Agama dari Kacamata Ilmuwan

slider
09 Februari 2022
|
2153

Sejarah perkembangan  manusia, tidak terlepas dari apa yang dinamakan sebagai agama. Sebagai fenomena sosial, agama lahir dari rahim historis masyarakat yang membutuhkannya, selaras dengan perkembangan sosio-kulturalnya. Dalam perkembangan tersebut, akan muncul sebuah posisi binerian terhadap konsepsi terkait agama itu sendiri.

Ada yang meyakininya secara gamblang dan ada juga yang mengajukan keberatan atas agama itu sendiri. Mungkin, pengajuan keberatan atas agama itu sendiri, merupakan sebuah keunikan. Ada beberapa tokoh yang mengajukan keberatan melalui teori yang tercetus dari alam pikiran mereka; Emile Durkheim dalam sosiologi, Sigmund Freud dalam psikologi, Auguste Comte dalam positivisme, Karl Marx dalam materialisme, Nietzsche, dan juga Feurbach dalam eksistensialisme.

Pengajuan keberatan terhadap agama, tidak bisa kita lepaskan dari konteks sosio-historis dan relasi antara masyarakat dengan agama ketika mereka hidup.

Bagi Emile Durkheim, agama bukan kesatuan ide-ide, nilai, atau pengalaman yang terlepas dari matriks kultural. Baginya, beberapa fetis atau pun ritus keagamaan tidak dapat dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Ia meyakini bahwa masyarakat merupakan entitas yang sudah cukup sebagai faktor penting untuk kebahagiaan jiwa manusia itu sendiri. Baginya, agama revelasi adalah tidak penting.

Berbeda dengan Emile Durkheim, Sigmund Freud memandang agama sebagai faktor kekuatan jiwa manusia dibandingkan dengan akal yang dimiliki sebagai individu dan sosial yang menghimpun seorang individu. Melalui konsepsi psikoanalisis, ia sampai kepada konklusi bahwa kepercayaan manusia terhadap agama, tidak lebih dari pelarian dari sakit mental yang diderita oleh manusia itu sendiri, atau dalam bahasanya disebut sebagai pseudoneuroistik.

Auguste Comte memiliki konsepsi yang berbeda dibanding dua sebelumnya. Ikhwalnya, ia tidak menyangsingkan keberadaan agama. Akan tetapi, dalam konsepsi berpikirnya yang seringkali disebut sebagai humanisme sekuler, agama yang ia pahami tidak identik dengan agama yang dipahami oleh orang banyak. Inti dari humanisme sekulernya adalah manusia sebagai poros kosmos dalam hakikat kehidupan. Suatu sistem etika yang mengokohkan dan mengagungkan nilai-nilai humanis (toleransi, kasih sayang, dan kehormatan) itulah yang dimaksudkan dalam humanisme sekuler.

Singkatnya, agama yang ia pahami adalah humanisme, sedangkan Tuhannya ialah kemanusiaan itu sendiri. Ya, pemikirannya hampir mirip dengan konsepsi berpikir tentang agama dari Bertrand Rusell.

Dan Karl Marx, inilah orang yang mempopulerkan istilah “agama itu candu”. Ia lebih bertolak pada kondisi dan relasi masyarakat dengan agama pada zamannya. Kritik keras Marx terhadap agama adalah terkait dengan realitas agama pada saat itu tidak lebih dari alat legitimasi kaum borjuis. Klaim agama tidak lebih dari fasilitator bagi kamu borjuis tersebut untuk meninabobokan kaum proletar yang sedang tertindas untuk terus ditindas dalam hidupnya.

Penindasan atas manusia pada saat itu, sadar atau tidak sadar justru dilestarikan oleh dogma, doktrin, ajaran, dan hukum agama. Agama tidak lagi dijadikan aspek pembebasan, tapi hanya memenjarakan kebebasan manusia itu sendiri. Dalam situasi tersebut, Marx melakukan gugatan, “Tidak ada alasan apa pun dan bagi siapa pun ketika menganut agama kecuali karena penderitaan dan penindasan.” Agama merasuk dalam alam pikiran manusia secara tiba-tiba dan disonansi.

Karenanya, kembali “agama adalah candu masyarakat” yang hanya memberikan kesemuan dalam harapan, hiburan sesaat, dan tidak kunjung membawa lentera pembebasan bagi masyarakat yang tertindas. Akhirnya, agama hanya dijadikan tempat pelarian yang utopis dan justru menjadikan manusia teralienasi dari kemanusiaannya itu sendiri. Bagi Marx, “agama hanya menawarkan ilusi, bukan solusi!”

Lalu pada tataran eksistensialisme yang dimotori oleh dua tokoh, Nietzsche yang terkenal dengan jargon, “Got is Tot!” dan Feurbach. Bagi Nietzsche, Tuhan yang dipahami oleh kaum beragama bukanlah penyempurnaan manusia, tetapi justru penghalang bagi kesempurnaan manusia. Tuhan semacam itu baginya membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri. Dalam genealogi moralnya, Nietzsche mengkritik agama yang cenderung destruktif, eksklusif, dan afirmatif terhadap umatnya. Kelas biasa dan kelas terpilih, yang suci dan profan, lalu ada hak istimewa untuk yang suci dan sebaliknya, diciptakan oleh realitas agama pada saat itu.

Sementara menurut Feurbach, Tuhan hanya personifikasi transenden dari dambaan imanen yang ada di alam pikiran manusia. Menurutnya juga, Tuhan bukan eksistensi objektif yang lepas dari kesadaran manusia. Dan mengikuti konsepsinya Hegel, ia menyatakan bahwa manusia mengasingkan diri dari hakikatnya sendiri ketika ia memproyeksikan Tuhan dalam alam pikirannya. Singkatnya, Tuhan dan segala turunannya adalah ciptaan imaji manusia, dan agama adalah hanya sebatas antropologi. Karena yang mewujud adalah manusia, bukan Tuhan.

Jika dilihat, keberatan mereka terhadap agama tidak terletak pada keseluruhan bangunan Agama itu sendiri. Ada banyak dimensi yang belum tersentuh. Mereka mengajukan keberatan Agama pada tataran kulitnya saja, tapi jauh dari esensi yang terdapat dalam nadi agama itu sendiri.

Keberatan mereka berada pada titik sikap beragama, bukan substansi dalam agama. Spirit ijtihad mereka dapat menjadi lentera dalam zaman kegelapan yang saat itu terjadi. Kebekuan dan kejumudan diterobos hingga menjemput zaman pencerahan bagi Eropa pada saat itu. Mereka menguak kebobrokan dalam beragama. Mereka juga melakukan pencerahan dalam upaya memposisikan manusia sebagai subjek sadar dalam beragama.

Akhirnya, tujuan agama pada dasarnya adalah untuk memerangi keputusasaan epidemik dari sejarah manusia. Tetapi jangan lupa juga, manusia sebagai subjek yang sadar mesti bisa membebaskan diri dari ilusi metafisika nun jauh di sana. Kita harus menyambut dengan gembira keberadaan diri di dunia ini, tidak sebagai dunia imaji yang secara sederhana seringkali kita sebut sebagai surga atau neraka semata.

Referensi

Harb, Aliya. 2001. Relativitas Kebenaran Agama, Kritik, dan Dialog. Jakarta: Ircisod.Supono,

Euta. 2007. Agama, Solusi atau Ilusi?. Jakarta: Komunitas Studi Didaktika.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Fachri Darmawan

Penulis yang kini beraktivitas dan mukim di daerah Jatikramat, Jatiasih, Bekasi. Penulis bisa disapa di media sosial @Madfungs