Zarathustra: Puncak Metamorfosis adalah Menjadi Seorang Anak
“Cara paling pasti untuk merusak seorang pemuda adalah dengan menyuruhnya untuk menjunjung tinggi mereka yang berpikiran serupa ketimbang mereka yang berpikiran berbeda.”—Nietzsche, The Portable Nietzsche (1977).
Kutipan di atas terdengar cukup miring. Nietzsche benar-benar mengarang Thus Spoke Zarathustra dalam ledakan-ledakan inspirasi konstan (yang berasal dari “muse” mendalamnya) selama sepuluh hari. Walhasil, buku ini sangat alegoris dan diliputi simbolisme yang seakan-akan membidani aliran filsafat perspektivisme. Dengan nuansa biblikal menggunakan bahasa Liturgis atau Lingua Sacra, pada sisi lain, mendobrak konvensi dalam setiap perkataan (dan perbuatan) tokoh protagonisnya. Pada saat yang sama, dengan keras pula mengolok-olok status quo yang telah mapan.
Di sebuah negeri fiktif, ada seorang pengkhotbah yang, bagai nabi pada umumnya, selalu tampak datang terlalu cepat. Ia adalah Zarathustra, seseorang yang menghargai gelak tawa, bahkan mampu menertawakan dirinya sendiri. Seseorang dengan tingkat penguasaan diri yang luar biasa hebat serta memiliki “kehendak untuk berkuasa” yang kuat. Sebagai catatan, bila menyelami filsafat Nietzsche secara keseluruhan dan khususnya dalam Thus Spoke Zarathustra, memiliki penanda mencolok: prinsip “kehendak untuk berkuasa” sebagai penggerak fundamental dari semua suara filosofis Nietzsche.
Salah satu bagian yang menarik dari Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None ini adalah bahwa ia memetakan tiga metamorfosis yang mesti dilalui seseorang untuk membuatnya menjadi “kreator-tabel-nilai”. Memiliki segenap daya kreatif untuk menciptakan nilai-nilai bagi dirinya sendiri—melampaui seseorang yang sekadar mengamini nilai-nilai purba—yang dipaksakan institusi-institusi sosial/kultural/spiritual selama ribuan tahun kepada manusia. Singkatnya, sebuah cara untuk menjadi Ubermensch.
Meski dapat dikatakan metamorfosis ala Nietzsche sama-sama metamorfosis sempurna seperti telur-nimfa-imago yang, terdengar cukup Kafka-Samsa-kecoak, tetapi jangan berharap tiga metamorfosis dalam Zarathustra ini terjadi dalam satu spesies belaka—atau minimal rasional secara taksonomi—apalagi ditekskan secara terang eksplisitnya.
“Tiga Metamorfosis” dalam Thus Spoke Zarathustra
Metamorfosis pertama adalah unta. Tentang tahap pertama ini Nietzsche menulis:
“Ada banyak yang memberati si roh, bagi roh pemanggul-beban yang kuat, yang di dalamnya berdiam kehormatan dan rasa segan: kekuatannya merindukan yang berat-berat, yang paling berat. Apakah berat? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, demikianlah ia berlututa bagai unta, ingin dipunggah beban sepantasnya. Apakah hal yang berat, o pahlawan? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, sehingga aku boleh memanggulnya dan bergembira dengan kekuatanku? [...] Sang roh pemanggul-beban memunggah bagi dirinya semua hal yang paling berat ini: laiknya seekor unta tergopoh-gopoh dengan bebannya menuju gurun, demikianlah ia berjalan memasuki gurunnya sendiri.”
Secara interpretatif, unta merupakan pemanggul beban berat berjiwa kuat. Beban berat yang dipikul unta adalah sekumpulan “engkau harus”, yakni sebuah kalimat perintah, semacam kode etik dan perilaku, perspektif rigid dan final untuk melihat dunia harus begini, harus begitu. Secara lebih luas, “engkau harus” adalah bahasa perintah membawa seseorang menuju perjalanan paling purba dalam sejarah filsafat: perjalanan pertama untuk memperoleh pengetahuan tentang diri dan dunia tempatnya “mengada”.
Unta melewati hal-hal tersulit yang terjadi dalam hidup yang remang redup. Kita memulai dengan menjadi unta. Sebagai murid, kita mencari ilmu dan guru, berusaha untuk memahami dunia sebanyak mungkin. Begitu banyak ilmu, begitu banyak pemikir hebat yang kita kagumi dan hormati, semakin kita tahu sesuatu. Hal ini berbanding lurus dengan semakin berat beban yang ada di punggung kita.
Namun, setelah membaca Kierkegaard dan Sartre, unta segera mengembangkan keinginan untuk berhenti memikul beban yang bukan miliknya. Sebab menyadari bahwa ada semacam “ketakpastian objektif” dan tak ada nilai universal atau makna hidup yang tunggal. Tetapi, ketakpastian memungkinkan kesepian yang paling sunyi, dan unta tak mau lagi memikul beban ide dan pengetahuan yang bukan miliknya. Dunia, yang telah ditemukan unta, tak lagi memiliki nilai esensial dan universal. Ia memahami tak ada arti atau makna hidup yang tunggal. Demikianlah unta kemudian bermetamorfosis menjadi singa.
