Aftertaste
Keabadian merupakan suatu hal yang mustahil bagi sesuatu yang diklaim fana. Manusia adalah contohnya. Kehidupannya hanya sementara waktu. Ruang dan waktu adalah "penjara" nyata yang mengurung manusia. Sehingga dirinya akan lenyap didalamnya ketika sudah sampai pada batas akhir. Terjerat dalam jeruji fana. Keberadaan manusia hanya berkubang pada lingkaran batas-batas, lambat laun akan memudar dan kemudian musnah tanpa bekas dan jejak.
Berakhirlah kehidupannya sampai di situ yang lalu selama-lamanya tidak akan dikenali lagi kepernah-adaannya. Akan tetapi, ada manusia yang dirinya tidak lekang oleh sebab batas-batas waktu dan tempat yang fana itu. Selama-lamanya akan terus ada dan takkan pernah tiada. Dirinya akan selalu dikenal dalam ingatan manusia. Bahkan selalu dibawa pada pembicaraan-pembicaraan penting dan penuh keseriusan di tengah kerumunan manusia. Dia adalah manusia yang mentrasformasikan dirinya menjadi aftertaste.
Aftertaste adalah sebuah rasa yang ditinggalkan oleh sesuatu. Ia bisa berwujud apapun. Ini adalah penemuan baru dalam perjalanan kehidupan manusia. Apabila suatu benda yang fana hendak berubah menjadi abadi maka alternatif satu-satunya adalah dengan menjadikan dirinya sebagai suatu "rasa". Penjelmaannya sebagai wujud rasa akan berimplikasi pada keabadiaanya dan akan dikenang oleh generasi-generasi yang jauh sekalipun. Kepernah-beradaannya akan terus diingat dan dikenali.
Lalu yang perlu dipikirkan betul-betul sekarang adalah bagaiamana cara menjadi "rasa" agar manusia benar-benar abadi dan diakui bahwa dia pernah ada? Caranya sangat banyak sekali. Di antaranya adalah berhenti menjadi manusia dan mulailah menjadi ide, opini, pendapat atau gagasan. Minimal dengan menulis atau ditulis orang lain. Barulah pagar yang bernama batas-batas masa itu dapat diterjang. Mereka-mereka yang sudah berhasil dalam penjelmaannya akan selalu hadir dalam benak setiap kurun waktu manusia yang berbeda.
Mengenai seperti apa dan bagaimana ide, opini, pendapat atau gagasan dapat mengabadikan manusia, tengok perkataan dari Peter Ustinov (1958), "Tak ada gunanya mati jika Anda tidak menghantui ingatan seseorang. Jika Anda tidak meninggalkan secercah rasa". Tanpa itu, kita tidak pernah berjumpa dengan yang namanya Nietzsche, Karl Marx, Aristoteles, Sartre. Siapa yang tidak mengenal mereka? Minimal pernah mendengar nama mereka disebut.
Setiap yang hidup memiliki kehidupannya yang terbatas. Tanpa terkecuali para tokoh, pionir sejarah yang sekalipun berhasil menulis atau ditulis oleh orang lain. Namun orang sekelas mereka ini tidak perlu kita bersusah payah mencari dan berusaha mengenalnya, karena tinggal menunggu saat-saat keseriusan nama mereka akan hadir di tengah-tengah forum itu. Jiwa mereka liar, dalam setiap sudut pembicaraan selalu hadir tanpa dipaksa hadir.
Merupakan kebutuhan untuk membawanya dalam suatu perbincangan: "Menurut tokoh ini" atau "Menyitir gagasan tokoh itu", dan sebagainya. Terkadang mereka berwujud solusi bahkan juga terkadang sebagai provokator yang memantik kekritisan. Menjelma menjadi jawaban sekaligus pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi pelik dan melelahkan untuk ditaklukkan. Setiap kali pergantian generasi, mereka para tokoh sejarah akan lahir kembali. Dan terus-menerus seperti itu.
