adat istiadat, dan hukum.

Bentuk penyimpangan moral di antaranya adalah menurunnya kualitas moral bangsa dengan indikasi banyaknya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), berbagai konflik yang terjadi (antaretnis, agama, politik, ormas, dan lain sebagainya), meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan merosotnya nilai keadilan, kemanusiaan, dan lain sebagainya.

Manusia yang semakin materialistis pandangan hidupnya tentu perlu dijinakkan untuk mengenal dirinya, mengenal Tuhan Yang Maha Esa, agar tidak merusak diri sendiri beserta alam lingkungannya. Dalam hal ini kiranya diperlukan sebuah jalan keluar agar masyarakat modern tidak semakin lama terjebak dalam jurang materialistis ini.

Karena itu, implikasi akhlak-tasawuf kiranya cukup relevan dalam menjadi kontrol sikap dan perilaku bagi masyarakat modern. Tasawuf sendiri berperan melepaskan kesengsaraan dan kehampaan spiritual untuk memperoleh keteguhan dalam proses pencarian Tuhan. Sebab esensi dari ajaran tasawuf adalah untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan.

Dengan begitu, seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat-Nya dan lambat laun terlepas dari kegundahan dan kesedihan hidup. Adapun ajaran tasawuf yang cukup mendasar yang bisa menjawab persoalan kehidupan modern adalah dengan melakukan introspeksi diri atau muhasabah diri.

Hal itu berguna untuk mengembangkan hidup dengan berakhlak dan bertasawuf. Sehingga relevan dengan misi kenabian, yakni menyempurnakan akhlak manusia.

Dalam perspektif tasawuf, penyelesaian dan perbaikan diri tidak akan bisa tercapai secara maksimal apabila hanya berorientasi pada dimensi kehidupan secara lahir. Sebab kehidupan lahir hanya sebuah gambaran atau akibat dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada dalam diri manusia, yakni akal, syahwat, dan nafsu.

Oleh karenanya, untuk bisa menghasilkan secara maksimal dalam memperbaiki keadaan diri, tasawuf memiliki potensi untuk menawarkan pembebasan spiritual, mempersenjatai diri manusia dengan nilai-nilai ruhani yang akan membentengi diri saat menghadapi persoalan kehidupan yang serba materialistik.

Selain itu juga berusaha merealisasikan keseimbangan jiwa, sehingga timbul kemampuan menghadapi persoalan-persoalan yang ada. Mengajak manusia mengenal diri sendiri dan mengajak mengenal Tuhan melalui ajaran-ajaran, mampu memberi jalan keluar bagi manusia untuk menghadapi krisis-krisis di era modern.

Usaha perbaikan ini bisa kita tempuh setidaknya melalui tiga tahapan yang terkandung dalam tasawuf, yakni takhalli, tahalli, dan tajalli. Ketiganya diyakini mampu memberi jalan keluar untuk memperbaiki kondisi masyarakat modern yang sedang mengalami kerusakan moral dan kehampaan nilai-nilai spiritual lantaran menjauh dari ajaran agama.

Pertama, takhalli. Tahap ini adalah langkah awal yang perlu ditempuh oleh seorang salik dalam rangka mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kemewahan duniawi. Tahap takhalli bisa dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.

Langkah ini merupakan tahapan seorang salik menuju kesempurnaan pribadi yang dilengkapi sikap terbuka. Dalam artian, seorang salik menyadari betapa buruknya sikap dan perilakunya, menyadari bahwa masih banyak sikap dan perilaku yang perlu diperbaiki.

Kedua, tahalli. Yakni tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada langkah awal tadi. Kemudian menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri untuk bersikap dan berperilaku terpuji, berusaha dalam setiap napas, gerak, dan langkahnya berjalan sesuai dengan syariat yang diajarkan agama.

Pada tahap ini, seorang salik berusaha melewati maqam yang mampu mengantar pada tahap berikutnya, yakni tahap terbukanya cahaya Ilahiah dalam hati seorang salik.

Ketiga, tajalli. Pada tahap ini seorang hamba berada dalam keadaan thuma’ninah, mampu membedakan antara batil dengan haqq dan mencapai tahapan tertinggi dalam pencapaian ma’rifatullah.

Maqam yang dilalui oleh seorang salik dalam rangka menuju tajalli juga mampu memberi jalan keluar dalam mengatasi persoalan. Seperti sikap materialistik dan hedonistik yang mewarnai kehidupan modern bisa dihapus dengan mengimplementasikan konsep zuhud yang terkandung dalam ajaran tasawuf.

Konsep zuhud mengajarkan manusia untuk tak tenggelam dalam samudera kesenangan duniawi dan tak mudah menuruti hawa nafsu. Demikian juga ajaran uzlah, yakni usaha mengasingkan diri dari perangkap tipu daya duniawi. Bisa juga digunakan sebagai bekal manusia modern agar tidak menjadi budak yang terperangkap dalam kesenangan duniawi belaka.

Kendati demikian, konsep ini bukan berarti mengajarkan manusia untuk beruzlah dan bertapa dalam gunung atau goa. Melainkan mengajarkan kepada kita untuk tetap berkiprah dalam masyarakat dan aktif serta beraktivitas di berbagai aspek kehidupan. Selaras dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya, larut dalam pengaruh dunia dan tipu daya yang melekat di dalamnya.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

A. Fikri Amiruddin Ihsani

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Gusdurian Surabaya