Pada tahap kedua ini Nietzsche menulis:
“... Tetapi di gurun yang paling sunyi terjadi metamorfosis yang kedua: roh menjadi singa, ia ingin merdeka dan menjadi tuan dari gurunnya sendiri. Ia mencari di tempat ini tuannya yang paripurna: ia akan menjadi seorang musuh baginya dan bagi tuhan paripurnanya, ia akan bergulat untuk mengalahkan si naga besar. Apakah naga besar yang oleh si roh tak lagi hendak dipanggil tuan dan tuhan? Naga besar dinamai engkau harus”. Tapi roh si singa berkata “aku hendak!” “engkau harus” berdiam di jalurnya, bagai seekor binatang buas yang bersisik emas, dan pada setiap sisik berkilauan “engkau harus” keemasan.
Nilai-nilai ribuan tahun berkilauan pada sisik-sisik itu, dan demikianlah berkata naga yang paling berkuasa dan sekaliannya: “Seluruh nilai benda-benda—menjadi kilauan bagiku.” “Semua nilai telah diciptakan, dan semua nilai ciptaan—terdapat padaku. Sungguh, tak akan ada lagi ‘aku hendak’!” Demikianlah berkata si naga. Saudara-saudaraku, mengapa si singa diperlukan dalam si roh? Mengapa binatang beban, yang tak menuntut apa-apa dan takzim, tak mencukupi?
Untuk menciptakan nilai-nilai baru—bahkan si singa pun tak mampu: tapi untuk menciptakan bagi dirinya sendiri kebebasan bagi pencipta baru—itu tak dapat dilakukan oleh kuasa si singa. Untuk menciptakan kebebasan bagi diri sendiri dan sebuah kata ‘Tidak’ yang suci walaupun terhadap tugas: si singa diperlukan untuk itu, Saudara-saudaraku. Untuk menangkap hak akan nilai-nilai baru—itu kerjaan paling mengerikan bagi roh pemanggul-beban yang takzim. Sungguh, bagi roh ini hal itu pencurian dan kerjaan binatang pemangsa.
Sekali ia mencintai “engkau harus” ini sebagai hal paling suci baginya: kini ia harus menemukan ilusi dan perubahan pikiran mendadak, bahkan di tempat yang paling suci sekalipun, supaya bisa mencuri kebebasan dan cinta: si singa diperlukan menghadapi pencurian ini.”
Setelah unta bermetamorfosis menjadi singa, lahirlah masalah baru: ia harus menguasai padang pasir demi mendapatkan kebebasan. Artinya, singa harus menggulingkan penguasa yang ada di sana. Naga adalah penghalang kebebasan yang dicari singa. Pada naga ini terdapat sisik-sisik, dan di setiap sisiknya yang menarik, keemasan, dan berkilauan tertulis “engkau harus”. Frasa ini merepresentasikan institusi yang menentukan hukum moral dan nilai-nilai di masyarakat yang mengatur bagaimana kita harus bertindak serta memberi tahu siapa kita.
Bagi Nietzsche, naga mewakili agama, pemerintah, orang tua, atau pada dasarnya siapa pun yang bersifat mendoktrin. Pendek kata, sebab filsuf berkumis baplang ini percaya bahwa individu sejati harus membangun tujuannya dengan caranya sendiri.
Metamorfosis terakhir Nietzsche menulis:
“Tapi katakan padaku, saudara-saudaraku, apa yang dapat dilakukan si anak yang bahkan si singa tak dapat? Mengapa harus si singa pemangsa masih menjadi sesosok anak? Si anak itu lugu dan pelupa, satu awal baru, suatu olahraga, sebuah roda yang berputar sendiri, satu gerak pertama, satu ya suci. Ya, satu ya suci diperlukan, saudara-saudaraku, bagi olahraga penciptaan: si roh kini menghendaki kehendak-nya sendiri, si roh yang memisahkan diri dari dunia kini memenangi dunia-nya sendiri.”
Pada akhirnya, singa menginginkan kehendaknya sendiri, maka ia bermetamorfosis untuk terakhir kalinya. Pertanyaannya kemudian, mengapa seorang anak merupakan metamorfosis puncak?
Seperti yang dikatakan Nietzsche secara tersirat, seorang anak memiliki awal yang baru dan segar—selaras dengan potensi kebaruan segala sesuatu yang cenderung menggairahkan. Seorang anak dipenuhi kemurnian dan tak terbelenggu: tak pernah terbebani oleh aturan atau konvensi masyarakat tertentu, ajaran agama tertentu. Apa yang menarik, unik, dan autentik adalah fakta bahwa seorang anak selalu punya cara tersendiri untuk menilai segala sesuatu tanpa embel-embel tertentu.
Dengan kata lain, seorang anak menginginkan jalan takdirnya sendiri. Ia hidup bebas dalam kreativitas dan permainan, seperti Homo Ludens a la Johan Huizinga yang membaca Le Petit Prince karangan Antoine de Saint-Exupery. Nietzsche menegaskan hal ini dengan mengatakan, “di setiap manusia sejati tersembunyi seorang anak yang ingin bermain-main”. Dengan demikian, dapat kita terjemahkan, “si dinamit” seperti ingin berujar: jangan lupa menjadi anak-anak.
Referensi:
Nietzsche, Friedrich, 2019, Zarathustra, terj. H.B. Jassin, Yogyakarta: IRCiSoD.
Category : filsafat
SHARE THIS POST