Ziarah ke Candi Gedongsongo
Biasanya ziarah itu identik dengan pergi ke pemakaman atau perkuburan, tempat bersemayam jasad orang yang sudah meninggal. Namun di sini, ziarah maksudkan lain, lantaran yang kami diziarahi adalah bangunan kompeks candi. Makanya bila orang yang ziarah disebut sebagai peziarah, nah bagaimana dengan sebutan orang yang suka pergi ke candi-candi, bukan sedang berwisata, tetapi karena kesukaannya. Sebut saja mereka itu sebagai Candinolog: sejenis sebutan yang ditujukan kepada orang yang suka pergi ke candi-candi, untuk menapaktilasi peninggalan leluhur Nusantara.
Sebenarnya berziarah ke candi dan candinolog dimaksudkan sekedar sebagai istilah untuk membedakan dengan kegiatan berwisata pada umumnya. Sekali lagi, Candinolog bukan orang yang ahli soal percandian, apalagi ahli membaca refief candi. Bukan. Bukan demikian. Candinolog hanya sekedar penamaan untuk kalangan kami yang sedang belajar ngaweruh.
Istilah candinolog itu pula sekedar untuk membedakan dengan para ahli yang memang berkecimpung dalam bidang purbakalaan dan bidang studi sain-ilmiah lainnya: macam arkeolog, atropolog atau javanolog. Istilah candinolog sendiri sebenarnya baru saya dengar ketika berziarah ke Candi Gedongsongo. Kata itu muncul dari seorang teman yang kebetulan sedang merampungkan tesis pada Jurusan Antropologi di salah satu kampus Negeri di Jogja. Teman kami ini yang sebetulnya punya ide untuk berziarah ke candi dan dia yang mengajak kami melanglang ke banyak candi-candi disekitaran DIY dan Jawa Tengah.
Pagi itu kami berencana berkunjung ke Candi Gedongsongo. Waktu berangkat, matahari belum menampakkan sinar. Hawa dingin masih terasa merembas ke sekujur badan. Kabut masih menyelimuti langit desa Darum, Kel. Candi, Kec. Bandungan, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Areal Candi Gedongsongo yang berada di lereng Gunung Ungaran, masih sepi. Dengan berkendara sepeda motor, melewati jalan yang menanjak, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri, akhirnya sampai juga kami di lokasi candi. Pagi itu waktu masih menunjukkan sekitar pukul 05.15 WIB. Terbilang kita pada pagi hari itu adalah peziarah pertama yang datang. Pintu masuk candi belum ada yang menjaga. Begitu juga tukang parkir belum ada orang yang mengatur kendaraan untuk diparkir.
Hawa dingin-sejuk menyertai peziarahan kami. Namun begitu, jaket, sarung tangan dan kaos kaki tetap kami pakai. Teman yang lain pun sama. Hawa dingin-sejuk itu, kata teman yang tinggal di desa sebelah, yang kita didaulat sebagai guide dadakan untuk menemani kita berziarah, biasa baginya. Memang, kalau sudah biasa hidup di daerah pengunungan bukan masalah, mau masih pagi buta atau sedang dingin-dinginya saat musim kemarau begini.
Setelah melewati pintu masuk, yang disebelahnya terpampang pada dinding kaca, tempat membeli tiket masuk, tertera tarif Rp. 7.000 untuk turkal (turis lokal) dan Rp. 50.000 untuk turis asing, kami menapaki jalur pejalan kaki dan memasuki areal candi.
Bangunan candi pertama sampai ke candi kelima cukup jauh, satu sama lain terpencar-pencar. Candi Gedongsongo berada pada kawasan yang berbukit. Berjalan menelusuri Candi Gedongsongo, memang membutuhkan stamina lebih dari biasanya berjalan di atas tanah yang datar. Selain jalur bagi pejalan kaki, juga ada horse track diperuntukkan bagi para pengunjung bila tidak ingin kecapaian dengan cara menaiki kuda sewaan. Tarif menunggang kuda bervariasi, mulai dari sekitar dari Rp. 30.000. Tarif disesuaikan dengan lokasi yang akan dituju. Tapi ada yang gratis! Selfie bareng kuda kalau mau.