Di Eropa sana, tepatnya di Prancis lahir seorang filsuf yang pemikirannyan mendalangi revolusi falsafi. Dia adalah Rene Descartes. Pemikirannya berangkat dari sebuah kesangsiannya akan kepastian. Ia menyatakan bahwa di alam semesta ini tak ada yang pasti kecuali ia manusia yang mampu berpikir. Manusia terkonstruksi oleh dua unsur besar, yaitu fisik dan pikiran. Manusia terpenjarakan oleh fisiknya. Dia baru bisa independen ketika sudah mampu berpikir. Descartes mengatakan, "Cogito ergo sum" (I think, therefore i exist).
Manusia belum dianggap ada, dia hanya sebagai realitas konkrit yang maya atau semu, merupakan bagian dari wujud palsu fatamorgana sepanjang otaknya belum dioperasikan untuk berpikir. Distingsi paling kentara untuk membedakan diri manusia dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki potensi untuk berpikir.
Perubahan besar datangnya tidak dari fisiknya yang nanti akan membusuk dan menjadi abu itu. Akan tetapi peradaban itu lahir dari rahim organ putih lunak yang terdapat dalam rongga tengkorak manusia yang lazim disebut otak. Asosiasi yang timbul ketika dikatakan kata otak adalah kerja pikir. Dalam perdebatan mengenai keberadaan Tuhan dalam kaca mata madzhab Eksistensialisme, terlihat ada dua golongan besar yang bergelut di dalamnya, yakni atheis dan theis.
Untuk ini, Nietzsche menempati barisan atheisme. Dia bersikukuh dan berkomentar bahwa manusia belum bebas selama dia masih membawa Tuhan dalam hidupnya. Kebebasannya terenggut habis oleh dominasi kuasa Tuhan. Jika manusia hendak kembali semula menemukan dan mendapatkan kebebasannya, maka konsekuensinya dia harus mengimpotenkan peranan Tuhan dalam hidupnya.
Buktinya manusia ada sebab dia berpikir bukan sebab keberadaan Tuhan. Pendapatnya ini sangat dipengaruhi oleh prinsip dari Descartes itu tadi. Di era yang serba canggih seperti sekarang ini, memperkenalkan pemikiran yang efektif dan efisien adalah dengan mengaktualkannya dalam bentuk tulisan. Tidak harus hadir dalam meja peredebatan. Ibarat makanan, pemikiran yang belum berhasil dihurufkan (ditulis) itu serupa konsep atau teori untuk membuat makanan yang di dalamnya terdapat komposisi-kompoisinya.
Sedang yang sudah terjewantahkan dalam bentuk tulisan, itu seperti makanan yang siap hidang, yang nantinya akan dinilai rasanya oleh konsumennya. Di situ akan terdapat aftertaste: rasa yang bakal tertinggal. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu akan takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari".
Menulis adalah berpikir dan berpikir belum tentu menulis. Jika kita kilas balik ke riwayat para filsuf dahulu, malahan ada dari mereka yang tidak meninggalkan karya tulisan. Contoh adalah Socrates. Tapi ia menjadi salah satu pengecualian, berkat muridnya ia dikenang terus sampai kini. Harus disadari bahwa menulis adalah kerja untuk mengabadikan diri, begitu kira-kira diktum Pram.
Menulis dan berpikir bukanlah hal yang mudah, tetapi semua orang bisa melakukannya. Keberhasilan manusia dalam kedua hal itu patut dicatat dan menjadi bagian momorabilitas tersendiri yang sangat berharga. Menjadi manusia yang bermanfaat sekaligus berpengaruh caranya dengan jalan berpikir dan menulis.
Proses yang dialami oleh para penulis dan pemikir dari tiada menjadi ada dan akan terus ada. Kematian yang sesungguhnya bukanlah lucutnya nyawa dari badan, melainkan keberadaan hidup yang tak dikenali dan kemudian ditiadakan oleh waktu.
If you dont think and write, then you will be forgetten. Tak benar adanya orang yang berpikir dan menulis itu mati sepenuhnya. Bagai ameba, mereka membelah diri menjadi dua. Satu rupa unsur fana, dan satunya lagi adalah karya abadi. Dia yang kita sebut sebagai ide, opini, pendapat atau gagasan. Kesemuanya berpotensi meninggalkan bekas rasa. Itulah aftertaste: reinkarnasi diri menjadi rasa merupakan jalan awal menuju kekekalan. Semua pernyataan ini bukanlah rumor.
Category : kolom
SHARE THIS POST