Dari sebelah loket pintu masuk, terus mamasuki semacam pintu gerbang pelataran berjalan menuju ke lokasi candi pertama. Bangunan candi pertama tampak kokoh berdiri. Begitu dari dekat, terus kita naik, tengok kanan-kiri, mengitarinya, beberapa bagian batu yang tersusun sudah bukan aslinya lagi. Tampak juga coretan kata-kata peningggalan para vandalis. Kuncup candi terlihat sudah tidak utuh lagi, sudah ditambah penanggkal petir pula. Soal ini, penangkal petir, memangnya dulu para leluhur yang membangun candi tidak memperhitungkan perpetiran, per-gledek-an. Mungkin sudah beda zaman, jadi beda pula penanganannya.
Dari candi pertama, beranjak kemudian berjalan menuju candi kedua. Rute yang dilewati naik sampai melewati lapak-lapak yang berjejer para perjual minuman dan makanan. Setelah itu turun, yang disebelah kanannya terdapat wahana playing fox. Di sebelah kiri berdiri bangunan dari kayu, sepertinya kamar-kamar untuk penginapan. Tersedianya lapak-lapak jualan, wahana permainan, kamar-kamar penginapan ini, menandai kawasan candi terurus sebagai tempat wisata. Jadi kalau hendak berziarah, “hilang aura keluhurannya”. Begitu kata seorang teman. “Sudah menjadi pasar, wes dadi objek-objek yang mati, menjadi onggokan batu-batu yang menyusun begitu saja”, tambahnya.
Candi ketiga berada disebelah kanan atas dari candi kedua. Untuk menuju ke candi ketiga dan seterusnya sampai candi kelima, juga sama: naik-turun naik-turun jalan setapak perbukitan. Lokasi candi yang berpencar memang memuat para pengunjung, atau peziarah yang ingin menuntaskan ke semua candi harus siap-siap dengan fisik yang prima. Waktu tempuh dari masuk sampai kembali lagi sekira satu jam-an, bisa lebih.
Pengalaman saya bersama empat teman yang berzirah ke candi Gedongsongo itu memang sedikit agak payah untuk diceritakan. Payahnya karena berasa dalam batin sendiri saya saja: jadi sebuah pengalaman yang intim. Saya dan teman-teman yang lain pun sudah pasti berbeda ketika itu secara batin melihat begitu gemilang para leluhur Nusantara dalam berhubungan dengan penguasa jagat alam semesta, dan dengan alam itu sendiri. Makanya secara batiniah, ziarah kami ke Candi Gedongsongo, anggap saja sebagai pengalaman bermesraan-mesraan karena sebab dasar ke-Ilahi-an, bukan yang lain. Kalau kita berpikir melihat apa yang ada di jagat raya, termasuk bagaimana para leluhur Nusantara membangun candi sebagai tempat pemujaan, bukankah itu untuk mendekatkan diri kepada penguasa jagat alam semesta. “Semua pada akhirnya berorientasi menuju eng Gusti Pangeran.” Begitu kesimpulan pendek saya.
Bangunan-bangunan peninggalan para leluhur, seperti Candi Gedongsongo ini, memang menjadi bahan pembelajaran yang baik. Pembelajaran yang tidak sekedar mengulas masa lalu, bagaimana sejarahnya, ataupun kedigdayaannya wangsa ketika dulu. Namun lebih daripada itu, menziarahinya “menuju eng Gusti Pangeran” barangkali menjadi maksud batin para leluhur membangun yang kita sebut sebagai candi itu. Niat menziarahi juga atas dasar itu, “menuju eng Gusti Pangeran.”
Mentari pagi akhirnya memancarkan sinar. Pengunjung sudah mulai ramai berdatangan. Kuda-kuda sudah berpenunggang. Setelah beristirahat cukup lama, sambil menghangatkan badan, sambil minum air putih segar, ngobrol, dan membakar tembakau, kami beranjak turun kembali menuju parkir kendaraan. Ziarah kami akhiri.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST